Izinkan aku untuk selalu di dekat Hinata

3.4K 513 43
                                    

Anakーanugrah Tuhan yang diberikan pada orang tua. Tidak semua orang tua diberikan kesempatan besar itu oleh Tuhan, hanya orang-orang terpilih. Mereka yang menurut Tuhan layak untuk menjaga, merawat, serta mendidik calon penerus mereka.

Orangtuaーsosok pahlawan bagi seorang anak. Mereka berjuang menghantarkan seorang anak menuju gerbang kehidupan. Tanpa mereka, seorang anak bukan apa-apa. Tanpa orang tua... tak ada orang pertama yang membanggakan kita, tak ada orang yang bisa kita buat bangga.

Sejatinya orang tua dan anak harus saling mengasihi, namun bagaimana jika mereka saling berselisih paham?

.

.

.

.

.

"Kalau kehadiranku di dunia tak sesuai harapan. Lebih baik sejak awal kau tidak menikah dengan mama 'kan?"

Detak jantung Sasuke bagai sebuah dentuman genderang perang. Bukan karena ia marah, bukan. Perasaan ini seperti perasaan kaget yang bercampur dengan perasaan khawatir. Ia takut, tapi tak tau apa yang ia takutkan.

Raiden menjatuhkan tangan dari pundak Sasuke. Uchiha bermata Hyuuga itu tersenyum pada sang ayah. "Menikah lah dengan seseorang yang mengerti dirimu, sabar akan kelakuanmu yang menyebalkan, juga... tahan merindu jika kau pergi berkelana entah ke mana." Suara kekehan terdengar dari bibir Raiden, tak tau mengapa ia merasa ini sangat lucu. Kapan lagi ia bisa memberi petuah pada sang ayah? "Selamat tinggal."

Tubuh Raiden lalu berbalik, ia memunggungi Sasuke dan berjalan menuju Hinata yang tengah menatap nanar ke arahnya. "Mama... mungkin ini terakhir kalinya kita bertemu, tapi jangan bersedih. Aku yakin mama akan mendapatkan anak-anak yang lebih tampan dan menggemaskan dariku. Aku bahkan bisa membayangkan bagaimana lucu anak mama dengan paman Naruto kelak. Mama berhak bahagia."

Hinata lamat-lamat menatap Raiden. Mata keunguan khas Hyuuga, rambut belakang mencuat, rahang yang mulai tercetak tegas, bahkan senyum yang sekarang Raiden ulas. Tanpa Hinata sadar sebelah tangannya sudah mengusap pipi Raiden, seakan sedang menyimpan setiap detail raut wajah sang anak.

Mata Raiden terasa begitu perih, ia menaikkan dagu berusaha menghalau air mata yang memaksa turun. Di saat seperti ini rasanya ia ingin ini semua hanya mimpi. Akan sangat berat untuk dia meninggalkan Hinata. Apakah ini akhirnya? Apakah ini harga yang harus dia bayar agar tak melihat Hinata menangis lagi?

"Maafkan aku..."

Kelopak matanya tak berkedip, namun saat kalimat penyesalan keluar begitu saja dari bibir Hinata air matanya turun deras tanpa komando. Kenapa selalu seperti ini? Kenapa Hinata selalu minta maaf padanya?

"Mama..." Ucap Raiden berat. "Ma-ma.. gak salah apa pun. Ini juga bukan salah Raiden. Ini bukan salah s-siapa-siapa ma..." Tangan kanannya menggenggam tangan Hinata di pipinya, sedangkan tangan kirinya memegang pundak Hinata. "Jangan salahkan diri mama lagi ya, walaupun nanti kita tak bertemu lagi. Tapi Raiden sangat bersyukur, Raiden bersyukur sempat menjadi anak mama. Raiden sayang mama."

Akhirnya Hinata ikut menangis bersama Raiden. Mereka berpelukan layaknya tak ingin berpisah. Terlihat kini mereka berpelukan, Raiden pun mengelus-elus punggung Hinata yang bergetar. Biasanya Neji akan langsung menghajar lelaki mana pun yang mendekati Hinata, namun mengetahui bahwa sekarang yang sedang memeluk Hinata adalah anak sepupunya sendiri membuat Neji membiarkan.

"Raiden..." Neji mencoba memanggil keponakannya. Suasana sekarang sudah semakin tak kondusif. Sasuke yang sedari tadi tenggelam dalam pikirannya sendiri, serta Hinata dan Raiden yang tengah menangisi sesuatu yang mereka sebut masa depan. Jujur saja ini sulit dipercaya bagi Neji, tapi satu hal yang ia yakin... Raiden memang anak lelaki Hinata. "Kalau sudah seperti ini bagaimana caramu pulang?"

Hinata dan Raiden sejenak terdiam, mereka melepaskan pelukan dan kemudian saling menatap. Pun Sasuke, ia yang sedari tadi berkutat dengan pikirannya sendiri kini memandang Hinata dan Raiden. Benar juga, bagaimana anak ini bisa pulang ke dunianya?

Raiden menggeleng lemah, ia benar-benar tak tau bagaimana cara ia pulang. Mungkin ia akan menghilang dengan sendirinya karena masa depan akan berubah 'kan? Mama dan ayahnya tak akan bersama, jadi tak mungkin ada Raiden di masa depan. Ya, mungkin jika ia tak terlahir ke dunia, semua akan lebih baik.

"Kau pikir, kehadiranmu di sini akan mengubah masa depan?" Raiden tak membalas pertanyaan Sasuke. Pemuda itu hanya menatap sang ayah tak tertarik. "Kau pikir aku akan diam saja kau melakukannya?"

Helaan napas lelah lolos dari bibir Raiden, maunya apa sih sebenarnya Sasuke ini? Di masa depan tak mau punya anak dengan mata byakugan, di masa sekarang malah tak mau masa depan berubah?

"Sasuke-kun?" Hinata pun heran. Apa yang sebenarnya ada di otak Sasuke?

"Hinata, apa kau rela kehilangan anakmu?" Gadis yang ditanya lagi-lagi mengernyit heran. Tak perlu ditanyakan jelas Hinata tak rela. Penyuka warna ungu itu kemudian menggeleng. "Lihat! Ibumu tak ingin kau pergi. Mengapa kau begitu egois mengubah masa depan?" Tanya Sasuke dengan nada tinggi yang kentara.

Tubuh Raiden menjauh dari Hinata. Kakinya kembali melangkah mendekati Sasuke. "Jadi maumu apa?" Tantang Raiden, ia sudah cukup lelah meladeni ayahnya yang ternyata sejak kecil tak mau kalah. "Apakah ada jaminan bahwa kau akan melihat kami saat kita tetap bersama?"

Sasuke terdiam, mulutnya terbuka dan tertutup beberapa kali. Ingin rasanya menjawab, membalas ucapan Raiden, namun tenggorokan seperti tercekat.

"Tidak 'kan?" Raiden lagi-lagi menghela napas, entah sudah berapa kali penerus Sasuke ini menghela napas. "Dengar Sasuke! Setelah apa yang kau lakukan padaku dan juga mama, apa aku bisa diam saja saat punya kesempatan emas seperti ini? Kau bahkan tak pernah menepati janji barang sekali, bagaimana aku bisa percaya padamu?"

Netra arang Sasuke bergerak dari menatap Raiden kini menatap Hinata. Dilihat dengan baik gadis yang kelak menjadi pendampingnya, gadis yang akan menjadi ibu bagi anak-anaknya. Mungkin ini aneh dan tak masuk akal, namun setelah tadi ia berpikir, bisa saja ia dan Hinata memang sudah ditakdirkan untuk bersama. Serta Raiden, mungkin ia memang bukan ayah yang baik, tapi... ia selalu ingin punya keluarga, orang-orang yang menunggunya untuk pulang.

"Raiden, izinkan aku bersama kalian. Kau boleh memukul sampai kau puas sekarang. Tapi aku mohon, Izinkan aku untuk selalu di dekat Hinata, izinkan aku untuk melihatmu tumbuh dan menjadi seorang ninja yang kuat. Setelah semua alasan yang kau katakan, aku tau aku memang tak pantas, aku tak berhak. Namun setidaknya saat kau mau mengubah masa depan, ubahlah sifatku yang berengsek ini, bukan kalian. Raiden..."

Netra amethyst Raiden melebar, mendadak kepalanya sakit. Indera penglihatannya juga ikut memanas. Jantungnya berdetak tak karuan. Rasanya ia ingin sekali muntah. Apa yang terjadi pada tubunya? Kenapa sekarang dunia seakan berputar. Ah, benar-benar sakit sekali.

Sayup-sayup Raiden mendengar suara Hinata dan Sasuke yang begitu khawatir. Dari matanya yang kian terpejam ia bisa melihat siluet orang tuanya yang mendekat.

Mama... Papa...

.

.

.

.

.

"Raiden?"

•••

This is my very first 'canon' setting ff. AU is my safe zone. So, please don't bully me.

Raiden From The Future [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang