14. RIVAL

7.8K 1K 67
                                    

Tidak cukup itu saja, hari Sabtu Sofi yang biasanya sangat sepi dan tenang, menjadi lebih penuh dengan datangnya satu orang lagi ke rumahnya. Lagi-lagi tamu tak diundang. Tapi yang ini bukannya tidak diharapkannya.

”Kamu punya kebiasaan meninggalkan barang-barang ya?” kata orang itu begitu Sofi membukakan pintu. Lelaki itu menyodorkan tas kain yang biasa digunakan Sofi untuk membawa buku, diktat atau barang-barangnya yang tidak bisa masuk ke dalam ranselnya.

Lalu keduanya terpaku selama beberapa detik.

Melihat Sofi dengan rambut digelung asal-asalan saja sudah membuat lelaki itu merasa Sofi seksi, apalagi ditambah dengan kaos rumah yang kebesaran itu. Jantungnya berdegup, hatinya berdesir, dan imajinasinya bermain liar.

Demi menutupi kegugupannya dan mengendalikan pikirannya, lelaki itu sengaja membuat lelucon. ”Kamu bukan sengaja meninggalkan tas ini di motor saya buat caper ke saya kan?”

Sofi mencebik kesal. Tapi ia tetap mengambil tas kainnya dari tangan lelaki itu. Di dalamnya ada sebuah buku kuliah dan beberapa fotokopian diktat. Malam sebelumnya, ketika lelaki itu mengantarnya pulang, ia lupa mengambil tas yang dia gantungkan di bagian depan motor lelaki itu. Isinya penting sih, tapi belum diperlukannya dalam waktu dekat, sehingga dia tidak terlalu panik saat kehilangannya. Dia berharap bisa bertemu lelaki itu di stasiun, kereta atau di kampus lagi.

Lelaki itu tertawa, senang karena melihat Sofi kesal, juga senang karena berhasil menutupi kegugupannya dengan lelucon itu.

”Makasih ya Bang. Maaf, lagi-lagi merepotkan. Tapi beneran, ini bukan caper. Harusnya Bang Attar nggak perlu mengantar kesini,” kata Sofi cepat.

”Kalau bukan saya yang mengantar kesini, apa kamu jadi punya alasan untuk mengambil tas ini di rumah saya?”

Jujur saja, kalau tidak bertemu dengan Attar selama seminggu, Sofi memang berencana untuk mengambil tas itu ke rumah Attar. Tapi mendengar kata-kata Attar barusan, Sofi jadi merasa murahan. Dan pemikiran itu membuat wajahnya kaku.

Attar menyadari perubahan wajah Sofi, dan segera sadar bahwa dia sudah salah bicara. Wajah Sofi kali itu sama seperti yang dilihatnya di stasiun beberapa minggu sebelumnya, ketika dia salah bicara.

”Saya bercanda. Maaf ya, keterlaluan,” kata Attar buru-buru.

Wajah kaku Sofi kembali mencair.

Tapi belum sempat mereka ngobrol lebih jauh, seseorang keluar dari dalam rumah dan berdiri di balik punggung Sofi.

”Mama nyuruh gue ngecek. Siapa, Mbak?” Seorang pemuda yang hanya sedikit lebih tinggi dibanding Sofi berdiri di balik punggung gadis itu sambil menatap Attar. Anehnya, Attar merasa bahwa tatapan itu bukan sekedar tatapan penasaran, tapi juga tatapan permusuhan. Entah kenapa.

”Oh, senior gue. Nganterin buku,” jawab Sofi sambil menyingkir dari pintu sehingga kedua pemuda itu berdiri berhadapan, dengan Sofi berada diantara mereka.

Suasana canggung selama beberapa detik. Sofi tidak tahu apakah perlu memperkenalkan mereka atau tidak. Sementara kedua lelaki itu saling menatap dan saling menilai. Attar lah yang pertama kali memecah kecanggungan dengan mengulurkan tangannya dan memperkenalkan diri kepada pemuda di hadapannya.

”Attar,” katanya sambil mengulurkan tangan.

Pemuda di hadapannya menyambut uluran tangan itu dengan genggaman yang mantap. ”Danan.”

”Adiknya Sofia?”

”Bukan,” Danan menjawab cepat dan tegas.

”Murid les saya, Bang. Sudah seperti adik saya sendiri.”

FORMULASI RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang