Bus pariwisata telah tiba di Bandung sekitar 30 menit yang lalu. Sebagian besar murid SMA Jaya Persada juga sudah pulang, rasanya ingin cepat-cepat merebahkan diri di tempat tidur setelah lebih dari 12 jam berada di dalam bus. Namun Krisan masih belum menghubungi sopirnya, dia masih ingin melakukan sesuatu yang lain.
Entah mendapat mimpi apa semalam hingga kini Krisan berani untuk menghampiri Andrean yang baru saja berpamitan dengan Radit dan Jovan. Laki-laki itu tengah menggunakan ponselnya.
"Dre,"
Andrean menoleh dengan pandangan bertanya pada Krisan.
"Boleh temenin gue sampe gue dijemput nggak?" tanya Krisan di luar dugaan Andrean.
Otaknya mengingatkan Andrean akan sesuatu, bahwa Krisan masih melakukannya sedari dulu, menarik ulur perasaannya. Lalu pada akhirnya gadis itu akan meninggalkannya lagi. Namun tetap saja Andrean tidak bisa menolak permintaan Krisan. Keduanya pun duduk di bangku tunggu sekolah dengan perasaan canggung.
Krisan menarik napas dalam sebelum mengatakan sesuatu pada Andrean. "Sebetulnya gue suka sama lo. Mungkin karena gue sering liat lo di kantin walau kita beda jurusan."
Andrean terdiam. Dia sedang menimbang tingkat kegilaan Krisan. Setelah menolaknya mentah-mentah sekarang dia berlagak menyukainya. Namun Andrean memilih diam, menunggu gadis itu melanjutkan ucapannya. Andrean masih berusaha sabar dan penasaran sampai mana Krisan akan mempermainkannya.
"Apa lo nggak pernah berpikir bahwa aneh kalau gue anak IPS tapi ambil les Matematika IPA?" tanya Krisan.
Andrean mulai mengingatnya, "Lo bilang lo salah ambil paket."
Krisan menggeleng sambil tersenyum tipis, "Gue nggak pernah bilang gitu."
"Gue nggak lupa, Kris." Andrean mendengus sebal karena Krisan dengan mudahnya menyangkal kalau dia tidak mengatakan itu.
"Gue juga nggak lupa, kita cuma dua kali ketemu di tempat les. Sisanya kita lebih sering ketemu di sekolah, walau sekadar papasan."
"Lo lagi ngapain sih, Kris? Kalo lo emang ingin berpura-pura nggak ada sesuatu yang terjadi antara kita, lebih baik lo nggak usah ngobrol sama gue sama sekali," tegas Andrean.
Andrean tidak bodoh, ia hanya belum bisa mengabaikan perasaannya. Ia menutup mata pada segala risiko yang mungkin diterimanya, karena itu cinta disebut buta. Andrean selalu penasaran akan segala tentang Krisan, mengiyakan permainan apapun yang sedang diciptakan gadis itu.
"Gue nggak berpura-pura, gue memang beneran suka sama lo. Tapi lo nggak bener-bener suka sama gue, lo cuma menganggap gue orang yang lo suka," ucap Krisan dengan raut wajah serius.
Sementara itu Andrean mulai kesal, "Ya, ya, ya. Terus?"
"Orang yang selama ini sering lo temuin di tempat les, orang yang suka lo chat itu bukan gue."
Andrean terdiam dan berpikir sejenak. "Nggak masuk akal, Kris. Jangan ngarang dan nambah-nambah cerita."
"Gue serius, Dre."
"Jadi maksud lo gue ditipu? Kenapa juga gue harus ditipu?"
Krisan terdiam dan kakinya bergerak dengan gelisah. Melihat hal perilaku Krisan, Andrean membuang muka dan menghembuskan napas berat. "Kalau bukan lo terus siapa?"
"Namanya Tara, dia kembaran gue."
"Pah, Tara kayanya nggak ikut dinner deh," ucap Tara yang baru saja keluar dari kamar. Dia menggunakan dress putih di atas lutut dan rambutnya diikat satu.
"Kenapa?" tanya Dion-sang Papa dan Krisan hampir bersamaan.
"Kamu nggak kasian apa sama Krisan? Masa dia rayain ulang tahunnya sendiri?" lanjut Dion merasa tidak suka dengan gagasan Tara.
"Temen-temen Tara ngajakin kumpul, mereka mau rayain ulang tahun Tara. Tara nggak enak kalau nggak dateng. Lagian Tara sama Krisan udah 15 tahun rayain ulang tahun barengan. Di tahun ke-16 ini nggak masalah dong, sekali aja," rengek Tara.
"Ya udah, jatah makan Tara sama kadonya buat Krisan aja," sahut Krisan sambil bersidekap.
"Ih lo nggak boleh buka kado punya gue ya!" Tara memperingati Krisan sebelum ia kembali masuk ke kamar.
Krisan bangkit dari duduknya dan mengikuti Tara ke kamar perempuan itu.
"Pasti mau ngerayain sama Galan 'kan?" tebak Krisan.
Tara yang duduk di depan meja rias lantas tersenyum cerah. "Kok tau!?"
Krisan mendengus pelan dan meletakkan kotak kecil di hadapan Tara. "Nih, kado lo."
Senyum Tara semakin merekah ketika ia membuka kado dari Krisan. Sepasang anting emas putih berbentuk bunga dengan permata berwarna merah muda ditengahnya.
"Ah, Kris! Lucu banget," pekik Tara sambil langsung mencoba anting tersebut.
"Kado gue mana?" tagih Krisan.
Tara tersenyum canggung, "Gimana kalo kadonya mulai hari ini lo nggak akan gantiin gue les Matematika lagi."
"Ih, anjir apaan. Nggak modal banget sih, bikin bete aja." Krisan memberengut kesal dan lari keluar kamar Tara.
Tara meninggalkan rumah sekitar pukul 3 sore. Krisan benar-benar kesal pada Tara hingga seorang kurir dari jasa pengiriman datang pukul 5 sore mengantarkan hadiah untuk Krisan. Padahal Krisan sempat berpikir Tara lupa menyiapkan kado untuknya.
"Kris," panggil Dion.
"Iya, Pah?"
"Jangan gantiin Tara les Matematika lagi."
Krisan mendongak kaget. Ia dan Tara mati-matian merahasiakan ini dari ayah mereka.
"Krisan bantuin Tara doang, Pah."
"Papa tau, tapi itu namanya kalian nipu orang. Kalian nipu papa juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Crawling Back
Fiksi PenggemarAndrean memang sudah cinta mati pada Krisan. Mau mengelak bagaimana pun juga Andrean masih akan terus mengharapkan Krisan. Krisan bisa mematahkan hatinya berulang kali. Dan ketika hatinya sembuh, ia akan kembali untuk Krisan.