"Gue sayang lo, Tha."
Darren bersuara setelah beberapa menit kami saling diam setelah kedatangannya. Gue kontan menoleh, dan menatapnya. Melihat apakah ada keseriusan disana. Walaupun ada, tetap aja masih ada keraguan dalam diri gue.
"Yakin, Dar?"
"Kenapa lo tanya gitu?"
Gue mengangkat bahu.
"Karena menurut gue nggak logis aja lo bisa bilang sayang gue, tapi lo sempat sama Dita, Fanya, Luna, dan terakhir Karin."
Gue tahu semua. Sejak empat bulan kepindahannya ke sekolah gue, kita memang sama-sama bersikap seolah nggak saling mengenal. Bukan gue duluan, tapi Darren. Waktu Dika bilang kalau Darren udah resmi pindah, gue pengen ngobrol sama dia. Gue juga sempet nyapa dia. Tapi entah kenapa, dia nanggepin gue dengan dingin.
Gue menerima reaksi Darren sebagai penolakan dia yang nggak mau kenal sama gue lagi. Itu kenapa gue pun kaget saat mantannya, Luna, yang tahu soal gue. Karena gue merasa memang nggak pernah ada kontakan lagi sama Darren, meski kita kenal, dan sekarang satu sekolah lagi.
Darren nenghembuskan napasnya.
"Sebabnya ada di lo, Tha," gue mengernyit bingung. "Lo tahu kan kalau lo emang alasan gue pindah lagi ke Jakarta?-"
"Halah, bullshit," gue memotong ucapannya.
"Nggak, serius," Darren menatap gue tajam, kesal dia kalau ada orang yang ngeraguin dia. "Gue udah seneng-seneng mau ketemu lo lagi, tapi Dika bilang, tepat sehari sebelum masuk sekolah pertama, kalau lo udah punya gebetan. Gue kesal, Tha. Dika sampe gue maki-maki karena rasanya sia-sia gue balik kesini."
"Tapi akhirnya nggak kan? Buktinya lo bisa macarin mereka?" Darren mendengus. "Padahal lo juga tahu gue sama Revan memang cuma sekedar deket."
"Deket tapi sama-sama ada perasaan kan?" tembak Darren, yang gue iyakan dalam hati. Meski nggak sebanyak rasa suka seperti gue ke dia. "Sama, Tha. Gue juga. Sebenernya gue macarin mereka juga usaha gue buat move on dari lo. Karena gue pikir, lo udah ada Revan, lo nggak bakal liat gue lagi dengan cara yang sama. Pikiran itu bikin gue marah. Makanya gue ngehindarin lo.
"Gue coba buat buka hati sama mereka, tapi nggak ada yang bisa. Rasa sayang gue masih stuck di lo." Gue pengen mendecih, namun liat dia yang melotot tajam, gue malah ketawa. Darren tuh nggak bisa kalau lagi seriusan diajak bercanda sedikit. "Dan omong-omong gue dan Karin nggak pernah jadian. Gue asal jeplak aja waktu itu bilang ke lo nungguin Karin, karena gue sebel denger jawaban lo yang lagi nungguin Revan."
"Kenapa Dar? Lo kan flatshoes?" Dahi Darren mengerut, tanda nggak ngerti. "Nggak berhak, maksudnya."
"Anjir ya, Tha," Darren melempar kerikil yang ada di dekatnya ke gue, bikin gue terbahak. "Gue serius juga."
"Gue juga."
"Tapi nyebelin!"
Gue nyengir kuda, namun sedetik kemudian gue berubah serius lagi.
"Kenapa tiba-tiba lo deketin gue lagi?"
Darren tampak berpikir sejenak, sebelum berkata, "karena dapet pencerahan dari Dika deh kayaknya. Waktu gue main PS sama dia, dia bilang ke gue kalau mau balikan sama lo tuh harus ada usahanya. Apalagi dia juga tahu kan dulu kita gimana. Dika bilang kalau gue terus-terusan jadian sama cewek lain, gimana lo mau percaya sama gue. Dia juga bilang, kalau mungkin aja lo masih ada perasaan sama gue makanya lo nggak jadian-jadian sama Revan. Iya nggak?"
"Dika bisa ngasih saran juga?" Gue menggelengkan kepala tak percaya. "Tapi emang bener sih, karena gue dan Revan memang sama-sama ragu. Gue dan sisa rasa ke lo, Revan yang dilema milih antara gue atau dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Home [Chanyeol X Nayeon]
Ficción General(n). The person or place you want to return to over and over. "She'll always be his home."