Andrean memang sudah cinta mati pada Krisan. Mau mengelak bagaimana pun juga Andrean masih akan terus mengharapkan Krisan. Krisan bisa mematahkan hatinya berulang kali. Dan ketika hatinya sembuh, ia akan kembali untuk Krisan.
Rianza: Kris, lo dimana? Ini udah di suruh ngumpul di lapangan
Krisan: Masih otw za
Chrysania Theolifia, gadis yang duduk di bangku kelas duabelas ini akrab disapa Krisan. Semua setuju kalau nama Chrysania terlalu panjang dan penulisannya sangat menyulitkan, jadilah 'Krisan' sebagai pelafalan namanya sehari-hari.
Hari ini adalah acara study tour bagi anak kelas duabelas SMA Jaya Persada. Sekolah memberi amanat bagi para siswanya di mana pukul 5 pagi harus sudah berkumpul di sekolah. Namun sekarang waktu sudah menunjukkan hampir setengah 6 pagi dan Krisan masih berada di perjalanan menuju sekolah.
Rianza: Sekarang pembagian bus
Krisan: Sisain bangku buat gue
Rianza:Ya Tuhan kita ga satu bus dong :(
Krisan: Serius za?
Rianza: Iya, lo bus 4 di gabung anak IPA. Gue bus 5.
Krisan: Di bus 4 siapa aja anak kelas kitanya?
Rianza: Yang namanya dari A sampai J
Krisan: Gue dari huruf K loh Za, kenapa gue nyasar
Rianza: Bacot lo Chrysania Theolifia, semua udah pada masuk bus ini. Lo di mana
Krisan: Udah deket kok
Rianza: Buruan nanti kebagian sisa tempat taunya duduk sama Nino yang bau ketek itu loh
Tepat saat balasan dari Rianza masuk, Krisan sampai di depan gerbang sekolahnya.
"Makasih Mas Ardi!!" Ucap Krisan sambil langsung melompat dari mobil.
Krisan berlari sekencang mungkin memasuki sekolah. Ia bisa melihat sekitar tujuh bus terparkir di halaman sekolahnya. Matanya mencari-cari angka ditempel pada setiap kaca bus. Setelah menemukan angka empat, yang menurut Rianza adalah bus yang akan ditumpangi Krisan.
Krisan memasuki bus 4 melalui pintu depan, terlihat Pak Edo tengah berdiri sambil memegang pengeras suara. Rupanya dia sedang membacakan absensi. Krisan dengan sabar menunggu namanya disebutkan, mengingat anak kelas jurusan IPA dulu yang disebut. Ternyata di dalam bus 4 ini merupakan campuran dari setengah murid kelas duabelas IPA 5 dan duabelas IPS 1.
"Chrysania Theolifia?"
"Ada, Pak! Tapi saya belum kebagian tempat duduk!" Suara Krisan ternyata mengejutkan Pak Edo.
Ia diam sejenak sebelum tersadar, "Oh, Pak Andi! Di belakang ada sisa satu bangku nggak?" Pak Edo berteriak pada Pak Andi yang berada di daerah belakang bus.
"Di sini ada 1!" Balas Pak Andi yang juga berteriak.
"Tuh, di sana." Tunjuk Pak Edo.
"Baik, Pak. Terima kasih," ucap Krisan sambil berjalan melewati banyak bangku yang sudah diisi oleh teman-temannya.
"Di sini, Kris." Pak Andi, guru ekonomi yang pernah mengajarnya sewaktu di kelas sepuluh, ia menunjuk satu-satunya bangku kosong yang tersedia. Berbeda dengan Pak Edo yang memang wali kelas duabelas IPA 5 sehingga Krisan tak begitu mengenalnya.
Jantung Krisan berdegup kencang, matanya tak mengedip sedikitpun, bahkan ia menahan napasnya begitu melihat di mana ia harus duduk.
Bukan, bukan di sebelah Nino yang bau ketek.
Tapi di samping Zachery Andrean Winatama.
Ingatannya masih dengan jelas menyadarkan Krisan akan setiap luka yang ditorehkan oleh laki-laki itu. Krisan masih terluka dan akan terus terluka akan setiap bayangan masa-masa menyakitkan itu muncul di benaknya.
Krisan baru duduk ketika bus mulai melaju dan menggoyahkan keseimbangan tubuh Krisan. Jadi terpaksa Krisan duduk di samping Andrean, tanpa berani menoleh ke arah Andrean. Ia kini merasakan canggung luar biasa.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Krisan dan Andrean, sama-sama tak mengeluarkan sepatah katapun. Keduanya duduk tegak sekaligus tegang, bahkan untuk sekedar menoleh pun enggan. Mereka terus seperti itu, sejak matahari masih tampak malu-malu untuk muncul hingga sekarang ia sudah memancarkan sinarnya.
Andrean merasa terganggu dengan pancaran cahaya matahari yang masuk melalui jendela bus. Matanya menyipit karena silau, sehingga ia menarik gorden yang berada di sampingnya.
"Jangan ditutup." Krisan bersuara menghentikan gerakan tangan Andrean. Pandangannya masih tetap lurus ke depan tanpa menoleh pada Andrean.
Andrean tak membantah, ia menarik kembali tangannya. Membiarkan gorden yang sudah menutupi setengah jendela bus. Perlahan Andrean melirik ke arah Krisan, melihat bagaimana sinar matahari menerpa wajah gadis itu.
Krisan sama sekali tidak tampak terganggu dengan itu semua. Ia terlihat begitu menikmati bagaimana sinar itu menghangatkan wajahnya, menembus celah rambutnya. Andrean tiba-tiba merasakan sensasi aneh di perutnya ketika mengamati bagaimana gadis itu memejamkan matanya.
"Suka cahaya matahari?" Andrean tidak mengerti mengapa ia mengeluarkan pertanyaan seperti itu.
Kini gadis itu menoleh menatap Andrean dengan emosi yang tak dapat dibaca. Setelahnya Krisan hanya mengangguk dan kembali menghadapkan pandangannya ke depan. Yang paling menyakitkan bagi Krisan adalah kenyataan bahwa orang yang ia sukai membencinya karena kesalahpahaman.
Andrean menyadarkan tubuhnya, memejamkan matanya. Dan kilasan masa lalu tentang Krisan bergerak dibalik kelopak matanya. Krisan selalu menjadi gadis yang tidak terduga baginya.
"Hey, kok telat?" tanya Andrean pada gadis yang baru saja masuk ke ruang les. Gadis itu duduk di belakangnya, sangat menarik ketika minggu lalu ia duduk di depannya.
"Iyah, gue lupa kalo ada les," jawab gadis itu.
Andrean tersenyum, "Ngomong-ngomong, lo 'kan IPS. Kok ambil les Matematika IPA?"
Gadis itu tak langsung menjawab, alih-alih mengusap tengkuknya. "Gue salah ambil paket. Udah keburu bayar, sayang kalo nggak dateng."
Andrean tidak mengharapkan jawaban aneh seperti itu, sangat tidak terduga.