PART-10

23 1 0
                                    

MAAFKANLAH, SEBAB NAMA ITU
januari 2019

Jam weker yang sengaja ia letakkan di samping tempat tidurnya berdering kencang. Tapi Leony nampaknya masih berlindung di bawah selimut. Matanya terasa sulit untuk ia buka. Ia masih ingin tidur panjang dihari minggu yang hanya ada sekali dalam tujuh hari. Leony hanya bergerak sesaat memperbaiki posisinya lalu  kembali memeluk bantalnya erat-erat. Ia kembali tertidur pulas.

Tapi tidur Leony kembali terganggu. Kali ini terdengar ketokan keras di pintu kamarnya.

"Iya. Siapa sih yang pagi-pagi sudah gedor pint?" Leony kedengaran menggerutu.

"Bangun Leony. Buka pintunya."
Dari luar terdengar suara khas Diah sahabatnya yang rada konyol dan sedikit usil.

"Aduh,  Diah. Tunggu sebentar kenapa sih."
"Ayolah Leony,  nanti kita telat lagi."
Diah mulai kambuh cerewetnya.

Kembali tak ada jawaban . Leony nampaknya tidak peduli dengan suara Diah. Leony kembali melanjutkan tidurnya.

Diah tidak kehabisan akal.  Ia ke garasi dan membunyukan klakson mobilnya kencang-kencang.
Berhasil. Leony terbangun dan langsung berlari keluar kamar menuju garasi.

"Aduh Diah, kenapa sih kamu. Pagi-pagi sudah bikin ribut." Leony kesal dengan kelakuan Diah.

"Yes,  berhasil." Diah tersenyum dalam hati.
Ia berhasil mengerjai Leony.

"Sekarang kamu mandi sana,  lalu habis itu kamu pakai baju yang cantik, pake bedak.  Dan satu lagi,  pake lipstik yang sedikit agak terang biar wajah kamu yang pucat nampak cerah. Cepat sana."
Diah terus cerewet memaksa Leony.

"Lho,  ngapain kamu nyuruh aku kayak begitu. Ini hari minggu, tau. Hari kebebasan. Terserah aku. Pokoknya aku mau tidur lagi."
Protes Leony.

"Leony,  aku ingin kamu temani aku ke acara nikahan temanku."
Bujuk Diah.
"Gak,  maaf Diah aku benar-benar hanya mau istirahat hari ini. Mohon mengerti yah. Pliss Diah. Mmuuuaah."
Leony mengecup pipi sahabatnya dan berlalu  dari hadapan Diah.

Diah akhirnya mengalah  dan meninggalkan Leony yang masih terkantuk-kantuk.
"Maafkan aku Diah." Bisik Leony dalam hati.

Leony kembali masuk ke kamarnya dan mengunci pintu dari dalam. Leony menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur.  Ia menarik kembali selimutnya, dan tubuhnya dibiarkan berlindung di bawah selimut warna hijau daun kesayangannya.

Noel. Nama itu kembali datang mengehentak dan memantik rasa dalam jiwa dan sukmanya.

"Noel. Andai saja kamu ada di sini saat ini,  dan kita berdua menghabiskan waktu hari ini berdua. Yah hanya berdua saja, Noel."

Hayalan Leony kembali terbawa jauh melintasi jarak, melewati lautan dan pegunungan. Menembus badai dan menerobos awan. Hanya karena sebuah nama.  Noel.  Yah Noel. Hanya Noel.

Ia ingin tertidur kembali dengan mencoba membawa nama itu,  dan agar raga dari nama itu hadir dalam tidurnya, meski sesungguhnya itu hanya dalam dunia yang tak nyata, yaitu mimpi.

"Tapi Noel. Aku teramat sederhana untuk membawamu ke dalam impian yang tidak sederhana. Aku, hanya seorang perempuan yang biasa-biasa saja. Lalu bagaimana aku bisa memberimu keyakinan bahwa aku akan mengantarkanmu masuk ke dalam dunia yang tidak biasa-biasa saja."

Leony tiba-tiba menggenggam ujung selimutnya kuat-kuat. Ada asa yang tak sanggup dibendungnya. Dan rasanya pun kembali teracak-acak. Ada sebuah nama yang kembali melintas dalam alam bawah sadarnya.

"Noel. Aku teramat sederhana. Dan aku tau yang sederhana sangat sulit untuk disandingkan dengan yang dibluar dari kesederjanaan. Tapi, justru kesederhanaan itulah yang memacu energi dalam jiwa dan ragaku untuk menempatkan dirimu dalam bingkai yang istimewa."

Leony semakin jauh terbawa dalam pengembaraan batin. Tubuh ringkihnya yang bersembunyi di bawah selimut hijau daun hanya bisa tergolek diam.

"Tapi Noel. Nama itu.  Nama itu terkadang datang mengetuk nuraniku. Ia datang menghentak,  mengehempas seluruh nadiku,   seolah ingin membuka tabir keihlasan dan empatiku. Yah, menguji keihlasan dan empati seorang Leony yang teramat sederhana."

Titik-titik bening mulai bergulir di kedua belah pipi Leony. Ia tak mampu berdamai dengan kesederhanaan rasa yang ada dalam jiwanya. Bahwa kesederhanaannya menjadi taruhan dalam skenario kehidupannya.

"Noel. Orang akan senang menyaksikan pepohonan yang tumbuh subur dan menghijau. Tapi jarang orang yang memikirkan keadaan sang akar. Kita akan nyaman memakan buah yang rasanya lezat dan manis. Tapi lagi-lagi sang akar tak terpikirkan. Tatkala kita melihat bunga yang begitu indah mekar tumbuh di taman. Kita akan berdecak kagum. Bahkan naluri manusiawi kita memaksa kita untuk memetiknya dan ingin merasakan harum wanginya. Akan tetapi kembali, sang akar tak tersentuh perhatian."

Leony masih dalam pengembaraan batin yang kian tak terjangkau saat smarphon yang tergeletak di sampingnya berdering.
Seketika ia tersentak kaget dan meraih smartphon itu.

"Oh,  Noel,  ia menelponku." Gumam Leony.
" Leony. Assalamu alaikum. " Terdengar suara berat Noel
"Ia Noel,  waalaikumussalam." Jawab Leony pelan.

"Suara kamu kok serak begitu. Kenapa Leony.  Sakit kamu?!"
Pertanyaan Noel yang bertubi-tubi membuat Leony hanya bisa terhenyak.

"Gak noel." Jawab Leony singkat.
"Gak bagaiman." Protes Noel.
"Atau kamu habis nagis lagi."

"Ah,  Noel. Mungkin kamu tidak akan pernah tahu dan paham pengembaraan jiwaku."
Kesedihan tiba-tiba menyeruak masuk memenuhi batin Leony.

"Noel. Nalarku yang sederhana mengikuti kesederhanaan diriku memandang,  bahwa AKAR,  yang tak nampak oleh mata, dan selamanya berada dibawah, bahkan selamanya tertimbun oleh tanah dan bebatua,  sesungguhnya ia lah yang menjadi sebab utama rindangnya sebatang pohon.  Harum wangi bunga dan manis kezatnya rasa buah, itu karena,  NUTRISI DARI SANG AKAR."

Sejenak,  Leony pengembaraan nalarnya terhenti. Ia diam membisu. Ia menunggu apa yang akan dikatakan Noel selanjutnya.

"Leony. Kamu kok diam, kenapa!?
Suara khas Noel yang berat kian membuat Leony terpaku.

"Ah, Noel. Nama itu Noel. Nama itu telah mengunci rapat-rapat lisanku. Nama itu. Nama itu telah memaksa aksaraku menjadi tanpa kata."
Hati Leony kembali tersayat.

" Noel. Akar. Kamu tahu akar dari sebatang pohon bukan?! Cukuplah aku menjadi sang akar itu. Tak perlu nampak di mata, namun sanggup menebar harum wangi bunga. Akar. Yah,  akar. Biarlah aku menjadi akar yang selalu tersembunyi dan tak perlu muncul di permukaan, akan tetapi dapat memberi manis dan kezatnya buah. dan sekali lagi,  AKAR sang pemberi NUTRISI."

Leony menarik nafas dalam-dalam. Sebab kesederhanaannya memintanya untuk tetap bertutur sederhana di hadapan seorang Noel. Tapi ada nama yang selalu datang menghentak,  menguji empati dan keihlasan jiwa dan nuraninya.

"Leony kamu kok dari tadi bungkam saja."
Noel lagi-lagi bertanya oada Leony.

"Maafkan aku Noel. Maafkan, karena nama itu telah membungkam kesederhanaan tutur dari lisanku. Dan maafkan, karena nama itu harus aku sebut,  walau sesungguhnya kesedrhanaanku menempatkan kamu dan dirinya bukan sederhana. Yah,  IDAYAH nama itu"

Akhirnya Leony berkata lirih sambil mematikan telepon.













JIWA YANG TERTUKARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang