BAB 4

3.2K 120 7
                                    


***

"Tidak mengapa kalau Nuha bukan wanita cantik dari segi fisik, dia cantik dari segi hati. Juga, tugasku kelak yang akan mempercantik dia dengan rezki yang diberikan Allah kepada Nuha lewat pekerjaanku."

***

Keadaan begitu ricuh dari pagi, semua orang yang berada di rumah tengah mempersiapkan kedatangan tamu istimewa. Begitu pun dengan diriku, perasaanku sangat kacau karena calon suamiku akan datang untuk menghitbah diriku. Bukan main rasanya, begitu campur aduk sampai rasanya ingin mengeluarkan makanan yang baru saja aku makan. Ketika wajah polos ini mulai di make up aku ingin menolak tapi ketika ibu berkata harus, aku tidak mungkin menolaknya. Toh sama saja jika aku dandan, aku tetap akan ada di kamar, tidak ada yang melihatku.

Pukul 13.00 pas, aku masih berada di kamar ditemani sahabatku, Aira. Dia tidak bisa berhenti menyunggingkan senyum melihat diriku berbeda seperti biasanya.

"Kamu tu cantik, kenapa enggak pernah dandan coba?"

"Lah, dandan juga siapa yang mau ngelirik." Balasku sedikit bercanda.

"Iya si bener juga, dipandang banyak cowok nanti jatuhnya kita yang dosa, aku hapus make up aja kali ya." Ucap Aira dengan memelas.

Aku cekikikan mendengar kemelasan Aira, "Ya elah Ra, biasa aja kali, sekali doang eh dua kali pas aku resepsi."

"Hemmmm, aku nyusul kamu lah Ha."

"Nyusul-nyusul, selesein kuliah dulu," balas bunda Aira yang masuk ke dalam ruangan. Aku menatap Aira sembari menahan tawa. Aira malah cemberut karena balasan dari sang bunda.

"Kalo aku udah tua, terus enggak laku gimana Bun?"

Sang Bunda tersenyum, "Perkataan adalah doa." Wanita paruh baya tersebut tersenyum padaku dan keluar ruangan.

Aku tertawa bukan main mendengar jawaban dari Bunda Aira, "Tuh Ra dengerin ahahahhahah."

"Puas banget ketawanya, tuh muka nanti pecah." Aku terdiam tetapi mencoba menahan tawa karena kejadian kemarin.

Terdengar kericuhan di luar sana, aku yakin jika rombongan calonku sudah datang. Aku mempererat genggamanku di gamis yang aku pakai.

"Ha."

"Iya."

"Aku boleh liat di luar enggak?"

Aku menggeleng, "Tega banget kamu ninggalin aku sendirian."

"Hemmm Nuha, harusnya aku yang bilang begitu, kenapa kamu ninggalin aku sendirian menjomblo begini."

"Iya deh iya, sana, eh sekalian lah fotoin terus kirim ke aku, ok."

Aira mengangguk dan tersenyum, "Okayy, aku kesana dulu, dahh Nuha." Bocah itu sudah hilang dari pandanganku, aku tidak tahu apa yang terjadi di sana. Pasalnya memang sebuah keputusanku untuk tidak bertemu dengan Zain sampai akad di kumandangkan, aku takut terjadi hal yang di luar nalar manusia. Seperti hasutan syaitan yang terkutuk.

Aku masih berdiam diri di kamar, tapi indra pendengaranku menangkap hal yang begitu sensitif untuk didengar.

"Apaan si Ma, masa iya abang nikah sama cewek yang baru umur 20 tahunan. Masih kuliah lagi, pasti masih labil kaya aku. Mana lagi enggak cantik tahu ma, liat mah foto di instagramnya aja enggak ada mukanya sama sekali, dia pasti menutupi kejelekkan mukanya."

"Bener, Mama juga setuju. Kenapa juga abangmu nikah, kalo bukan karena Papa, Mama enggak akan setuju."

Deg. Hatiku terasa dipatuk oleh palu. Terasa nyeri, bagaimana bisa mereka berkata demikian? Apakah cantik fisik hanya menjadi pondasi untuk bisa enak di pandang? Aku tidak tahu apa maksud mereka berkata demikian. Mereka tidak tahu bentuk asliku seperti apa, lantas kenapa begitu gamplangnya berkata demikian? Aku memang tidak cantik seperti wanita di luar sana, tapi aku yakin aku masih punya hati untuk tidak berkata demikian di belakang orang.

"Mama, Pina, tolong ini tempat calon istirku, berbuatlah yang semertinya, jaga sikap aku tidak ingin calon istriku mendengarnya."

"Alah kamu itu, gimana si harusnya kamu tu minta sama papa buat cari istri yang lebih cantik lagi." Saut suara paruh baya.

"Saya tahu, ukuran kecantikan Mama dan Pina itu seperti apa, tapi anakmu ingin Mama tidak berkata demikian itu tidak baik, Pina juga kamu harus menghargai keputusan abang, juga...." aku mendengar pria itu menarik nafas pelan untuk menahan amarah.

"Tidak mengapa kalau Nuha bukan wanita cantik dari segi fisik, dia cantik dari segi hati. Juga, tugasku kelak yang akan mempercantik dia dengan rezki yang diberikan Allah kepada Nuha lewat pekerjaanku."

Tidak ada sautan dari wanita yang disebut Mama dan Pina itu, aku terus mendengar pembicaraan itu sembari menahan diri untuk tidak mengeluarkan air mata.

"Ini keputusan Hamizan karena jalan yang diberikan oleh Allah, saya harap Mama dan Pina mengerti. Acara segera dimulai Papa sedang menunggu."

Aku menggigit bibirku kuat, aku tidak kuasa menahan air mata yang sudah tampak berada di ujung mata, tetesan air mata pertama mendengar seorang pria yang tak aku kenal berkata demikian tentang diriku. Itu sesuatu yang sangat tidak biasa. Sebelumnya aku tidak pernah merasa demikian, aku selalu diam dan tersenyum ketika tengah diejek, di bully, atau dipermainkan oleh teman yang memang tidak menyukaiku. Tapi kali ini aku yakin, aku akan dilindungi oleh Allah lewat seseorang yang memang terbaik karena pilihan-Nya.

"Hisk terima kasih ya Allah." Ucapku bergetar seraya menahan tangis.

TBC

Sorry nunggu lama, acara seserahan (lamaran) belum selesai, ada di bab 5, tunggu bab selanjutnya. Jangan lupa vote dan komen yaaa~

Peluk Aku dalam IstiqomahmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang