"Apa sebelum ini lo nggak pernah berniat untuk ngasih tau gue?"
"Kita jarang ketemu, Dre. Gue nggak pernah berpikir lo ternyata akrab sama Tara di tempat les. Karena selama ini, kalau kita ketemu di sekolah paling senyum doang."
"Gue bahkan sering chat sama dia, apa lo nggak tau juga?"
"Sebelumnya gue nggak tau, tapi sekarang gue tau. Karena setau gue, dia punya pacar." Krisan mengatakan kalimat terakhirnya dengan pelan karena takut menyinggung perasaan Andrean.
"Jadi itu beneran pacarnya Tara, bukan pacar lo?" tanya Andrean.
"Lo pernah ketemu pacar Tara?" Krisan balik bertanya dengan raut wajah kaget.
Andrean mengusap tengkuknya sambil tampak berpikir. "Bukan ketemu sih, tepatnya gue cuma ngeliat. Waktu hari ulang tahun lo, gue berniat ngajak lo dinner, yang sebenernya gue ajak adalah Tara. Dan ya gitu deh,"
"Ya gitu deh?" Krisan mengulangnya untuk meminta Andrean melanjutkan ceritanya.
"Dia—Tara nolak ajakan gue, dengan alasan hari ulang tahun itu family time. Dan ternyata gue malah liat di sama cowok lain." Andrean terdengar sangat canggung ketika menyebut nama Tara.
"Tara nggak bohong kok soal family time. Itu udah kebiasaan di keluarga kita, tapi hari itu Tara memang nggak ikut."
"Kenapa kalian ngelakuin ini sama gue?" tanya Andrean dengan suara pelan.
Pertanyaan itu pula yang sering Krisan tanya pada dirinya sendiri. Kenapa dia harus melibatkan Andrean sampai sejauh ini. Membiarkan laki-laki itu kebingungan, patah hati, dan merasa dibodohi.
"Tara merasa dia salah masuk jurusan IPA. Dia jadi males les, selain lebih suka main tapi sayang sama duit les, dia juga takut dimarahin Papa. Jadilah gue dipaksa untuk gantiin dia."
Ya, Krisan masih ingat bagaimana Tara memaksanya. Memaksa dengan halus menggunakan voucher belanja buku karena Krisan sangat suka membaca komik.
"Jadi gimana cara gue bedain kalo orang yang gue temuin itu lo?" tanya Andrean dengan raut wajah yang sulit diartikan.
"Telinga Tara ditindik, kalau gue nggak." Tidak lupa Krisan menyelipkan sejumput rambutnya untuk menunjukkan telinganya.
"Lo bilang kita jarang ketemu, jadi kenangan yang mana ketika yang gue temui itu benar-benar lo."
Krisan menjawabnya dengan sabar, ia sadar akan resiko ketika mengakui semuanya. Pasti banyak sekali pertanyaan di kepala Andrean. Dan Krisan juga harus meluruskan arah pemahaman keduanya yang selama ini saling menyimpang.
"Pertama kali kita ketemu itu waktu lo pinjem catatan gue. Sebelumnya gue emang sempet familiar sama muka lo, karena gue pernah liat lo di sekolah. Tapi tempat les adalah di mana kita pertama kali bener-bener ngobrol."
"Catatan yang waktu itu gue fotokopi?" tanya Andrean memastikan.
"Iya, gue agak khawatir sih catatannya nggak lengkap. Tapi kalau nggak dikasih, nanti gue dikira pelit. Gue nulis supaya nggak ngantuk aja, nyampe rumah biasanya gue buang."
Andrean tertawa pelan setelah mendengar cerita Krisan. Krisan bahkan tidak yakin apa yang barusan itu termasuk kategori tertawa atau tidak.
"Terus?"
"Selanjutnya, waktu lo minta gue berhenti pura-pura dan menjauh dari lo. Waktu itu lo marah sama gue jadi gue sangat ingat."
Andrean meremas rambutnya sendiri, "Kalo gitu lo bisa ketemuin gue sama Tara?"
"Mau ngapain?" tanya Krisan terlihat kini panik.
"Karena harusnya gue marah sama dia."
"Gue juga 'kan nyembunyiin semua dari lo, apa lo nggak mau marah sama gue?" tanya Krisan takut.
"Iya, gue mau banget marah. Tapi lo juga udah jujur dan sekarang gue lebih pengen denger penjelasan Tara."
"Nggak bisa."
Andrean menoleh cepat ketika mendengar jawaban Krisan. "Kenapa?"
"Karena Tara udah meninggal."
"Jangan becanda, Kris," ucap Andrean dengan raut wajah serius.
"Gue serius," ucap Krisan.
"Gue tambah bingung, Kris. Terlalu banyak hal yang nggak gue tau. Apalagi, Kris?" tanya Andrean kali ini lebih terlihat pasrah.
"Kris, tolong tanya Tara dia di mana dan kapan pulang. Ini udah jam 10," ucap Dion yang sedang duduk bersama sang istri di ruang TV. Dion mulai merasa kesal karena Tara masih belum pulang bahkan ketika mereka sudah kembali dari birthday dinner.
Krisan menelepon Tara, karena pesannya sejak tadi tidak dibalas sama sekali. Namun dering telepon terdengar dari kamar Tara, perempuan itu tidak membawa ponselnya.
"Tara nggak bawa HP, Pah," lapor Krisan panik.
"Coba tanya temennya yang pergi sama dia."
Krisan langsung mengingat Galan. Krisan yang mengetahui passcode ponsel Tara langsung menghubungi Galan.
"Halo, Selamat Malam."
Dahi Krisan berkerut mendengar sapaan formal dari seberang telepon. "Iya, Malam. Galan, ini Krisan. HP Tara ketinggalan, kalian kapan pulang? Papa udah nanyain."
"Maaf sebelumnya, Mbak Krisan. Saya Toni Sukmandar bertugas di Kapolsek Citujur melaporkan bahwa Saudara atas nama Galan Falentio dan Saudari Chrycentia Taradifa mengalami kecelakaan di jalan tol dalam kota. Ponsel atas nama Galan sementara kami pegang sebagai barang bukti, kami berusaha menghubungi kerabat dari Saudari Chrycentia namun tidak ada kontak yang bisa dihubungi."
Krisan langsung menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur Tara karena kakinya lemas. "Saya adiknya, gimana keadaan kakak saya sekarang?"
"Silakan Mbak datang ke Rumah Sakit Umum Daerah Saluyu."
Krisan langsung berlari dan berteriak pada kedua orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crawling Back
FanfictionAndrean memang sudah cinta mati pada Krisan. Mau mengelak bagaimana pun juga Andrean masih akan terus mengharapkan Krisan. Krisan bisa mematahkan hatinya berulang kali. Dan ketika hatinya sembuh, ia akan kembali untuk Krisan.