Hampir seminggu berlalu sejak kejadian Karin menampar Arka tempo hari. Semuanya berjalan sesuai prediksi Karin. Murid-murid lain mulai menjauhinya. Bahkan tak jarang ia menjadi korban bully di sekolah.
Semuanya sudah berbeda sekarang. Di sisinya sudah tidak ada Arka yang akan selalu membelanya. Karin pikir semuanya akan berjalan mudah, tapi ia salah. Ia bisa mengatasi semua bully-an orang-orang disekitarnya. Tetapi sayangnya Karin harus mengakui bahwa hidupnya seperti tak berarti tanpa sosok Arka.
"Nah, anak-anak! Seperti janji bapak minggu lalu, sekarang kita pindah ke praktik gerak senam berpasangan."
Pak Arnold, sang guru olahraga mulai menjelaskan di depan barisan siswa di lapangan. Pagi ini adalah jam pelajaran olahraga yang ditangani olehnya.
"Untuk gerakan ini memerlukan formasi dua orang. Silahkan cari pasangan kalian masing-masing dan lakukan latihan seperti yang bapak contohkan tadi. Oke?"
"Oke, pak!" teriak para murid serempak.
Mereka mulai berpencar. Masing-masing mencari pasangan untuk praktek senam.
Di barisan paling belakang, Karin berdiri kaku seorang diri. Semua orang sibuk mencari pasangan sementara ia diam tidak tau harus berbuat apa. Ia jelas tahu, tidak akan ada satu orang pun yang mau berpasangan dengannya. Matanya mencuri pandang ke arah Arka. Laki-laki itu tengah dikerumuni oleh sekelompok gadis yang ingin menjadi pasangan prakteknya.
Karin berpaling. Tersenyum miris mengasihani dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia merasa tidak rela melihat pemandangan itu, sementara dia sendirilah yang sudah meninggalkan Arka. Benar-benar tak tahu malu.
Karin terlalu sibuk dengan pikirannya hingga tak menyadari suara berisik anak-anak disekitarnya. Ia baru menoleh ketika merasakan seseorang menyentuh bahunya.
"Ar-ka..?"
Karin refleks melangkah mundur. Arka kini berdiri di hadapannya. Menatapnya dengan datar.
"Lo belum punya pasangan kan? Sama gue aja."
Setelah beberapa hari tak saling bertegur sapa, sekarang Arka tiba-tiba datang padanya. Sikap dan nada bicaranya begitu dingin. Karin sama sekali tidak bisa membaca apapun yang ada dalam pikiran laki-laki itu.
Ditengah kebingungannya, tatapan Karin tak sengaja bertemu dengan sosok Rindyta. Tanpa banyak berpikir lagi, ia segera melangkah, menarik tangan Rindy yang kini mengernyit bingung.
"Gue sama dia."
Karin menarik Rindy membuat keduanya duduk di atas matras. Matanya melotot menatap Rindy, memberi kode pada gadis culun itu untuk diam. Rindy menurut saja, sementara Arka yang berdiri diantara mereka masih setia mengawasi gerak gerik Karin.
"Ngapain lo berdiri disitu? Gak liat gue udah ada pasangan?"
Mendapat teguran seperti itu, bukannya pergi, Arka justru ikut duduk. Berjongkok tepat disamping Karin lalu berbisik. "Kita perlu bicara, rin."
Arka hendak menarik tangan Karin tapi gadis itu segera menepisnya. Mereka hampir menjadi bahan tontonan lagi jika saja instruksi dari Pak Arnold lambat terdengar.
"Anak-anak! Tolong berhenti sebentar. Ada yang perlu bapak sampaikan."
Seluruh perhatian siswa kini beralih ke depan sana. Dimana Pak Arnold kini sedang berdiri bersama Pak Damian, guru bule yang menangani pelajaran olahraga bagi siswa kelas IPA.
"Sebelumnya bapak mau minta maaf. Rupanya hari ini kami ada jadwal mendadak. Beberapa guru disini harus ikut rapat dinas di luar kota siang ini, termasuk saya dan Pak Damian. Kami sudah mendiskusikan ini, jadi bapak harap kalian bisa berkoordinasi. Jadi untuk mengisi waktu kosong kalian, bapak sudah mengajak murid kelas IPA 1 kesini untuk bergabung dengan kalian. Kebetulan hari ini mereka juga ada jam olahraga. Kalian bisa bermain basket atau sepakbola sampai pergantian pelajaran nanti. Bapak harap kalian tetap tertib. Jangan sampai ada yang melewatkan jam olahraga hanya karena kami tidak ada. Mengerti?"
"Mengerti, Pak!"
Pak Arnold mengangguk puas. Setelah berkoordinasi dengan siswa kelas IPA, kedua guru itu segera pamit untuk berangkat bersama rombongan guru lainnya. Dari arah lain tampak siswa kelas IPA1 mulai berdatangan, bergabung dengan puluhan siswa IPS2 yang mulai bermain basket di lapangan.
Diantara rombongan kelas IPA1 itu ada satu orang yang tampak sangat menarik perhatian. Siswa bertubuh tinggi dengan wajah dan rahang tegas menawan. Semua orang disana tentu mengenalinya. Si pangeran, Alan Aresta Rolland.
Hanya sekejap dan semua perhatian langsung tertuju ke arahnya. Termasuk Rindy yang kini melirik melalui ekor matanya. Diam-diam memperhatikan laki-laki yang tadi mengantarnya ke sekolah pagi-pagi sekali. Ketika Alan balas menatapnya, Rindy segera berpaling. Kembali fokus pada pertikaian yang tak kunjung selesai dihadapannya.
"Lo tuli ya? Gue bilang gue gak mau! Udah deh pergi aja sana."
Karin menggeram. Lagi-lagi menghempaskan tangan Arka untuk yang kesekian kalinya.
"Terserah lo mau bilang apa. Gue bakal terus disini sampai lo mau bicara sama gue. Kalau gini terus masalahnya gak bakal selesai, rin!" balas Arka tak mau kalah.
Karin mendesah kesal. Sejak kapan Arka jadi keras kepala begini?
Karin segera bangkit. Membersihkan bagian celananya yang kotor lalu menatap Arka yang kini ikut berdiri. "Gue mau ke toilet. Jangan ikutin gue! Dan elo Rindyta, tunggu gue disini. Lo masih pasangan senam gue sampai jam olahraga selesai."Gadis itu segera berlalu pergi. Meninggalkan Arka dan Rindy dengan kecanggungan yang luar biasa. Rindy melirik Arka, mengasihani laki-laki itu karena semua usahanya sia-sia. Karin memang bukan cewek biasa, pikirnya.
Sementara itu, Karin sudah menghabiskan beberapa menit bersembunyi di dalam toilet. Ia membasuh wajahnya berkali-kali. Ia perlu menenangkan diri sekarang. Butuh perjuangan besar untuk berhadapan dengan sisi keras kepala Arka. Setiap kali menatap wajah frustrasi laki-laki itu, rasanya Karin tidak akan bisa menahan diri untuk berlari ke pelukannya. Dia rindu dengan suara Arka, rindu perhatiannya, rindu memeluk dan mencium laki-laki itu. Tapi dia tidak mau gegabah. Karin sudah bertekad untuk melepaskan Arka. Setidaknya untuk Arka, ia tidak ingin terus-terusan menjadi sosok yang egois.
"Owh, jadi sembunyi disini nih cewek gak tau diri?!"Karin menoleh, mendapati empat orang siswi berdiri didepannya. Ia mengenal dua diantaranya. Vania dan Selvi teman sekelasnya, sementara dua lainnya, Karin tidak kenal. Melihat bagaimana ekspresi keempat gadis dihadapannya, Karin tau kalau ia lagi-lagi dalam masalah. Tapi harga dirinya yang setinggi langit tidak akan membiarkan dirinya di injak-injak begitu saja.
"Kalian ngomong sama gue, atau sama kaca dibelakang gue?" balas Karin menantang.
Senyum sisnisnya tidak luntur sedikitpun bahkan ketika keempat orang itu mulai mengepung, menyerangnya.
Menghajar dan dihajar. Nampaknya Karin akan mulai terbiasa dengan kedua hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Were Young
RandomSekelumit kisah ke-empat remaja SMA. Mencari jati diri dan belajar akan arti kedewasaan. Karin yang terlibat hubungan tarik-ulur tanpa status dengan sahabat masa kecilnya, Arka. Rindyta, gadis pendiam yang menyimpan sejuta rahasia. Serta Alan, si pe...