7. Pertaruhan Hidup Mati

3.2K 342 7
                                    

"Oke, begini rencananya?" kata Alung berbalik menghadap kedua temannya. "Dayu jalan duluan, terus Randu, abis itu baru aku sama cewek ini."

"Kamu yakin, Lung?" tanya Randu, "Tadi siang aku makan kebanyakan takutnya nggak kuat lagi."

"Tenang, ini tambang kok. Cukup kuat. Jadi kalau kalian sudah sampai ujung. Keluarin tali, ikat ujungnya di pohon, terus lempar ke aku. Oke?" jelas Alung.

Dayu hanya mengangguk. Sementara pikirannya menghimpun kekuatan untuk menyeberangi jembatan.

"Randu siap ya," kata Dayu tanpa menoleh. Randu mengangguk mantap berdiri di belakang Dayu.

Dayu melangkahkan kakinya perlahan-lahan. Memijak, mencoba ketahanan kayu yang menahan bobotnya, sementara satu kakinya masih menjejak di tanah basah. Langkah kedua, Dayu perlahan berani memijak kedua kakinya pada kayu, memegang erat-erat tali tambang di salah satu sisi tubuh dengan kedua tangannya.

Perlahan tapi pasti, Dayu menapaki kayu berikutnya. Jembatan bergayut ke kiri dan ke kanan saat Dayu mulai melangkah ke kayu berikutnya. Tapi pikirannya fokus dan pegangannya kuat, jadi kecuali ada angin ribut, Dayu yakin akan tiba di seberang dengan selamat.

Langkah berikutnya, seolah terbiasa, seakan tahu kemana jembatan akan bergoyang, keseimbangan tubuhnya sudah menjadi satu, sehingga langkah berikutnya bukanlah masalah. Hingga akhirnya, dengan helaan napas panjang, Dayu tiba di seberang.

"Dayu, talinya!" teriak Alung dari seberang.

Dayu mengikatkan tali pada batang pohon yang terkuat dan melemparkan ujungnya pada Randu. Randu mengikatkannya di pinggang dan bersiap melewati jembatan.

Berat tubuhnya 85 kg ditambah dua ransel seberat 20 kg. Hitung-hitungan ini membuatnya sedikit ragu, ia menoleh pada Alung, yang memberinya anggukan semangat.

Kamu pasti bisa, Randu!

Langkah awalnya memiliki kemiripan dengan Dayu, tetapi Randu memilih memegang tali di kedua sisi tubuhnya. Sementara ransel di gendongnya di sisi depan dan belakang tubuhnya.

Pelan-pelan... satu-satu... pijakan kayu itu dihinggapinya. Berhenti sesaat, untuk kembali menyeimbangkan jembatan yang sedikit bergoyang tiap kali ia berpindah pijak.

Tiba di tengah, angin gunung bercampur angin hutan atau angin apalah namanya, menerjang. Kekuatannya membuat jembatan bergoyang seperti pendulum liar, mengeluarkan decit mengerikan. Randu bertahan di tempatnya sedikit membungkuk, memejamkan matanya erat-erat, kuku-kukunya memutih karena dingin yang menggigit dan giginya gemeletuk. Jantungnya berdegup kencang.

Jangan mati... jangan mati...

Sementara kedua temannya, meneriakkan apapun itu yang tak bisa ia dengar, karena gemuruh arus sungai, dan gemerisik ranting-ranting pohon yang bergoyang menabrakkan diri satu sama lainnya.

Kemudian angin mereda.

Randu memberanikan diri membuka mata, dilihatnya tatapan panik Dayu dari seberang. Randu belum pernah mimpi melihat Dayu khawatir begitu rupa padanya. Satu hal yang tak pernah diketahui Dayu, bahwa sedari dulu ia selalu menaruh hati padanya. Bodo amatlah.

"Ayo! Randu, sedikit lagi!" teriak Dayu dari seberang. Dirinya seperti dipecut oleh cambuk tak kelihatan, melangkah dengan pasti dan cepat seakan angin ribut kedua akan menghem-paskannya kali berikutnya.

Setelah mengalami kejadian yang menegangkan, Randu tiba dengan selamat di seberang. Sesampainya diseberang ia terengah tak keruan, udara memang dingin tapi entah mengapa ia merasakan bulir keringat meluncur di dadanya.

Dalu Candrama [Pemenang Wattys Award 2020] [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang