"Keaan! Lo peringkat satu!" seruan di seberang telepon itu membuat jantung Keanna bergemuruh seketika.
"Bohong lo, ngaco."
"Serius, Keaan! Tadi gue liat sendiri daftar peringkatnya."
Setelah beberapa menit Keanna berusaha mempercayai apa yang dikatakan Bintang—sahabatnya, Keanna berusaha menetralkan detak jantungnya yang berpacu cepat. Ada rasa bahagia bukan main mendengar kabar itu.
Mendengar suara pintu terbuka, Keanna lekas keluar dari kamar. Sang mama baru pulang dari pengambilan rapornya. Mama dan papanya pasti bangga. Keanna menunggu bagaimana reaksi sang papa saat mengetahui Keanna berhasil di semester pertama ini.
Seorang pria dengan usia hampir berkepala lima melangkah ke ruang tengah, di mana televisi yang ditonton Kienna masih menyala dengan volume kecil. "Gimana rapornya Keanna?" tanya pria itu pada isterinya yang baru tiba di rumah sepuluh menit lalu.
"Bagus kan, Ma?" Keanna menatap mamanya dengan binar penuh harap. Berharap yang dikatakan Bintang memang benar adanya.
"Keanna kebanyakan main handphone, nilainya jadi begitu" Shana—mama Keanna mengeluarkan sebuah map berwarna biru dari totebag-nya.
Binar di mata Keanna pudar begitu mendengar jawaban sang mama. Keanna melirik papanya yang menerima map biru tersebut kemudian membukanya. Benarkah hasilnya tidak sebaik yang dia harapkan? Lalu, apa maksud perkataan Bintang? Peringkat satu? Benarkah?
"Peringkat satu sih," ucap Shana, membuat Keanna sontak menoleh ke arahnya, "tapi ya... begitu."
Keanna merasa kembali diselimuti euforia. Ia berhasil menepati janjinya pada kedua orang tuanya, sekaligus membuat mereka bangga. Kerja kerasnya selama satu semester berbuah manis.
Sejak SMP, Keanna disuruh untuk mengambil jurusan IPA saat SMA. Tapi Keanna menolak, ia ingin masuk IPS. Akhirnya, kedua orang tua Keanna mengijinkan Keanna mendaftar ke IPS, sekaligus membuatnya berjanji untuk selalu menempati peringkat satu di jurusan yang dia pilih itu.
"Yakin kamu peringkat satu?" tanya Andra— sang papa, sambil menatap putri sulungnya. "Nilai rata-ratanya cuma 89,5."
Jantung Keanna seakan jatuh ke perut. Papanya bilang apa? Cuma?
"Itu kan udah bagus, Pa," jawab Keanna, membela diri.
Andra menggelengkan kepala, matanya menyusuri tiap kolom nilai yang tertera. "Kamu itu di IPS, harusnya nilai rata-ratamu bisa 90 atau lebih."
Keanna menghela nafas, "Tapi aku peringkat satu kan, Pa? Semester ini aku berhasil buktiin ke mama-papa."
"Tugas kamu kan emang cuma belajar," kata Shana sembari menghidangkan secangkir teh untuk suaminya di atas meja.
"Kamu udah ngerasa puas?" tanya Andra, yang dijawab gelengan pelan oleh Keanna. "Semester dua, ditingkatkan itu."
"Tante Ella bilang ke Mama," ucapan Shana membuat Keanna yang hendak berdiri mengurungkan niatnya, "kamu kalau di sekolah itu jarang nyapa guru ya? Paling cuma senyum."
"Enggak kok, Ma," Keanna membela diri, "aku suka nyapa."
"Tapi jarang kan?" tanya Shana lagi. "Mama gak mau ya, mentang-mentang tantemu guru di sana, kamu jadi seenaknya."
"Iya, iya, Ma." Keanna menghembuskan nafas panjang. Tanpa berkata apa-apa lagi, Keanna meraih map biru yang kini terletak di atas meja, lalu melangkah kembali ke kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miracle
Teen FictionKeanna Miracle menutup hatinya untuk seseorang yang sejak awal tidak pernah jadi miliknya. Semua usahanya untuk melupakan gagal. Hingga seseorang dengan hadir dan meruntuhkan dinding pertahanannya. Ketika Keanna sudah terlena dalam bahagia, semesta...