Apa ini namanya kawin lari?

3.1K 525 32
                                    

"Lalu apakah mama menerima tawaran papa?"

Kekehan lolos dari bibir tipis Naruto. Pria 32 tahun itu lalu mengusap punggung Raiden pelan. "Sabar sedikit Rai-kun."

Raiden mengangguk malu, ia menurut apa yang diucapkan Naruto walaupun sangat penasaran dengan kelanjutan ceritanya.

"Sebenarnya, kalau kau tau sifat ibumu. Kau pasti sudah bisa menebak jawabannya."

.

.

.

.

"Dengarkan aku dulu..." Hinata menatap Sasuke lamat-lamat. Tubuhnya merasa aneh saat pelukan Sasuke semakin erat. "Kau tak akan menjadi kuat kalau kau tetap di sini."

Bulan dan langit malam saling beradu pandang.

"Maka dari itu, ikutlah denganku pergi dari desa... dengan begitu kita akan menjadi kuat bersama-sama."

Indera penglihatan Hinata melebar sempurna. Apa maksud dari ajakan Sasuke? Pergi dari desa? Mengapa?

Dengan perasaan bertanya-tanya Hinata melepas pelukan Sasuke. Gadis itu maju satu langkah lalu menunduk. Ia berpikir sebentar, sebenarnya kalau boleh jujur ia sama sekali tak mengerti dengan situasi ini.

Gadis dengan potongan rambut pendek itu kemudian berbalik menatap Sasuke yang ternyata masih menatapnya. Pandangan yang sekarang Sasuke tunjukkan sama sekali tak Hinata paham arti di baliknya. Apa itu tatapan memohon? Meminta? Entahlah.

"K-kau ingin pergi dari desa?" Tanya Hinata hati-hati. Mengangguk, itulah respon Sasuke. Remaja dua belas tahun itu tak menambahkan kalimat pendukung sama sekali. "Kenapa?"

"Mencari kekuatan."

Netra keperakan Hinata melebar. Dirinya kemudian teringat dengan kisah Sasuke yang ingin membalas dendam pada kakaknya. Tapi mengapa harus meninggalkan desa? Lalu bagaimana dengan Naruto dan team 7?

"Bagaimana dengan Naruー"

Belum sempat Hinata selesai berbicara terdengar Sasuke mendecih. Pemuda itu terlihat memalingkan muka, raut wajahnya terlihat seperti... kecewa? Entahlah, Hinata tak bisa memastikan ekspresi pemuda itu dalam remang gelap hutan.

"Tak penting dengan mereka, jadi kau mau ikut atau tidak?"

Hinata tertegun, ia harus jawab apa? Memang benar ia ingin menjadi semakin kuat agar sang ayah bangga. Namun apakah harus dengan meninggalkan desa?

Dan masih Hinata tak habis pikir mengapa Sasuke mengajaknya?

"Sasuke-kun, di desa kita tetap bisa berlatih dan menjadi kuat. Di sini ada guru yang siap mengajari, banyak teman untuk berlatih bersama. Mengapa harus pergi dari desa?"

Sasuke mendesah kasar, sangat kasar sampai-sampai Hinata kaget. Ia tak mengira kalau istrinya di masa depan bisa sebodoh ini. Tapi tunggu, jangan bilang dia lupa kalau Sasuke adalah suaminya di masa depan?

Sial, membayangkan Hinata yang sama sekali tak mengingat membuat ia kesal sendiri.

"Kau menyukai Naruto?" Tanya Sasuke sambil menatap Hinata malas. Terlihat wajah gadis itu merah padam, ekspresi kaget yang ia tunjukkan bagai sebuah jawaban. "Mungkin ini jawaban dari permintaan Raiden."

Wajah malu Hinata seketika berubah saat mendengar nama Raiden, ia tak lupa akan nama itu. Ia ingat benar. Raiden adalah nama anaknya dengan...

Lagi-lagi wajahnya memerah sempurna.

"Sasuke-kun..."

Sasuke menatap Hinata, sepertinya gadis itu sudah bisa mencerna alasan mengapa ia mengajak pergi dari desa. Wajahnya terlihat memikirkan sesuatu.

Sambil memainkan jari Hinata menunduk, ia menatap tanah dengan raut wajah bingung. Di depannya kini sudah ada sosok yang katanya ayah dari calon anak-anaknya kelak. Ia ingin mengajak Hinata pergi dari desa. Apa ini namanya kawin lari?

Ah tidak, tidak.

Jernihkan pikiranmu Hinata. Mana mungkin ia mengajak menikah, lagi pula mereka masih terlalu kecil untuk menikah? Toh Sasuke tak mungkin menyukai gadis lemah seperti dia.

Hinata menggelengkan wajah berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran absurd yang sempat terlintas.

"Hinata?"

Yang namanya dipanggil menatap sosok di depannya. Gadis berambut indigo itu menghela napas. Sebesar apapun keinginannya untuk menjadi lebih kuat dia tak akan meninggalkan keluarga. Bagaimana dengan Hanabi? Bagaimana dengan Hiashi? Ia sudah sering mengecewakannya, Hinata tak bisa membayangkan bagaimana perasaan sang ayah saat tau Hinata jadi ninja pelarian.

Hinata yakin dengan tetap berada di desa pun ia akan bisa menjadi lebih kuat, kalau diminta memilih antara desa atau kekuatan, Hinata akan pilih desa karena di sanalah tempatnya untuk pulang.

"Sasー"

"Kalau kau menolak, itu artinya kau tak akan melihat Raiden lagi."

Mendengar penuturan Sasuke membuat Hinata yang tengah menutup mulut kini membuka mulutnya. Ia tersentak, tak percaya dengan ucapan sepihak Sasuke.

"M-maksudmu apa?"

Sasuke tak langsung menjawab, ia mengalihkan wajah. Namun tiba-tiba ia merasakan chakra seseorang yang mendekat ke arah sini. Ah, kenapa harus ketahuan secepat ini?

"Jadi 'ya' atau 'tidak'?" Bungsu Uchiha itu menatap Hinata tajam, terlihat sekali pemuda itu tidak sabar mendengar jawaban Hinata.

"Maaf, aku tidak bisa..."

Tubuh Sasuke mendadak melemas, percuma ia sempat berharap Hinata akan ikut dengannya kalau ia menyebut nama Raiden. Nyatanya sekarang ia mendapat penolakan. Gadis ini lebih memilih desa, ia lebih memilih Naruto ketimbang suami masa depannya sendiri.

"Baiklah kalau itu keputusanmu. Tapi jangan menyesal kalau kau tak bisa lagi melihat Raiden."

Angin berhembus mengiringi kepergian Sasuke yang menghilang begitu saja. Sedangkan Hinata hanya bisa menatap jauh ke depan dengan wajah kosong. Air mukanya mendadak kelabu. Terlintas di pikirannya apa keputusannya sudah tepat? Apa benar ia tak akan bisa bertemu Raiden lagi?

Hinata berjongkok sambil memeluk lutut. Tiba-tiba hatinya sakit, ia merasa kehilangan. Tidak boleh, Hinata harus membuang jauh-jauh perasaan ini.

.

.

.

.

"Jadi mama menolak?" Naruto mengangguk dan itu membuat Raiden mendengus. Entah kenapa dia jadi kasihan melihat nasib sang ayah.

"Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Mama menikah dengan Hokage-sama? Tapi... mengapa sekarang aku masih ada?"

Naruto terkekeh sambil memandang Raiden teduh. Dapat sifat bawel dari mana ya anak ini? Kenapa dari tadi tak bisa berhenti bertanya?

"Sabar Rai-kun, ceritanya masih panjang-ttebayo." Raiden menggembungkan pipi sebal. Ia sudah sangat tidak sabar menantikan ceritanya.

Naruto lalu melihat jam yang tergantung di dinding atas. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Hinata pasti akan khawatir anak semata wayangnya tak pulang-pulang. Sepertinya ia harus menunda dulu ceritanya.

"Sudah mulai larut, bukan kah sebaiknya kau pulang? Ibumu pasti khawatir." Raiden pun melihat jam. Ah sial, padahal sedang seru-serunya. Tapi ia tak mau membuat sang ibu was-was.

"Iya Hokage-sama. Sepertinya aku harus pulang terlebih dahulu. Maaf kalau aku mengganggu pekerjaan Hokage-sama." Ucap Raiden sambil berdiri menundukkan kepala tubuh merasa bersalah.

Naruto ikut berdiri, ia menggeleng sambil menggerakan tangan tanda penolakan. Hokage ketujuh itu lalu menepuk bahu Raiden pelan. "Nanti akan kuceritakan bagaimana pertemuan kembali antara ibu dan ayahmu."

Mata bak bulan Raiden melebar. Pancaran semangat berbinar terlihat. Dengan bahagia, bocah dua belas tahun itu mengangguk. "Baik, nanti aku akan datang lagi mendengarkan kisahnya."

Naruto lagi-lagi tertawa. Aduh, bisa habis lah dia kalau Sasuke tau dia menceritakan aib pada anak semata wayang Sasuke ini.

•••

Raiden From The Future [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang