BAB 7

1K 99 19
                                    

"Kamu duluan aja ya, Cha. Masih ada yang harus aku kelarin." Ucap Deven sambil menatap putri Anneth yang tengah memeluk putri Joa dan putri Nashwa.

Charisa mengikuti tatapan mata Deven. Lalu mengangguk seraya tersenyum. "Iya, Dev. Selesain aja apa yang memang kamu ingin selesain."

Deven meneguk salivanya. Tertegun dengan ucapan Charisa. Mata gadis itu nampak menyiratkan suatu hal. Seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan namun terhalang oleh, entahlah apa itu.

Pemuda itu berusaha menyingkirkan pikiran anehnya tentang sahabat kecilnya itu. Memang selama ini, ia tidak pernah pergi jauh dari Charisa. Ia selalu bersama gadis itu, selalu menemaninya. Dan melihat siratan mata Charisa membuat perasaannya jadi tidak karuan.

"Kamu beneran gapapa, kan?" Tanya Deven memastikan.

"Aku bukan gadis yang selalu kamu khawatirkan sampai akhir hidup kamu kan, Dev?"

Deven tergelak, "Maksud kamu apa, Cha?"

"Jangan natap aku sebagai gadis yang nggak bisa apa-apa tanpa kamu. Aku, sahabat kamu sedari dulu ini sudah mulai mengerti arti hidup. Arti hidup yang bermakna kita, aku dan kamu akan menuju jalannya sendiri. Mungkin ini sudah mulai prosesnya." Charisa mengakhiri ucapan dengan senyuman termanisnya.

Interaksi Charisa dan Deven tidak luput dari pemantauan pangeran Clinton. Ia hanya diam ditempat tanpa mendekat ataupun berusaha mencoba dengar apa yang mereka bicarakan. Satu hal yang ia pahami, Charisa bukan lagi gadis kecil yang dulu selalu manja pada kakaknya, atau selalu menangis sambil mengadu pada neneknya. Charisa sudah mulai siap, kalau suatu hari nanti memang sudah tiba waktunya.

"Aku mau pamitan dengan putri Anneth dulu. Kabari saja, kalau memang sudah siap mengabariku." ucap Charisa sambil menepuk pundak Deven.

Lelaki itu terdiam sambil mencerna ucapan Charisa. Ucapan sahabatnya itu mulai menjadi pikirannya. Ia mengingat kembali kenangan yang selama ini mereka lalui. Charisa, gadis itu selalu menjadikannya tempat pertama untuk bertukar cerita. Menjadikannya sebagai tameng, perisai, pelindungnya. Menjadikannya sebagai seseorang yang selalu bisa diandalkannya. Dan kini, gadis itu seolah mengucapkan kata perpisahan secara tidak langsung.

Ia lalu menatap ke arah pangeran Clinton yang sudah mendekat ke arahnya. "Lo masih ingat kan, permintaan lo waktu dulu. Apa yang ingin lo pertahanin dengan tangisan lo waktu itu."

Deven mengangguk, tak terasa air matanya menetes perlahan. Dengan lekas diusapnya. Ia pun tersenyum, "terimakasih sudah ngingetin. Gue banyak berhutang budi dengan lo."

"Itu bukan hutang, Dev. Nggak ada hutang piutang dalam persahabatan." sahut Clinton.

"Apaan nih hutang hutang?" Pangeran Alde menyela,

"Iya nih, hutang apaan? Untung kantin sekolah kita ga perlu bayar. Kalo masalah hutang, pasti alde nih paling banyak!" tuduh pangeran Friden yang ikut menimbrung.

"Sialan lo!"

Satu toyoran di kepala Friden mendarat dengan mulus. Disertai dengan tawa gelak Deven dan Clinton melihat wajah nelangsanya pangeran dengan alis tebal itu.

Sesaat Deven tersenyum, ia menatap pangeran Clinton. Membisikkan isyarat, "Titip dia." yang langsung diangguki pangeran Clinton dengan mengangkat dua jempolnya.

👑👑👑

"Ini kita kemana?" Charisa menatap heran dengan pemandangan dari luar jendela.

"Ke tempat yang sudah aku janjikan," Sahut Clinton,

Gadis itu malah mengernyitkan dahinya, ia masih agak lupa. Memangnya apa yang pernah dijanjikan pangeran itu padanya?

IRREPLACEABLE (Completed √)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang