BAB 8

2.3K 91 7
                                    



***

"Menyembunyikan sesuatu dari orang yang kita cintai sangatlah sulit, menyesakkan hati dan takut-takut membuat hatinya terluka. Aku berani menceritakan ini demi aku dan kamu. Walau usia pernikahan ini baru hitungan hari. Ini cara Allah mencintai kita. Percayalah."

***

       Nuha menatap mobil itu dengan sedikit kecewa, dia ingin menemui ayahnya. Ingin menemani sang ayah disaat beliau sedang sakit. Tapi apalah daya suaminya ada urusan penting yang harus diselesaikan. Gadis itu pergi ke kamar, mencari novel yang Aira pinjamkan kepadanya. Novel yang berjudul Harga Sebuah Percaya dari penulis terkenal Tere Liye. Menatap Novel itu dengan tidak sabar, dia membacanya dengan sangat asik. Adan isa berkumandang, Nuha meletakkan novel itu dan mengambil air wudu.

       Menjalankan ibadah dengan khusuk dan setelah selesai ia berdoa kepada sang Maha Agung. "Ya Allah, saya tahu ini jalan terbaik dari-Mu. Saya mohon ya Allah, jadikan pernikahan ini pernikahan yang selalu berjalan di jalanmu. Bimbing dan ingatkan kami jika kami mulai melakukan hal yang salah, saya mohon ya Allah sehatkan orangtua saya, mertua saya, dan seluruh keluarga saya."

***

       Pemandangan lain terlihat di salah satu cafe sudut kota itu, duduk saling berhadapan seorang suami dengan wanita lain.

       "Kenapa menghubungi aku lagi?" tanya Zain dengan ketus.

       "Ayolah sayang, aku ingin ke Paris, mengejar mimpiku menjadi desainer terkenal, apa itu salah?" jawab wanita itu sembari hendak memegang tangan Zain. Belum sempat tersentuh oleh tangan wanita itu, Zain sudah berdiri.

       "Jangan ganggu aku lagi, aku sudah menikah, aku akan bahagia dengan wanita solehah yang sekarang menjadi istriku."

       Wanita itu mendengus, "Aku juga dulu solehah, tapi kamu tetap meninggalkan aku."

       "Devi! Kamu yang merusak dirimu sendiri, waktu itu kita sudah bertunangan, tapi aku membatalkan tunangan kita, kau tahu karena apa?" 

       Wanita yang disebut Devi menatap Zain, "Kenapa? Ada yang salah dengan penampilanku sekarang? Aku sama seperti adik dan ibumu? Apa salahnya melepas hijab dan mengubah penampilan? Tidak ada yang salah bukan?"

       Zain tidak ingin berdebat lama dengan wanita masa lalunya itu, "Terserah apa maumu, aku sudah berkeluarga sekarang, aku permisi, assalamualaikum."

       "Zain tunggu dulu." Langkah Zain terhenti. "Kamu masih mencintaiku kan?" Tanya wanita itu dan dijawab gelengan kepala dari Zain.

        Pria itu melajukan mobilnya menuju istrinya, Nuha. Dia sangat berdoa karena berbohong di hari pertama pernikahannya. Pria itu menemui wanita yang dulu menjadi tunangannya. Sudah sangat lama dan jika diceritakan hanya akan membuka luka lama.

        Zain ingat betul ketika Devi memutuskan untuk melepas hijabnya dan mengubah penampilan yang begitu terbuka. Tidak habis pikir kenapa wanita dari lulusan pesantren dan sudah bertunangan dengannya itu lebih memilih membuka hijab karena alasan akan menghambat dirinya menggapai mimpi. Entah dari mana dia mendapatkan pemikiran tersebut.

        Pertunangan mereka dibatalkan karena perbedaan visi dan misi dalam pernikahan. Zain tidak ingin mengambil resiko melanjutkan pertunangan menuju pernikahan, yang ada setelah menikah mereka akan bercerai karena beda prinsip.

        Jam menunjukkan pukul 10.00 WIB. Lampu masih menyala, tapi ketika Zain mau membuka pintu, pintu terkunci. Dia juga hendak menelpon istrinya tapi batre handphonenya habis. Terpaksa dia duduk di teras dan merenungi kesalahannya bertemu dengan Devi. Dia ingin tegas dengan wanita itu agar tidak mengganggunya lagi. Jika ibu dan adiknya tahu jika Devi telah kembali, kemungkinan terburuk mungkin akan terjadi.

        "Loh mas kok enggak ketuk pintu?" Tanya Nuha ketika membuka pintu.

        Zain berdiri, tersenyum ringan. "Iya, takut kamu udah tidur. Tadi juga mas enggak bilang mau pulang jam berapa, jadi mas duduk deh di sini."

        Nuha tertawa geli, "Yaelah mas, jam berapa sekarang, masih jam sepuluh."

        Zain menatap Nuha dengan tatapan bersalah, "Maaf tadi aku pergi begitu saja, maaf juga tadi tidak sempat ke rumah sakit, sekarang sudah terlalu malam untuk menjenguk bapak. Tidak apa-apakan kalau besok kita ke rumah sakitnya?"

         Istrinya mengangguk sembari tersenyum, "Iya mas, bisa ke sana besok. Sekarang kita istirahat saja dulu."

         Mereka masuk ke dalam rumah dengan tenang, sedang Zain masih diselimuti rasa bersalah.

***

        "Maaf Izan, aku memang salah, tapi aku juga tidak salah kalau aku memberi tahu tante Sari. Hanya tante Sari yang bisa menerima keadaanku ini." Devi langsung mengirim pesan kepada ibunya Zain.

TBC

Maaf banget baru dilanjut, bener-bener sibuk banget, aku juga lagi nyusun skripsi, tolong doakan aku ya teman-teman. InsyaAllah kali ini aku akan melanjutkannya walau sangat tekat. Pokoknya doakan aku cepat beres semuanya

Terima kasih sudah mendukung aku sampai sekarang!!!

Peluk Aku dalam IstiqomahmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang