PART-9

26 0 0
                                    

PEREMPUAN ITU
januari 2019

Leony melangkah perlahan di hamparan pasir putih pantai. Di pundak kirinya, sebuah tas warna hitam tetap setia menggantung. Kedua tanggannya yang selalu bersedekap di dada, adalah trade mark seorang Leony.

Pantai. Disinilah setiap sore sepulang kerja,  Leony menghabiskan waktunya. Berdialog dengan ombak sambil mengasah empatinya lewat desiran angin pantai.

Setiap kesempatan saat Leony berdiri di pinggir pantai, tatapannya jauh menukik seolah ingin membelah lautan yang amat luas itu.

"Hm,  ombak datang menggelinding, menggulung,  lalu pergi. Timbul lalu tenggelam. Tak ada yang kekal dalam genggaman."
Nalar Leony mulai mengembara.

"Kemarin dan hari ini,  suasana pantai ini tidak sama. Begitu juga dengan kemarinnya lagi. Hanya aku yang tak pernah  lupa untuk selalu datang ke sini."

"Cerita hari ini tidak sama dengan kemarin.
Episode terus berubah, berganti dari satu situasi ke situasi yang lain. Berbolak-balik. Bertukar-tukar,  kadang di atas lalu kembali ke bawah." Nalar leony kian nelangsa.

"Tapi aku,  yach aku,  tetap saja tak bisa lupa dengan kisah dari skenario yang pernah kita mainkan bersama. Bahkan seluruh DNA dalam tubuhku hanya diisi oleh kisah dua jiwa yang telah tertukar. Yaitu aku dan kamu. Yach, Leony dan Noel."
Leony lalu menarik nafas panjang.

"Tapi perempuan itu. Iya,  Perempuan itu. Aku tak mampu mengatakan bahwa itu adalah perempuanmu. Dan seluruh saraf-sarafku pasti akan berhenti bergerak jika aku harus berdamai dengan jiwaku untuk mengatakan,  bahwa itu perempuanmu, Noel." Leony bagai menelan pil yang amat pahit.

"Angin. Berdamailah dengan raga yang menopang jiwaku ini. Jangan kau tambah bebannya."
Leony berbisik pada angin pantai yang semakin membuat tubuhnya dingin.

"Aku tahu,  peran yang kita mainkan tidak selalu yang baik-baik saja, Noel.  Sebab kehidupan, menyajikan skenario yang tidak selalu bisa mengerti dan bisa kita hayati dengan baik. Dan pun,  mungkin kita belumlah termasuk pemeran yang terbaik.

"Aku pun sadar,  bahwa aku mengenal seorang sosok yang luar biasa. Dan aku masuk dalam dunianya yang jauh lebih luar biasa. Sementara aku hanyalah perempuan yang biasa-biasa saja,  yang mencoba untuk berbuat  yang luar biasa untuk dirimu. Tapi Noel,  lagi-lagi aku berada pada waktu yang tidak dikehendaki."
Sukma Leony kian terbawa jauh mengukuti ritme angin pantai,  yang dinginnya kian membuat tubuh ringkih Leony tak berdaya.

"Noel.  Noel. Noel. Di manapun kamu kini. Aku ingin menyampaikan kepada kamu bahwa, aku seorang perempuan sederhana, tapi ingin memberimu cinta yang tidak sederhana. Aku,  perempuan yang tidak dilahirkan dari rahim seorang ningrat,  tapi ingin meberimu kasih sayang seorang ningrat. Dan lagi,  aku perempuan yang tercipta sederhana namun tidak ingin menyimpanmu dalam jiwa yang sederhana."

Sejenak Leony memejamkan mata. Jiwanya bagai berada dalam dimensi yang tidak lazim. Ia membawa Noel dalam pengembaraan jiwa dan batinnya. Mengasah kesederhanaanya jiwanya menjadi bukan yang sederhana.

"Tapi Noel.  Noel. Perempuan itu Noel. Perempuan itu. Aku tak mengingkari kodrat kesederhanaan diriku.  Tapi seluruh jaringan saraf-sarafku tak sanggup berfikir sederhana saat nama perempuan itu mengalir dalam nadiku mengikuti aliran darahku.

"Sekali lagi Noel. Noel.  Kesederhanaan diriku meminta jiwaku untuk tidak bertanya,  apakah itu perempuan kamu kini Noel.
Tidak. Tidak. Dan tidak. Kesederhanaan  diriku tidak untuk dibawa dalam sebuah jebakan skenario kehidupan. Aku sederhana tapi bukan untuk disederhanakan."

Leony kembali membuka matanya. Namun tanpa ia sadari,  butiran-butiran bening mulai menggelinding jatuh menerpa pipinya yang nampak pucat tanpa kosmetik.

" Noel. Jika empati kamu hanya setipis sehelai rambutku,  maka nalar kamupun tidak akan pernah bisa menjangkau bagaiamana aku yang sederhana,  sanggup membaca dengan akurat,  sandi yang dikirim oleh gerakan tubuhku ke otakku."

"Noel. Noel.  Noel.  Karena kesederhanaankulah,  maka jiwa dan sukmaku sanggup menterjemahkan sebuah isyarat yang tak pernah terlontar dari lisan seorang Noel, yang begitu luar biasa bagiku. Jiwa dan sukmaku dapat merasakan dan menerima impuls dari jiwa dan raga kamu yang berada jauh dari pandangan mata lahiriyahku. Dan kamu,  boleh percaya ataupun tidak."

Leony kebali menarik nafas panjang. Ia leluasa kini berdialog dengan alam. Dengan ombak,  dan dengan angin laut, yang sesekali datang mengibaskan kerudungnya yang menjuntai bebas di dadanya.
Ia mengeksplor kemerdekaan batinnya untuk berkontemplasi  bersama alam. Sebab sahabat yang selalu mendampinginya dan yang tak pernah lelah menantinya,  hanyalah alam ini. Pantai yang selalu memberi senyum dan kesejukan baginya setiap saat, tatkala dirinya datang menyapa.

Leony kembali berjalan menyusuri tepian pantai yang nampak tenang si senja menjelang malam ini.

"Perempuan itu Noel.  Perempuan itu. Kamu tentu masih ingat bukan?!  Saat aku memgirim gambar perempuan itu. Dan kamu masih ingat pertanyaan kamu ke aku saat itu bukan?!"
Leony terus, dan terus membiarkan nalarnya mengembara. Ia menitip kata demi kata, danengirim kalimat demi kalimat, lewat angin,  dan lewat ombak,  yang sesekali datang menyapa demgan menyapu halus kaki Leony.

"Dan Noel,  kamu tahu bahwa saat aku mengirim gambar perempuan itu,  itu menandakan bahwa jiwa dan sukmaku telah membaca sebuah sandi yang telah terkirim padaku. Dan kamulah dengan perempuan itu yang mengirimnya."

"Tapi tidak Noel. Tidak.  Tidak.  Dan tidak. Aku memang perempuan sederhana,  tapi aku  memiliki empati yang tidak sederhana.
Kesederhanaan telah mengajarkan padaku untuk selalu memberi  yang tidak sederhana."
Sejenak Leony menghentikan langkahnya. Wajahnya menengadah ke langit.

"Hm. Lihatlah.  Lihat Noel. Bintang-bintang itu tetap bersinar setiap malam datang bukan?!  Bintang-bintang itu tetap bersinar saat gelap menyelimuti malam. Dan bukankah itu sebuah isyarat,  betapa indahnya alam memberikan keseimbangan?!"

"Noel. Berkali-kali nama kamu kuteriakkan. Aku berteriak pada  gulungan ombak. Aku berteriak pada desiran angin pantai. Agar saraf-sarafku tidak berhenti meberi inpuls pada jiwaku,  pada sukmaku, dan pada ragaku. Demi dan untuk sebuah keihlasan.

Titik-titik bening kembali bergulir dari kedua bola mata Leony yang kian cekung. Dadanya sesak. Ada untaian kata dan yang ingin ia ucapkan. Akan tetapi sekali lagi, kesederhanaannya tak sanggup untuk berucap  sederhana.

"Noel,  jika saja ia adalah perempuanmu kini,  maka letakkanlah pula surga di tanganku. Jika saja ia adalah perempuan yang telah kau siapkan untuk menempati kursi itu,  maka berikanlah pula kursi yang berbeda untukku."

Akhirnya,  kalimat itu terucap jua. Meski dengan tubuh yang terkulai lemah.
Malam kian larut. Dan dengan sisa-sisa energinya, Leony kembali. Ia memacu siputih kesayangannya pelan sambil diiringi lagu "KEMARIN-SEVENTEEN"



















JIWA YANG TERTUKARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang