PART - 6 (EDIT)

65 2 0
                                    

DAN KUTETAP DI SINI
Januari 2019

Di atas mobil putih kesayangannya, Leony duduk dengan kepala bersandar di kursi dan  dengan mata dalam keadaan terpejam rapat. Sukmanya berkelana jauh di belahan bumi yang jaraknya ribuan mil.
Ia sama sekali tidak peduli dengan hiruk pikuk kehidupan kota metropolis yang mengelilingi dirinya. Raganya memang tetap di sini, terpasung dalam kekangan kehidupan yang penuh kamuflase. Namun jiwa dan sukmanya terus berselancar meniti jejak mencari ujung dari sebuah kisah panjang yang dilakoninya.

"Noel, mengapa kamu tiba-tiba datang. Bukankah kamu tidak ingin lagi kembali ke sini. Bukankah kamu tak lagi berharap ada cerita yang kita bisa perankan bersama. Bukankah kamu tak lagi ingin bermain dalam kisah di mana aku salah satu pemeran sebuah karakter di kisah itu?!" Ada  sayatan yang tiba-tiba menghadirkan perih yang amat dalam di jiwa Leony.

Memang bukanlah raga Noel yang hadir bersamanya. Namun itulah yang membuat jiwa Leony kembali teracak-acak. Nalarnya tak dapat mengendalikan sukmanya. Jiwanya semakin jauh berselancar menyelusup masuk ke dalam ruang yang yang tak ternalar. Sebuah daya kontemplasi tingkat dewa llllyang sulit di hentikan.

"Noel.  Noel. Noel."
Berkali-kali Leony menyebut nama Noel dengan suara yang lirih dan dengan mata yang berkaca-kaca. Ia menyebut nama Noel seolah tak ada jarak yang membentang dihadapannya.

"Lagi,  lagi, dan terus seperti ini. Kamu hadir mengisi setiap rongga di nadiku. Mengalir mengikuti ritme setiap aliran darahku." Keluh Leony.

Leony hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Raganya tak punya daya dan kekuatan untuk menolak kehadiran Noel di setiap tarikan nafasnya.

Perlahan Leony membuka pintu mobilnya lalu keluar berjalan menuju bibir pantai. Langkahnya nampak tak bersemangat. Kedua tangannya dibiarkan bertengger di kedua saku jas hitam (trade mark nya)

"Hay."
Tepukan dipundaknya yang diiringi suara khas  Diah membuat lamunan Leony seketika  terhenti.

"Ngapain lagi kamu ke sini.?!" Pertanyaan Diah hanya di jawab dengan senyum oleh Leony.

"Lho, kamu sendiri juga ngapain ke sini?! "
Leony balik bertanya.
"Nah,  kan?!  Gak bisa jawab?!
"Makanya jangan sok usil kamu." Leony ngeledek sambil berlalu meninggalkan Diah yang hanya bisa berdiri termangu di tempat.

"Leony,  tunggu."
Dengan gaya pura-pura tidak dengar,  Leony terus melangkah menuju tempat favoritnya. Yah,  di mana lagi kalau bukan di tepi pantai dibawah rindangnya pohon waru.

Dengan terpaksa Diah mengukutinya dari belakang.

Akhirnya mereka sama-sama duduk beralaskan pasir putih  dengan dagu yang bertengger manja dikedua lutut.

"Leoni." Diah membuka percakapan.
"Hm,  ada apa. Kamu kles lagi dengan mas kamu."

" Bih,  kamu kok tau sih Leony. "
"Ya taulah, tuh mata kamu yang bercerita."

"Kamu boleh bangga punya mata indah,  tapi sayang gak bisa menyembunyikan rahasia kamu dari aku."
Leony sedikit mengerjai sahabatnya.

" Ih... Sok tau kamu. Kamu kali yang lagi galau." Diah kemudia berbalik  meledek Leony.

" Dengar baik-baik nona manis. Leony yang sekarang adalah Leony yang gak pake galau."
"Oke ?! Jadi kamu gak usah lagi tanya-tanya Leony soal galau.
"Kamu saja yang galau sendiri."

"Leony,  kenapa yah kita dipertemukan dengan kisah kita yang hampir mirip dan seolah tak berujung."
Diah nampak bicara serius.

"Lebay." Leony menanggapi kalimat Diah dengan sedikit bercanda.

"Aku serius Leony." Sergap Diah.
"Sudahlah." . Terasa ada nada kepahitan dalam suara Leony.

"Kita berdua hanya sedang menjalani takdir kita. Kita tidak bisa paham apa hikmah di balik semua kisah yang kita jalani ini. Dan kita tidak pernah bisa memastikan kapan kisah-kisah kita ini akan ending."

Pendengaran Diah menangkap ada rasa yang begitu  getir dari setiap kalimat yang keluar dari lisan Leony.

"Kita boleh saja berharap pada sesuatu yang kita inginkan,  dan tidak perlu menginginkan sesuatu yang  tidak kita harapkan."
Leony kembali melanjutkan kalimatnya.

Diah tertunduk,  mencoba merenungkan apa yang barusan Leony ucapkan.  Dari kedua bola matanya yang indah, nampak mengalir titik-titik bening mutiara dan bergulir tanpa ia bisa cegah.

Diam-diam Leony menatap wajah Diah yang  nampak diselimuti oleh kabut mendung.
Leony kemudia merengkuh tubuh Diah dan memeluknya erat.

Leony mencoba tegar di hadapan sahabatnya ini. Sebab sesungguhnya Leony  amat paham bahwa Diah pun mengalami masa-masa sulit dalam kehidupannya saat ini.

"Maafkan aku Diah."
"Aku terpaksa harus berpura-pura kuat dihadapan kamu."
Namun kalimat itu hanya bisa diucapkan Leony dalam hatinya.

"Ragaku memang di sini, dan akan tetap di sini bersamamu,  tapi sukma dan jiwaku telah berada jauh ribuan mil jaraknya, telah terbawa dalam jiwa dan sukma Noel." Batin Leony kian perih.

"Menagislah selagi tangis masih memberi kelegaan dalam jiwa kita. Dan menagislah,  sebab hanya tangis yang betah bertahan bersama kita.
Nada suara Leony terdengar serak di telinga Diah.

Diah paham jika sesungguhnya Leony pun memyimpan tangis dalam jiwanya. 

"Leony." Suara Diah tersengar sendu.
"Aku  lelah dengan hidupku sendiri."
"Lelah Leony". Tangis Diah kian keras.
Ia menyandarkan kepalanya di pundak Leony, seolah ingin mencari perlindungan.

"Diah." Suara leony terdengr halus.
"Jangan pernah menyerah dengan kehidupan ini."
"Tapi aku sudah benar-benar tidak kuat Leony."

"Aku paham Diah. Tapi kamu tidak boleh menyerah begitu saja. Kita tidak boleh menjadi pengecut."

"Kita telah memilih menjalani kehidupan kita saat ini,  dan itu berarti kita harus siap dengan segala konsekuensinya." Leony mencoba membangun kekuatan jiwanya kembali.

"Kehidupan yang kujalani juga tidaklah mudah Diah." Lanjut Leony
"Tapi tidak. Aku tidak akan pernah menyerah."

"Aku telah memilih cinta Noel, meski orang-orang menganggap itu bodoh.
Tapi bagiku Noel  adalah kehidupanku selanjutnya. Meski mungkin raga kami tidak mudah untuk dipersatukan lagi."
Suara Leony terdengar amat pahit dan getir.

"Itulah anehnya cinta. Dalam tangis,  kadang kita merasakan adanya keindahan. Dalam tangis kadang kita menemukan apa yang hiwa kita inginkan. Dalam perih dan sesaknya dada, kita bisa merasakan betapa dekatnya kita dengan orang yang kita cintai."
Kalimat Diah kian kian mengacak-acak rasa keduanya.

"Sudahlah Diah." Kehidupan telah membuat untuk kita sebuah skenario dengan dengan adegan yang selalu berurai air mata. Skenario  mau mau atau tidak, suka atau tidak,  namun kita tetap haruslah memerankannya dengan swoenuh hati dan jiwa kita"

"Jadi,  hentikanlah keluh kesah itu. Biarkan kehidupan yang akan mengantar kita pada ritme dan nada yang dikendaki. Karena sekali lagi, kita hanya menjalani takdir kita." Titik-titik bening nampak mengalir membuat sungai kecil di kedua pipi Leony.

Akhirnya mereka berdua kembali berpelukan erat. Berdua menyelami skenario kehidupan yang mereka lakoni meski dengan peran yang berbeda.

"Aku akan melanjutkan kisahku Leony."
"Dan aku,  akan tetap disini dengan jiwa dan sukma Noel yang telah mengisi setiap rongga dalam sel di tubuhku." timpal Leony. Dan tangis mereka. spontan berubah menjadi senyum. Senyum dua oramg sahabat yang mencari makna sebuah kehidupan. ****











JIWA YANG TERTUKARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang