Good morning, everyone! Happy reading!
+
uasana pada pukul 2 pagi di restoran hotel berbintang ini cukup ramai, masih banyak orang berlalu lalang dan datang hanya untuk makan disini baik yang penghuni hotel atau pun tamu biasa.
Untungnya para pramusaji disini sudah dilatih sedemikian rupa, sehingga sudah terbiasa dengan pelanggan yang ramai ini.
Secangkir cappuccino dan vanilla latte tergeletak rapih di meja nomor 35 yang terletak di tengah. Sepiring kentang goreng dan juga cream soup menjadi menu yang ia pesan pagi ini.
Changbin menyeruput cappuccino miliknya sembari memandangi orang yang berlalu lalang.
"Kamu disini penelitian?" tanya Felix disela keheningan yang melanda meja nomor 35 itu.
Changbin menganggukan kepalanya, meletakkan kembali cangkir berisi cappuccino diatas meja.
"Penelitian apa?"
"Meneliti apapun yang menjadi kebudayaan disini," sahut Changbin.
Felix mengangguk-nganggukan kepalanya sembari membentuk bibirnya seperti huruf O. Kini, Changbin menatap Felix yang sedang mengaduk-aduk cream soupnya.
"Lo asli sini, 'kan?" tanya Changbin.
Felix menganggukan kepalanya.
"Oh, bagus. Jadi gue nggak usah repot-repot lagi nanya orang disini," kata lelaki yang lebih tua itu.
"Kamu kuliah?" tanya Felix.
Changbin menggelengkan kepalanya, "Nggak."
"Kok penelitian?"
"Papa gue punya perusahaan yang selalu meneliti kebudayaan ditiap negara,"
Felix mengangguk-nganggukan kepalanya, "Kamu udah keliling dunia?"
Changbin menggeleng, "Nggak. Tergantung mood aja,"
"Maksudnya?"
Changbin berdecih, "Lo bocah mana ngerti sih, tuh abisin cream soup lo aja."
Felix mendengus kasar, lalu menyendokan cream soupnya dan masuk ke dalam mulutnya.
Lelaki yang lebih tua itu merogoh sakunya dan mengambil ponselnya dari sana. Memencet tombol power dan mengusap ponselnya itu.
"Setengah empat pagi," gumamnya. "Gue mau balik,"
Felix mengangguk-nganggukan kepalanya.
"Lo nggak mau tetap disini?" Changbin beranjak dari duduknya.
"Ikut," Felix ikut beranjak, kemudian mengekori lelaki yang lebih tua itu berjalan lebih dulu.
Mereka berdua menaiki lift untuk menuju kamar Changbin yang terletak di lantai 3.
Changbin membuka pintu kamarnya, yang lebih muda masih setia mengekori dibelakangnya.
"Single bed, but king size." kata Changbin.
Felix mengangguk-ngangguk, "Nggak papa. Aku tidur di sofa aja,"
Changbin mengangguk seolah menyetujui perkataan Felix barusan, "Tau diri juga,"
Felix melotot.
"Gue nggak setega itu. Lo bisa tidur di ranjang sama gue,"
"Nggak--"
Changbin berdecih, "Nggak usah nolak, gue masih baik."
Felix menghela nafasnya, "Ya udah kalau kamu maksa."
Felix meletakkan koper miliknya yang sedaritadi ia seret-seret itu di samping sofa. Lelaki yang lebih muda itu melepaskan jaket hitamnya dan meletakkannya di atas sofa.
Changbin yang melihat hal itu langsung menghampiri Felix dan menyingkirkan jaket hitam milik lelaki yang lebih muda itu.
"Jangan biasain jaket taruh sembarangan, taruh di gantungan baju." kata Changbin.
Felix berdecak kesal, "Iya-iya!"
Lelaki yang lebih muda meletakkan jaketnya di gantungan pakaian. Changbin hanya menatapnya dengan tajam.
"Buruan mandi, ganti baju," kata Changbin.
Lagi-lagi Felix berdecak, "Bawel banget, sih!"
Changbin tak menjawab, lelaki itu kini sudah berada di atas ranjangnya sembari memainkan ponselnya.
Felix langsung masuk ke kamar mandi yang ada di kamar itu. Menghidupkan kran air untuk mengisi bath up.
Lelaki itu sudah telanjang bulat, sudah mandi. Namun ia melupakan sesuatu.
Felix membuka sedikit pintu kamar mandi.
"Kak.." panggil Felix.
Changbin tak mendengarnya.
"Ck, Kak!" panggil Felix dengan nada yang sedikit meninggi.
Changbin yang semula menunduk karena bermain dengan ponselnya, kini harus mendongak begitu Felix memanggilnya.
Lelaki yang lebih tua tak menjawab 'ada apa' kepada yang lebih muda, namun ia hanya menyiratkannya dengan tatapan mata yang Felix mengerti.
"Aku lupa bawa handuk," kata Felix.
Changbin berdecak kecil, lalu berjalan menuju buffet kecil yang berisi pakaiannya. Lelaki itu mengambil sebuah handuk hitam dari sana dan berjalan menuju kamar mandi.
"Buka," kata Changbin.
Felix melotot, "Heh!"
Changbin berdecak, "Terus gimana handuk ini bisa masuk, tolol? Buka!"
Felix kesal. Benar-benar kesal, kenapa harus ada kata 'tolol' dibelakang ucapannya? Felix benci orang yang kasar.
Felix membuka pintu kamar mandi setengah lebar lalu mengambil handuk dari tangan Changbin dengan cepat.
"Makasih!"
Lelaki yang lebih muda langsung menutup pintu kamar mandinya lagi. Changbin yang melihat tingkah yang lebih muda itu langsung melengos.
Selesai mandi dan berganti pakaian, Felix duduk di sofa yang ada di kamar Changbin sembari memainkan ponselnya yang sedaritadi tak ia pegang.
25 missed call from Mom
12 missed call from Dad
103 missed call from Twins
Felix menghela nafasnya pelan, ada sedikit perasaan menyesal kenapa ia harus membuka ponselnya jika ia akan disuguhkan dengan banyak notifikasi seperti itu.
Lelaki itu kembali meletakkan ponselnya, namun kali ini ponselnya ia matikan. Menghindari hal yang sama sekali tak ia inginkan.
"Ngantuk lo?" tanya Changbin dari atas ranjang.
Felix sama sekali tak menjawab, ia bahkan seperti tak menghiraukan ucapan Changbin.
Changbin tak ambil pusing, ia segera menarik selimutnya.
"Kalo lo mau tidur, lampunya jangan lupa dimatiin." kata Changbin.
Felix hanya membalas dengan deheman. Setelahnya, lelaki berusia 20 tahun itu kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Apa Mama nyuruh anak buahnya buat ngetrack ponsel gue?" gumamnya. "Ah, bodo amat. Persetan ketemu mereka, gue juga malas mau pulang."
Setelahnya Felix mengubah posisi duduknya menjadi tiduran disofa, mengambil posisi yang nyaman dan menutup kedua matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
breathing fire ─ changlix
أدب الهواة(n.) Felix hate at people who is rude, but exception for Seo Changbin. ─yaoi, bxb, gay story.