Keesokan harinya mereka memulai perjalanan mereka alih-alih ke China mereka menuju pedalaman Jawa Tengah, Kebumen. Jam lima pagi trio ini sudah berkumpul di stasiun Senen, naik kereta api ekonomi jurusan Senen-Yogyakarta, perjalanan mereka memakan waktu kurang lebih delapan jam.
Mereka turun di stasiun Kebumen, dari sana mereka harus naik bus umum untuk sampai ke kota Karanganyar. Begitu mencapai kota Karanganyar, mereka harus naik angkutan desa untuk sampai ke desa Karangkemiri dekat sungai Karanganyar, perjalanan mereka cukup membuat mual karena mereka harus menaiki perbukitan yang alurnya berlika-liku.
Setelah perjalanan yang membuat pusing dan mual, mereka akhirnya turun juga dari angkutan desa.
"Jadi, rumah Nini yang mana Lung?" tanya Randu sambil mengelus perutnya diiringi bunyi berkeriut yang menandakan bahwa dia lapar. Mereka bertiga sudah kelelahan dan ingin segera mengisi perut, atau mandi; atau bahkan langsung tidur.
"Rumah Joglo nomor tujuh," jawab Alung. Malam hampir datang, mereka tak ingin berada di luar di pedesaan yang minim penerangan ini, maka mereka mulai mempercepat langkah.
Sepuluh menit kemudian, tibalah mereka di rumah joglo model kuno yang memiliki halaman luas dengan pagar tembok yang mengelilinginya bertanda nomor tujuh. Melihat suasana rumah yang kuno dan berkesan angker membuat kedua temannya menoleh padanya. Alung mengabaikannya.
Alung sebenarnya sudah beberapa kali ke rumah Nininya, tetapi mereka selalu tiba pagi hari atau siang hari karena selalu berangkat malam atau dini hari untuk menghindari macet. Tetapi ia belum pernah datang kerumah Nininya malam hari, dan baru kali ini ia mendapatkan kesan angker.
"Yap, rasanya ini yang benar. Ayo masuk. Sudah pada lapar kan?" ujar Alung mantap, mengacuhkan wajah kekhawatiran temannya. Kedua temannya hanya bisa pasrah berharap ada stok makanan dan air bersih untuk mandi.
Tok... tok... tok...
Alung mengetuk pintu jati itu tiga kali, namun tak ada jawaban dari dalam.
"Assalamu'alaikum. Nii... Alung datang Nii..." Alung kembali mengetuk pintu dengan lebih keras.
"Kayaknya nggak dikunci deh, Lung," kata Dayu, "coba didorong siapa tahu bisa dibuka."
Alung kemudian memegang gerendel pintu yang berbentuk anting-anting dari logam kuningan dan mencoba mendorongnya. Dorongan Alung menimbulkan suara berat pada pintu, dan benar saja pintu terbuka.
Perlahan-lahan Alung mendorong pintu semakin ke dalam, Alung melongok melihat keadaan dalam rumah yang masih berlantaikan semen dan ruangan itu masih sama dengan yang diingat Alung sewaktu mengunjunginya pada libur Lebaran tahun lalu.
Dari pintu depan, tampak ruangan luas yang berfungsi sebagai ruang tamu yang di tengah-tengahnya terdapat kursi kayu jati panjang-panjang mengelilingi meja jati panjang ceper ditengahnya, di pojok kiri ruangan terdapat lemari kaca berbahan kayu besar yang tingginya hampir mengenai langit-langit ruangan yang berisikan piring dan gelas. Di belakang ruang tengah terdapat lorong cukup panjang menuju kamar utama, kamar Nininya, sementara di kanan-kiri lorong terdapat bilik-bilik kamar kecil yang dulunya dipakai kamar tidur keempat anaknya —anaknya kembar empat.
Alung memberanikan diri untuk masuk ke dalam rumah, sementara kedua temannya merendengi dari belakang. Mereka terbatuk-batuk karena betapa berdebunya rumah ini. Namun, Alung maklum mengingat Nini nya sudah tua dan tinggal sendiri.
"Nini dimana, Lung?" tanya Dayu lagi setelah mengatasi batuknya.
"Mungkin Nini kamu udah tidur," prediksi Randu, sementara matanya melongok kesana-kemari, jelas sekali mencari dapur atau meja makan.
"Dapurnya disamping, disini tidak ada meja makan. Satu-satunya meja di rumah ini. Ya ini." Alung berujar sambil lalu menangkap maksud gerak-gerik Randu sambil menunjuk meja panjang di ruang tengah.
"Tuh, pintunya," kata Alung sambil menunjuk sebuah pintu bercat biru di bagian kanan di ruang tengah.
"Dapurnya diluar, Lung?" tanya Randu, ragu-ragu, melihat pemandangan luar dari jendela bermodel kuno yang setengah terbuka memperlihatkan pemandangan di daerah dapur diantara jeruji kayunya. Diluar sama sekali tak terlihat apapun, karena sudah memasuki waktu maghrib sekarang.
"Iya, kenapa? Emangnya nggak berani?" tanya Alung berbalik menatapnya, "makanya tahan dulu dong, lapernya. Dasar gembul," ujarnya sambil menepuk perut Randu.
"Tauuuk! Gembuul... Sadar dong ini dirumah orang," timbrung Dayu dengan pedas. Randu hanya mencibir.
"Kalian tunggu disini dulu ya. Aku mau ke kamar Nini," kata Alung meninggalkan kedua temannya di ruangan tengah, sedangkan ia berjalan menuju ujung lorong.
"Disini nggak ada lap atau gombal apa ya?" tanya Dayu hendak duduk tapi melihat tebalnya debu di kursi panjang membuatnya enggan.
"Pake baju aja. Nanti juga dicuci," ucap Randu seolah tidak peduli dan memilih merebahkan tubuh tambunnya se-kursi panjang, menghabiskan spot duduk.
"Iih..." respon Dayu melihat Randu tidur di kursi dan memutuskan lebih baik berdiri saja.
Belum lama waktu berlalu, Randu sudah mengorok di kursi panjang menjadikan tangan kanannya sebagai bantalan. Mendengar Randu mengorok, Dayu memandangnya dengan pandangan menghina dan memutuskan melihat-lihat ruangan. Ruang tengah itu benar-benar polos, tidak ada satu pun foto di dindingnya, penasaran dengan dapur di luar, Dayu mengintipnya melalui jeruji jendela kayu, sama sekali gelap gulita tidak terlihat apapun, semuanya hitam, tetapi tiba-tiba ada perasaan merinding aneh yang melandanya.
"Gawat!" ucap Alung bernada panik, yang tiba-tiba muncul keluar dari lorong. "Aku udah cari Nini, di kamar belakang, dan di semua bilik kamar di lorong. Tapi Nini nggak ada," katanya cemas.
"Masa?" tanya Dayu kaget, berpaling memandang Alung keheranan. "Kamu yakin?" tanyanya lagi.
"Ngkin... nni... mu... gi... ke... mar... ndi," ucap Randu dengan kata-katanya tidak jelas antara sadar atau mengigau, lalu kembali mengorok. Alung dan Dayu saling berpandangan, lalu menggeleng.
"Kamu udah cari ke kamar mandi, Lung?" tanya Dayu.
"Belom sih, tapi biasanya Nini kalau udah malam suka jarang ke kamar mandi. Soalnya kamar mandinya agak jauh dari rumah utama, semacam bangunan terpisah gitu," jelas Alung.
"Yaudah, kalau gitu mending kita cari sekarang. Kan tinggal pake senter,"ujar Dayu dengan lagaknya yang nge-boss.
"Tapi..."
"Udaaah... yuk," kata Dayu seraya menggamit lengan Alung.
"Terus, Randu gimana?"
"Biar aja," kata Dayu cuek tanpa sedikitpun menoleh pada Randu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalu Candrama [Pemenang Wattys Award 2020] [TAMAT]
Horror**Pemenang Wattys Award 2020** Alung, Dayu, dan Randu adalah tiga sekawan yang berniat pergi ke China. Namun, tiba-tiba mereka harus mengubah rencana perjalanan mereka ke kampung halaman Alung di dusun pedalaman Jawa Tengah. Mereka memutuskan berja...