Chapter 8

200 11 4
                                    

           

Hari yang melelahkan. Ella dan Stevan sampai di rumah sekitar pukul sembilan malam karena rombongan Justin tadi makan terlebih dulu di sebuah rumah makan sebelum kembali ke kediaman masing-masing. Karena sangat lelah, Stevan sesampainya di rumah langsung merebahkan tubuhnya di kamar tidur setelah sikat gigi. Begitu pula dengan Ella. Hanya saja...

Pukul 22.57...

Ella terbangun dari istirahat singkatnya. Matanya telanjang bulat melihat langit-langit kamarnya. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda dibanding kehidupannya yang sebelumnya namun ia tidak terlalu peduli. Perutnya keroncongan lagi, ia merasa lapar di tengah malam. Ella menginjakkan kakinya di lantai dan ia berjalan keluar kamar. Ella menuruni anak tangga menuju dapur. Di dapur sana di bukanya kulkas, tetapi tidak ada sedikitpun makanan apalagi di atas meja.

"Laperrr laperr!" katanya sendiri sambil mengobrak-abrik lemari jajan. Tetapi tidak ada juga jajan di sana. Ella kembali melangkahkan kakinya menaiki anak tangga. Berjalan menuju kamar Stevan. Di ketuknya pintu kamar Stevan beberapa kali, tetapi tidak ada jawaban sehingga Ella dengan lancang membuka pintu kamar Stevan yang tak terkunci.

Stevan tertidur pulas, selimut Stevan jatuh di lantai. "Stev," panggil Ella pada cowok yang tertidur di ranjang yang didudukinya. "Stevan!" Ella menggugah Stevan, diguncang-guncangkannya tubuh Stevan. "STEVAN!" panggil Ella nyaring tepat di lobang telinga Stevan, membuat Stevan terkejut. Di buka Stevan bola matanya perlahan, didapatinya Ella kini tersenyum kepadanya. Entah itu mimpi atau tidak bagi Stevan.

"Stevan, aku lapar," adu Ella, mengeluarkan wajahnya yang menyedihkan.

"Hufh..." Stevan mengucak-ucak matanya. "Yaudah makan," katanya dengan suara garing.

"Nggak ada makanan sama sekali," kata Ella.

Stevan menutup bola matanya lagi, namun ia masih sadar dan bisa mendengar suara Ella.

"Stevan, aku lapar.. aku mau beli makan. Aku nggak berani keluar sendiri jam sebelas gini. Ayo nah anterin aku," pinta Ella manja.

"....."

"STEVAN!!!" Ella mengguncang-guncangkan tubuh Stevan, namun Stevan tidak bereaksi. "Yaudah! Aku keluar sendiri! Kalau ada apa-apa sama aku di jalanan, kalau aku di culik, aku di perkosa sama orang. Itu salah kamu. BYE!" katanya memperingatkan dengan kesal. Ella beranjak dari tempat tidur Stevan, ia hendak berjalan namun Stevan tiba-tiba memegangi pergelangan tangannya.

"Bentar, ngumpulin nyawa," kata Stevan.

Ella tersenyum.

Tidaklah lama menunggu Stevan. Setelah mengumpulkan nyawa beberapa menit, kini Stevan sudah berjalan di sebelahnya di jalanan perumahan yang sangat sepi walau pak satpam masih ada berjaga. Mereka berjalan berdua, langkah kaki mereka berbunyi nyaring saking sepinya malam hari.

"Nasi goreng gerbang perumahan masih buka nggak ya?" tanya Ella, melipatkan tangannya diperut karena dinginnya udara malam ini.

"Semoga," respon Stevan, Stevan masih sangat mengantuk. Tapi apa daya, dia lebih khawatir jika ancaman Ella itu terjadi dibandingkan ia kekurangan jam tidur.

"Kamu nggak beli?"

"Nggak."

Sekitar lima belas menit mereka berdua berjalan, mereka sampai di gerbang perumahan yang sudah di tutup. Ella lewat pos satpam untuk berjalan keluar menemui abang nasi goreng.

"Kamu nggak beli beneran?" tanya Ella lagi, membuat raut wajah Stevan semakin jengkel. "Ok i see," katanya. "Bang, nasi goreng pedes satu pakai telor ceplok setengah matang ya. Pake sayur ya bang tapi sayur kubisnya nggak usah di masukin ke wajan, di iris-iris waktu nasi gorengnya udah jadi aja," pesan Ella membuat si abang tukang goreng  tertawa kecil.

I Hear Your EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang