Prolog

257 38 0
                                    

Pada dasarnya manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang tidak akan bisa lepas dari kata interaksi. Manusia diciptakan dengan berbagai macam bentuk dan karakter. Ada yang baik juga ada yang buruk. Ada si ganteng, si cantik, dan ada juga si buruk rupa. Ada si kaya dan ada si miskin. Semua berinteraksi dalam lingkup sosial yang membuat masing-masing mau tak mau harus bergantung satu sama lain.

Misalnya ketika si ganteng dan si cantik membutuhkan keberadaan si buruk rupa untuk menunjang eksistensi mereka. Dan sebaliknya, si buruk rupa membutuhkan si ganteng dan si cantik sebagai tolak ukur motivasi bagi mereka untuk berubah. Semuanya berputar dalam siklus yang gak ada habisnya.

Hidup selalu berputar seperti itu. Kadang diatas, kadang dibawah. Kadang hitam, kadang putih. Tidak selamanya menjadi baik itu menenangkan, dan tidak selamanya menjadi jahat menyenangkan. Baik dan buruk, tanpa sadar manusia menganggap itu sebagai suatu kebutuhan.

Begitu pula yang terjadi di sekolah ini. Di sekolah menengah pertama, dimana anak-anak berada pada titik tengah dalam hidupnya. Belajar, berinteraksi, dan berusaha menemukan jati diri. Di titik ini, menjadi pusat perhatian adalah impian semua anak. Mereka yang terlalu pintar, terlalu bodoh, terlalu baik, dan terlalu buruk, mendapatkan jenis perhatian yang berbeda. Sementara mereka yang berada ditengah-tengah atau equal memiliki cara sendiri untuk bertahan dalam seleksi sosial yang tidak kasat mata ini. Bahkan seringnya mereka menganggap diri mereka sebagai juri yang menentukan siapa yang layak dan siapa yang tidak.

Simpelnya, kalau lo cukup sempurna maka lo akan mendapatkan cinta dari banyak orang. Dan begitu pula sebaliknya. Apa yang lo miliki menjadi penentu dimana kelas sosial lo berada. Ironis kan? Ya, setidaknya seperti ini gambaran yang terjadi dalam lingkup sekolah ini.

▫▫▫


"Karin, mau kemana?"

Gue baru berjalan tiga langkah dari bangku gue ketika suara berat itu terdengar. Gue berbalik dan menemukan Arka sedang duduk dengan teman-teman kelompoknya. Sesama orang-orang populer tentunya. Gue segera menunjuk perut gue sambil natap dia. "Lapar. Mau cari makan dikantin."

Dia langsung bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat. "Gue ikut." katanya singkat. Tentu aja teman-temannya dibelakang sana keliatan kesal. Bahkan beberapa cewek langsung bertanya dengan nada keberatan. "Ka', mau kemana lo? Acara jalan bareng kita pulang sekolah nanti gimana nih?"

Tanpa repot-repot berbalik, Arka menjawab dengan enteng. "Kalian pergi aja. Gue gak ikut."

Teman-teman Arka udah mulai masang wajah masam. Beberapa diantaranya mengeluh.

"Pasti pulang bareng Karin lagi dah tuh anak."

"Lah iya, Karin udah kek pawangnya gitu."

Sementara anak-anak lain mulai bergosip ria, gue dan Arka udah berjalan keluar kelas menuju kantin.

Iya, si cowok populer bernama lengkap Arka Hamzah ini ninggalin teman-temannya demi gue. Demi nganterin gue ke kantin yang jaraknya gak begitu jauh dari kelas. Gue tau kedengarannya ini aneh dan terlalu percaya diri. Tapi gue bisa bilang kalau selama di sekolah, prioritas utama Arka adalah gue.

Ah, btw kenalin, nama gue Karin Amora. Gue sahabat karibnya Arka sejak kecil. Iya, cuma sebatas sahabat kok. Dan gue ini bukan dari kalangan populer disekolah kayak Arka. Harfiahnya, gue berada di tingkatan equal dalam lingkaran sosial di sekolah ini. Tapi gue lebih suka menyebut diri gue sebagai pengamat. Gue pengamatnya, dan mereka subyek-nya.

Banyak hal menarik yang bisa dipelajari dari ruang lingkup sosial di sekolah gue. Gue sadar ada beberapa hal yang tidak akan terpengaruh oleh kejammya sistem permainan kelas sosial ini.

Hubungan gue dan Arka misalnya. Ikatan diantara kita tulus, bukan ikatan atau hubungan palsu yang dilandasi keinginan untuk mengeruk keuntungan satu sama lain.

Setidaknya gue cukup tau kalau ikatan yang udah terjalin sejak lama ini udah sangat kuat. Meskipun gak ada yang tau kedepannya akan sejauh apa dan bagaimana akhir dari hubungan ini. Apakah akan membawa kita ke happy ending atau mungkin sad ending. Yang gue tau gue cuma ingin menjalani semua ini, selagi gue masih muda.


WHEN
WE
WERE
YOUNG.

When We Were Young Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang