•Now Playing: Christopher ~ Heartbeat•
Aku menyesap Americano, menenangkan diriku dari rasa bosan luar biasa. Sudah lebih dari tiga puluh menit aku duduk di kafe ini, namun orang yang kutunggu belum terlihat batang hidungnya. Huft, kebiasaan sekali dia, selalu saja ngaret. Aku melihat jam di layar ponselku. Lima belas menit lagi jam istirahat berakhir. Aku menghembuskan nafas gusar. Jangan sampai aku terlambat masuk. Ada hal penting yang harus kuurus setelah ini. Aku harus bertemu produser untuk membicarakan program acara baru.
"Hei... Udah lama nunggu?"
Ah, akhirnya dia datang juga. Kemudian dia duduk dan menyambar Americano-ku lalu menyesapnya hingga habis. Ah dasar, dia memang menyebalkan. Selalu seenaknya.
"Itu milikku. Kamu bisa memesan sendiri." Aku menggerutu, membuang muka darinya. Dia malah mendekat dan menarik hidungku, hingga membuat posisi kacamataku melorot.
"Gue pesenin deh, lima cup buat lo." Kemudian dia melambaikan tangan, memanggil pramusaji. Benar saja, dia memesan lima cup Americano.
"Hei... Apa-apaan sih kamu?" aku memelototinya.
Apa dia gila? Aku nggak akan saggup menghabiskan sebanyak itu. Apa dia pikir perutku ini gentong?
"Satu aja, Mas." Aku menatap mas-mas pramusaji berkumis tipis.
"Lima, Mas." Dia tetap keukeuh memesan lima cup.
"Aduh, Mas, Mbak, jangan bikin saya bingung. Lima atau satu?"
"LIMA!" teriaknya, membuatku menghentikan ucapanku hanya diternggorokan. Mas-mas pramusaji itu menulis sesuatu di buku catatannya, kemudian pamit. Setelahnya hanya hening diantara aku dan dia. Bahkan dia malah asyik memainkan ponselnya.
Jadi, untuk apa sebenarnya dia mengajakku bertemu siang ini? Untuk menemainya bermain game di ponselnya? Sial sekali aku. Seharusnya saat ini aku mempersiapkan diri untuk meeting dengan produser. Lima menit setelahnya pesanan datang. Kemudian dia menyerahkan satu cup untukku dan empat cup lainnya dia tarik ke depannya. Jadi... Oh!
"Lagian ge-er baget lo. Siapa juga yang mau ngasih semua buat lo." Dia pun menyesap empat cup Americano dalam sekejap sampai tandas tak tersisa.
"Kamu... kenapa sih?" tanyaku. Dia tak seperti biasanya. Wajahnya memang selalu ceria, walau agak tengil. Namun, matanya tidak bisa membohongiku. Seperti ada kesedihan yang diselipkan di sana. Dia tidak pernah seperti ini. Justru dia yang selalu menghiburku ketika aku sedang sedih atau ada masalah. Sampai detik berikutnya dia tetap tidak menjawab.
"Jadi, kenapa kamu sekarang ngajakin aku ketemuan di sini?"
"Gue... Kangen aja sama lo."
"Nggak lucu deh. Bahkan tiap hari aku bisa lihat kamu dari kamarku, begitu juga sebaliknya."
Memang benar, rumah kami bersebelahan. Bahkan letak kamarnya
berhadapan. Rumah kami hanya dibatasi pagar beton rendah yang diatasnya ditumbuhi tanaman hias menjalar."Atau aku pergi sekarang?" tanpa menunggu jawabannya aku mulai beranjak, tak kusentuh sedikitpun Americano yang dia pesankan tadi. Tiba-tiba dia mencekal pergelangan tanganku dan berdiri mensejajariku. Pandangan mataku hanya sejajar dengan dagunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovezone
RomantizmGigi dan Dewa tumbuh bersama sejak bayi di panti asuhan, membuat keduanya memiliki ikatan batin layaknya saudara kembar, bahkan usia mereka hanya terpaut beberapa bulan. Jika salah satu dari mereka terluka, maka yang lain akan merasakan hal yang sam...