#8

152 23 13
                                    

Rindy masih duduk sendirian di pinggir lapangan. Arka sudah pergi sejak beberapa menit lalu untuk bergabung bersama teman-temannya bermain basket. Mereka mengisi waktu pelajaran yang tersisa dengan bertanding basket. Kelas IPA1 melawan IPS2. Sejauh ini kelasnya masih unggul. Memang bukan rahasia lagi jika siswa kelas IPS lebih unggul dalam pertandingan fisik. Berbanding terbalik dengan siswa IPA yang unggul dalam perlombaan intelektual.

Rindy ikut bertepuk tangan ketika Arka kembali mencetak angka untuk kelasnya. Sepertinya tidak ada harapan bagi kelas IPA1 untuk menang kali ini.

"Lo lebih ramah dari yang gue kira."

Suara itu mengagetkan Rindy. Ia berbalik kesamping menatap orang yang tiba-tiba datang mengambil tempat duduk disamping kanannya. Sang pangeran terlihat dingin dan sempurna seperti biasa.

"Apanya?" balas Rindy bingung dengan ucapan Alan tadi.

"Dia."

"Hah?"

"Dia. Cowok itu."

Fokus Alan masih lurus kedepan membuat Rindy ikut menatap ke arah yang dimaksud laki-laki itu. Disana ia melihat Arka yang tengah istirahat sebentar sambil menenggak air mineral.

"Arka?"

Alan menoleh pada Rindy. Satu alisnya terangkat diiringi senyuman tipis yang cukup untuk membuat Rindy merinding.

"Arka ya?" tanyanya lagi, ia manggut-manggut mengulang ucapan Rindy.
"Hei, Rindy. Mau taruhan gak?"

Sebelah alis Rindy terangkat. Taruhan katanya?

"Kalau gue kalah, lo bebas dari gue selama seminggu kedepan."

Rindy menoleh dengan cepat. Tentu saja ia cukup tertarik dengan penawaran itu. "Dan kalau lo yang menang?"

Senyuman Alan makin lebar. Lebih mirip seringaian tepatnya.

"Kalau gue menang, setiap hari minggu lo harus punya waktu buat gue. Seharian. Gimana?"

"Tapi hari minggu satu-satunya hari libur gue!"

"Ya makanya gue minta itu sebagai hadiah taruhan. Adil kan? Gak usah takut, anggap aja hari minggu itu waktu kencan kita."

Mood Rindy semakin memburuk sekarang. Kencan, huh? Seumur hidup Rindy belum pernah diajak kencan oleh laki-laki. Dan mendengar kata itu keluar dari mulut seseorang seperti Alan justru membuatnya ngeri. Tapi kembali ke pilihan pertama, jika dia menang maka ia akan terbebas dari Alan selama seminggu penuh. Jujur saja, itu terdengar menyenangkan.

"Dan bentuk taruhannya?"

"Ah! Taruhannya..." Alan kembali membuang pandangan kedepan. Menatap lurus ke lapangan basket yang akan segera terisi untuk pertandingan babak kedua. "Pertandingan basket. Lo menang kalau kelas gue kalah. Dan sebaliknya, kalau kelas gue yang menang, artinya lo kalah taruhan."

Pfftttt...

Rindy segera menggigit bibirnya berusaha menahan tawa yang hampir keluar dari sana.

"Maaf, bukannya gue ngeremehin. Tapi apa lo gak liat? Skor kalian udah jauh dibawah. Yakin mau jadiin pertandingan ini sebagai taruhan?"

Bukannya tersinggung, Alan justru ikut tersenyum. "Yeah, gue cukup percaya diri. The game is not over, Rindyta. Jadi, sekarang kita deal?"

Tidak ada yang harus Rindy takutkan. Skor tim kelasnya sudah jauh di atas tim kelas Alan. Sudah pasti mereka lah yang akan menang.

"Oke. Deal!"

Alan tersenyum penuh kemenangan. Ia bergeser mendekat untuk sekedar berbisik tepat ditelinga Rindy. "Then, watch me."

Alan pun segera bangkit. Ia berlari menuju spot teman-temannya di dekat lapangan. Decak kagum beberapa siswi terdengar begitu Alan memasuki lapangan dan berbincang dengan beberapa siswa disana. Tak lama berselang, decak itu pun berganti menjadi jerit heboh ketika seorang pemain dari kelas IPA1 keluar. Digantikan oleh sosok Alan Aresta Rolland yang entah sejak kapan sudah melepas jaketnya, berganti mengenakan kaos oblong yang menyegarkan mata.

Entah apa lagi yang akan Alan tunjukkan kali ini. Untuk beberapa alasan, Rindy mulai gugup. Perasaannya jadi tidak enak seolah dia baru saja melewatkan sesuatu yang penting.

Sialnya, semua kekhawatiran itu segera terjawab beberapa detik setelah peluit dibunyikan. Teriakan heboh siswi kelas IPA memenuhi penjuru lapangan saat Alan berhasil mencetak angka di menit pertama.

Rindy melongo. Bibirnya yang tadi terkatup rapat kini setengah terbuka melihat bagaimana Alan beraksi dilapangan. Oh tidak, ini tidak sesuai dengan prediksinya.

Kenapa ia tidak tahu kalau Alan sangat pro dalam bermain basket?!

Oh sial, tentu ada alasan kenapa Alan memilih pertandingan ini sebagai taruhan. Harusnya Rindy tidak meragukan kemampuan laki-laki itu.

Teriakan heboh terus terdengar. Alan terus mencetak skor. Lagi, lagi, dan lagi.

Rindy memijit pelipisnya. Pada titik ini, ia sudah bisa menebak bagaimana akhirnya. Dengan bodohnya ia kembali jatuh dalam perangkap si pangeran licik itu.

Rindy bangkit, memilih meninggalkan lapangan dan berjalan menuju toilet. Ia tidak perlu menunggu sampai peluit tanda pertandingan berakhir dibunyikan. Ia sudah bisa menebak siapa yang akan menang. Rindy tidak mau melihat bagaimana orang-orang itu bersorak diatas kekalahannya.
   
 
"Dasar jalang! Gue bilang juga apa, huh? Lo ga bakal bisa ngalahin gue, bitch!! Mati lo sekarang!"

Rindy berdiri mematung menatap keributan itu. Ia baru membuka pintu sedikit dan pemandangan mengerikan inilah yang pertama kali menyambutnya.

Apa-apaan ini? Perkelahian?

Jantung Rindy berdegup kencang saat mengenali sosok gadis yang sedang terduduk dilantai. Itu Karin. Dan gadis itu tengah dikeroyok oleh empat orang disana. Tidak salah lagi, ini pembulian!

Rindy masih berdiri kaku. Haruskah ia menolongnya? Tidak, Rindy akan berakhir seperti Karin jika ia tiba-tiba masuk dan bertindak seperti pahlawan. Dia harus memikirkan cara lain.

Disaat genting itu, hanya satu orang yang muncul dalam kepala Rindy. Tanpa pikir panjang, ia segera berlari meninggalkan toilet dan kembali ke lapangan.
 
  
"Arka!"

Puluhan pasang mata menatap ke arahnya. Rindy tahu itu, tapi ia tidak peduli. Dengan cepat ia berlari masuk ke lapangan. Meraih tangan Arka dan menarik laki-laki itu keluar dari kerumunan untuk mengikutinya. Ia menerobos beberapa orang yang menghalanginya termasuk Alan yang menatap dingin penuh ancaman ke arahnya. Rindy menelan ludah. Apapun yang terjadi nanti, terjadilah. Ia segera berlari melewatinya, masih dengan menggenggam erat tangan Arka dibelakangnya.
 
  
"Hei Rindyta, lo mau bawa gue kemana?!"

Arka yang sejak tadi diam karena bingung akhirnya membuka suara ketika sadar Rindy menuntunnya menuju toilet wanita. Ia refleks berhenti membuat Rindy ikut berhenti didepannya.

"Arka, Karin--" Rindy terbatuk, berusaha menetralkan napasnya yang ngos-ngosan. "Karin dikeroyok di dalam toilet. Lo harus--"

Rindy tidak sempat menyelesaikan ucapannya karena Arka sudah lebih dulu menabrak punggungnya. Berlari masuk ke dalam toilet wanita dengan ekspresi yang menakutkan.

Satu-satunya hal yang Rindy dengar selanjutnya adalah umpatan kasar Arka yang sanggup membuatnya bergidik ngeri detik itu juga.
  
  
"Karin?! 
  
BANGSAT LO SEMUA!!!"

   

   

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 22, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

When We Were Young Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang