Rindy menatap bergantian antara layar ponselnya dengan bangunan mewah yang berdiri kokoh dihadapannya. Dia jelas tidak salah lihat. Villa mewah ini adalah lokasi alamat yang dikirimkan Alan.
Pagar besar di hadapannya terbuka dengan sendirinya tepat saat ponsel Rindy berbunyi. Alan baru saja mengiriminya pesan, memintanya untuk segera masuk.
Rindy melirik ke sekitar. Masih sepi. Baru ada beberapa mobil yang terparkir di halaman.
"Nona Rindyta?"
Rindy menoleh. Mendapati seorang pelayan laki-laki menyambutnya di pintu masuk.
"Tuan Alan menunggu di atas. Mari ikut saya."
Rindy menurut saja saat pelayan itu membimbingnya masuk dan menaiki tangga menuju lantai atas. Dari balik dinding kaca besar, ia dapat melihat beberapa mobil yang mulai berdatangan. Suara berisik dari luar pun tidak terelakkan lagi. Pesta ini akan berakhir cukup malam sepertinya.
Tok tok tok.
"Masuk!"
Suara Alan terdengar tepat di ketukan ketiga. Si pelayan tadi membukakan pintu dan mempersilahkan Rindy masuk sebelum bergerak mundur dan meninggalkan Rindy berdua dengan si tuan muda.
"Lo datang tepat waktu."
"Pestanya bahkan belum dimulai." balas Rindy.
"Siapa bilang lo kesini buat ikut pesta?"
Rindy mendelik. Alisnya menekuk karena bingung.
"Lo kesini buat nemenin gue."
Alan berjalan melewati Rindy. Menyempatkan diri berbalik pada gadis itu sebelum beranjak keluar.
"Lo tunggu disini. Gue mau nemuin para penjilat dibawah. Mungkin agak lama. Penting buat ngejaga image didepan semua orang kan?"
Senyuman manis Alan adalah hal terakhir yang dilihat Rindy sebelum laki-laki itu menutup rapat pintu. Rindy berdiam diri didalam ruangan kamar yang luas itu. Rasa penasaran membawanya berkeliling melihat-lihat foto yang terpajang di dinding dan yang berjejer di atas meja. Dalam hati Rindy mulai bertanya-tanya. Sebenarnya orang seperti apakah Alan Aresta Rolland ini.
Kira-kira hampir satu jam berlalu. Rindy masih duduk di sofa sambil memijat lehernya. Ia mulai mengantuk.
Saat itu suara terdengar dari arah pintu. Rindy refleks berbalik. Alan sudah kembali. Laki-laki itu sudah berganti baju. Rambutnya yang agak berantakan tidak menghilangkan kesan ketampanannya sedikitpun.
"Pestanya udah selesai?"
Alan mendekat dan ikut duduk di hadapan Rindy. "Belum. Mereka bakal selesai beberapa jam lagi. Gue disana cuma buat basa basi."
Mereka terdiam beberapa saat. Alan terus menatap Rindy dengan intens, membuat gadis itu bergerak tak nyaman di tempatnya. Tak mau terus terintimidasi oleh tatapan Alan, Rindy berinisiatif membuka suara lebih dulu.
"Jadi, gue mau ngapain disini?"
Alan masih menatapnya datar. Tapi tangannya kini bergerak mengambil kotak yang tergeletak di bawah meja. Ia mendorong kotak itu ke hadapan Rindy.
"Cobain."
Rindy membuka kotak itu perlahan. Agak terkejut saat mendapati gaun putih yang terlihat seperti gaun tidur versi mewah.
"Gaun tidur?"
Alan mengangguk.
"Buat apa?"
"Lo gak butuh alasan, Rindyta. Yang harus lo lakuin cuma nurut."
Rindy menarik napas berat. Ia mengambil gaun itu lalu bangkit hendak beranjak. Sayangnya suara Alan lagi-lagi menginterupsinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Were Young
RandomSekelumit kisah ke-empat remaja SMA. Mencari jati diri dan belajar akan arti kedewasaan. Karin yang terlibat hubungan tarik-ulur tanpa status dengan sahabat masa kecilnya, Arka. Rindyta, gadis pendiam yang menyimpan sejuta rahasia. Serta Alan, si pe...