BAB 5

3.5K 175 6
                                    



***

"Semakin dalam aku mengenalmu, semakin ciut nyaliku untuk berada di sampingmu."

***


Sudah dua hari yang selalu semenjak seorang lelaki dengan penuh kesanggupan melamar diriku dihadapan orangtuaku. Juga, dalam benakku masih terngiang kata-kata manis yang keluar dari calon suamiku ketika dia membela diriku dengan keimanannya. Senyum tak pernah lepas dari wajahku ketika aku terus mengingat hal tersebut. Rasa pertama yang pernah aku rasakan begitu magis bagi hatiku. Aku memang tidak mengerti tentang arti cinta sesungguhnya, tapi setidaknya aku mengerti bagaimana aku bersikap ketika berada di sekitar orang lain untuk menutupi perasaanku.

Jujur saja aku masih mencintai orang itu, bukan, bukan calon suamiku. Rasa cintaku pada calon suamiku masih dalam proses. Orang itu, aku ingin tahu kabarnya, bagaimana kabarnya setelah tahu aku akan menikah? Aku sungguh ingin tahu akan hal itu.

"Nuha, ngapain bengong."

"Eh, Ra."

Aira duduk di sampingku. Kami berjanjian di kafe dekat rumahku, kami ingin mengerjakan tugas akhir semester yang sangat banyak. Tidak terasa semester lima akan selesai dengan sangat cepat. Aku hanya bisa tersenyum dan kembali berkutat dengan laptop handalanku.

"Ha, kalo ada masalah tu cerita jangan dipendem."

Aira memang sahabat yang mengerti diriku. Aku juga tidak bisa bersikap masa bodoh dengannya. Cara Aira yang blak-blakan mampu membuatku terhibur dan mungkin benar jika bercerita dengannya hatiku akan sedikit longgar. Satu sisi ada keraguan dalam hatiku untuk bercerita.

"Idih nih anak malah bengong." Aku hanya nyengir saja. "Kalo kamu mau cerita aku dengerin Ha."

Aku memegang lengan Aira lembut, "Gimana ya kabar dia."

Aira terlihat kebungungan, "Dia siapa nih?" tanya Aira dengan polosnya.

"Itu loh yang anak DKM." Aira mengangguk paham dengan pembicaraan ini. Sudah tidak akan kaget lagi jika Aira tahu aku memendam suka pada pria soleh itu. Ini juga bukan kehendakku, aku mencintainya sebab kesalihannya.

"Udah lupaian aja dia mah."

"Loh kok gitu?" Tanyaku kaget, karena sikap Aira tidak seperti biasanya.

Kali ini Aira menatapku tajam. Ada sesuatu yang ganjal dengan sikapnya, aku tidak tahu persis. Jelasnya dia bukan seperti Aira yang aku kenal. Lebih serius, dan itu bukan pertanda baik.

"Ha, aku tahu gimana perasaan kamu sama si Y itu tapi enggak baik menurut aku si masih memendam perasaan sama dia sedang kamu udah mau jadi istri orang."

"Jalan Allah siapa yang tahu si Ra." Kataku masih membela perasaanku ini. Aku sudah tahu hal yang Aira katakan tapi jika ini menyangkut perasanku kemungkinan besar itu akan aku tolak. Dasarnya wanita sangat mengandalkan perasaan, dan itu cukup sulit bagiku.

"Iya, tapi sebagai hamba-Nya kita juga harus paham Ha, coba pikir gimana perasaan orang yang mau jadi suami kamu kalo tahu hal ini?"

Aku berpikir karena Aira, benar adanya. Tapi perasanku menolak lagi. Ragu, benar, aku ragu pada calon suamiku. Aku tidak begitu kenal dia, aku juga tidak mau cerita percintaanku seperti sinetron di TV. Mungkin aku harus bersabar dengan jalan Allah, jika memang jalanku seperti ini, terima saja.

Peluk Aku dalam IstiqomahmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang