BDM~3.Pendekatan

97 11 0
                                    

Sejak 20 menit lalu hanya ada keheningan yang menyelimuti 2 anak manusia berbeda jenis kelamin ini. Bulan terlalu takut untuk memulai pembicaraan.

Dia takut kena damprat dari matahari karena telah lancang dengan menaruh 2 benda keramat itu setiap pagi di laci meja Matahari.

Selain itu dia juga takut di kira sebagai cewek yang tidak tahu malu dan murahan oleh Matahari. Tidak!. Hatinya belum siap.

Mobil Matahari berhenti di depan rumah yang didominasi warna putih dan hijau. Rumah bertingkat dua ini tampak sangat nyaman dan asri.

Di halaman yang tidak begitu luas terdapat pohon besar yang rindang dan di bagian pagar terlihat beberapa tanaman yang ditata di halaman depan rumah Bulan.

Bulan menghembuskan nafasnya. Lebih baik dia meminta maaf terlebih dahulu kepada Matahari daripada di anggap murahan olehnya.

"M-makasih kak" suara bulan sangat pelan hampir tak terdengar. Dia melepaskan seatbelt nya dan membuka pintu mobil Matahari.

Matahari mengangguk. Cowok itu nampak tersenyum tipis dan berniat untuk melajukan mobilnya.

"K-kak!. Maafin aku kalo aku lancang!. M-mulai B-besok aku gak akan naruh roti dan susu lagi di laci kak Matahari. Maaf k-kalo kak Matahari gak nyaman" ucapan dari Bulan membuat Matahari mengurungkan niatnya untuk kembali ke sekolah.

Cowok itu menatap Bulan yang masih menundukkan wajahnya sambil meremas ujung roknya. Sebelah alis tebal Matahari terangkat sedangkan bibirnya tertarik ke atas.

Entah mengapa kelakuan cewek bernetra cokelat jernih itu terlihat menggemaskan di mata Matahari.

"Nggak papa kok. Ya udah gue pergi dulu ya." Matahari menghidupkan mesin mobilnya.

Namun sebelum menutup jendela mobil, cowok itu mengucapkan hal yang membuat Bulan bingung.

"Kayaknya setelah ini kita bakal sering ketemu"

Begitulah ucapan Matahari sebelum mobil cowok itu menjauh, meninggalkan Bulan yang masih tercengang sambil mencoba memproses ucapan Matahari tadi.

Setengah menit kemudian lamunan Bulan buyar karena sebuah suara mengagetkan dirinya.

"Hayo! Kak Bul habis dianterin pacarnya kan tadi!" pekij suara cempreng itu nyaring.

Bulan mengedipkan matanya beberapa kali lalu dia menoleh ke samping. Benar saja di sana sudah ada Chelsea, sepupunya yang masih duduk di kelas 9 SMP.

"Lho Chel, mau ke sini kok gak bilang?" ucap bulan berusaha mengalihkan pembicaran.

"Eh eh eh!. Mau ngalihin pembicaraan nih, itu lagi kok idung lo memar kak?"

Bulan mengusap tengkuknya. Mau bagaimanapun dia berusaha mengalihkan pembicaraan, gadis pendek di depannya itu pasti akan menyadarinya.

"Yaudah ayok ngomongnya di dalem aja" putus bulan pada akhirnya. Dia menggiring sepupunya menuju pintu rumahnya.

Saat dia mencari kunci rumahnya, tanpa sadar dia memegang sapu tangan hitam milik Matahari yang terkena darahnya.

Bulan menggigit bibir bagian bawahnya. Sekarang bagaimana dia harus mengembalikan sapu tangan ini?

***
"Bul, nanti pulangnya mau abang jemput?" Mars menoleh kearah adiknya yang berada di sampingnya.

"Boleh kalo bang Mars gak sibuk" ucap Bulan disertai senyuman. Gadis itu menyerahkan helm kepada abangnya.

Pagi ini cuaca cerah jadi Mars memutuskan memakai motor untuk berangkat ke kampus.

Mars menganggukkan kepalanya. Tak terasa sekarang adik kecilnya sudah kelas X SMA. Sebenarnya Mars ingin satu sekolah dengan adiknya agar dia bisa melindungi adik satu satunya itu.

Bulan dan MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang