"Wuaaah... gila pemandangannya bagus banget," kata Dayu dengan mata berbinar-binar, menatap hamparan sawah yang berbentuk terasering di bawahnya. Mereka berada di puncak bukit—yang jalan masuknya adalah sebuah jalan setapak kecil menuju puncak.
"Eh, ayo dong foto," kata Dayu lagi mengajak kedua temannya. Mereka menanggapi dengan pura-pura semangat—meskipun keduanya jelas-jelas bukan banci foto! Mereka berfoto di segala kesempatan: di puncak perbukitan foto, menuruni bukit foto, menaiki bukit foto, setiap ada kesempatan maka Dayu akan menarik paksa lengan kedua temannya, kemudian ceklak-ceklik.
Setelah lelah berjalan dan berfoto di berbagai spot, mereka berhenti untuk makan siang di tengah gubuk di pematang sawah. Mereka membuka kotak perbekalan mereka, Dayu membagikan tiga bungkus daun berisi nasi dan lauk pauk. Mereka pun mulai menyantap makan siang mereka dengan lahap.
"Abis ini kita mau kemana, Lung?" tanya Randu sambil menggigit perkedelnya.
Alung berhenti sejenak, berpikir, kemudian menjawab, "Kita akan terus ke Barat, katanya di barat ada sungai namanya sungai Karanganyar".
"Kamu tahu tempatnya?" tanya Dayu.
"Belum. Tapi aku pernah dengar kalau di bagian barat desa Nini ada sungai."
Setelah kenyang, mereka kembali melanjutkan perjalanan.
Perjalanan semakin jauh, rasanya mereka sudah berjalan berkilo-kilo jauhnya. Mereka menandai tempat setiap satu kilo. Semakin lama, pemandangan di kanan-kiri mereka tampak semakin jarang rumah.
Tibalah mereka di sebuah jalan berkerikil, dengan pepohonan jati di kanan-kirinya dan hamparan sawah sejauh mata memandang. Jalanan di depan mereka tampak sepi dan gelap karena rimbunnya pepohonan dan area di depan tampaknya memasuki area hutan. Mereka menghentikan perjalanan tampak ragu mau meneruskan.
"Kok, aku merinding ya tiba-tiba," kata Dayu, sebuah kata-kata yang menurut Alung aneh diucapkan oleh seorang Dayu yang biasanya pemberani, nyaris nekat malah.
Randu menelan ludah.
"Jadi bagaimana, apa kita terus?" tanya Alung, heran akan keberaniannya sendiri. Sementara kedua temannya mengkeret melihat jalan gelap di depannya. Ini baru pukul dua siang, tetapi jalanan di depannya gelap sekali, seolah mereka memasuki dunia lain.
Alung menoleh menatap kedua temannya.
"Gimana?" tanyanya ulang.
"Oke deh. Lanjut. Toh, sungainya nggak jauh kan, Lung?" kata Dayu memberanikan diri, tetapi Alung tahu ada nada getar di suaranya.
"Ayo deh," kata Randu ikut menimpali, setuju dengan Dayu.
Maka mereka melanjutkan perjalanan.
Memasuki jalanan gelap, mereka sudah merasakan perubahan atmosfer di sekitar mereka. Disini udaranya lebih dingin dan cahaya matahari hanya masuk sedikit sekali di antara celah-celah pepohonan yang rindang. Semakin jauh mereka masuk ke dalam, jalanan semakin menyempit dan semakin jelek. Kini, jalan yang mereka tempuh bukan lagi kerikil melainkan tanah lembab.
"Udah save point?" tanya Alung kepada Dayu.
Mereka berhenti sejenak untuk menandai lokasi mereka.
Alung menengok ke belakang, dilihatnya tempat jalan masuk hanya sebentuk cahaya titik sekarang.
"Apa masih jauh, Lung?" tanya Randu kele-lahan, ketika mereka melanjutkan perjalanan.
Mereka sudah kelelahan, tapi tiba-tiba Alung mendengar sesuatu. Seperti gemuruh.
"Ssstt... kalian dengar itu?" tanya Alung sembari menajamkan telinganya.
"Apa?" tanya Dayu, ikut berhenti dan mulai mencoba mendengar.
"Seperti gemuruh air," kata Alung.
"Iya, Lung. Itu air," kata Randu bersemangat.
"Horee... sebentar lagi sampai," sambung Randu lagi.
"Ayo teman-teman di depan sudah ada sungai," ucap Alung menyemangati kedua temannya.
Mereka pun berjalan dengan semangat. Tak lama setelah berjalan, Randu melihat sesuatu di depannya.
"Tunggu, apa itu di depan?" tanya Randu menunjuk suatu titik di depan menyerupai entah itu benda mati atau hidup.
"Itu orang! Ayo!" kata Alung. Mereka berlari menghampirinya.
Ya benar, di depan mereka kini tergeletak seorang gadis berpakaian kebaya bunga-bunga dengan bawahan kain motif jarik yang dililit sepanjang lutut, rambutnya panjang dan berantakan. Wajahnya pucat, bibirnya membiru, seluruh tubuhnya basah entah oleh apa.
Dayu berjongkok di dekatnya dan mulai memangku kepalanya. Mengguncang-guncangnya sembari berkata,
"Mbak... mbak... bangun mbak..."
Tidak ada jawaban.
"Lebih baik kita kembali sekarang, siapa tau nanti warga bisa membantu," kata Alung. Ketika Alung hendak memanggulnya ke punggung, tiba-tiba gadis itu bangun dan menarik pakaiannya. Alung, Dayu, dan Randu pun kaget.
"Mbak, siapa namanya?" tanya Dayu lembut. Si gadis itu tetap tidak menjawab melainkan hanya menatap mereka bertiga. Membuat ngeri ketiganya.
"Kalau begitu, biar kami antar mbak ke puskesmas desa ya?" bujuk Dayu.
Si gadis masih tetap tidak menjawab, melainkan menarik kerah jaket Alung dan menunjuk jalan di depannya. Tetapi Alung mengabaikannya dan mencoba menaikkannya ke punggung. Tetapi si gadis berkeras, mencengkram kerah jaket Alung lebih keras dan terus memberi isyarat untuk membawanya jalan terus ke depan.
"Pulang," katanya lirih
Alung menyerah.
"Baiklah, kami antar kau pulang. Tolong tunjukkan jalannya," kata Alung.
Alung menggendongnya di punggung, sementara ranselnya dibawa oleh Randu, mereka pun melanjutkan perjalanan.
Semakin jauh ke dalam hutan, jalan setapak semakin menghilang—pertanda semakin jarang manusia yang pernah sampai sini.
Tibalah mereka di ujung jalan setapak, di depan mereka yang ada hanyalah pepohonan gelap. Alung bertanya, "Kita kemana?"
Si gadis mengangkat telunjuknya lurus ke depan. Jalanan didepan mereka yang terbentang hanyalah deretan pepohonan tinggi menjulang yang tumbuh berdesakan. Aura aneh merasuki mereka bertiga. Lebih karena tanggung jawablah mereka rela menerobos hutan, pikir Alung.
Sudah sore, mereka sudah berjalan jauh, tetapi suara gemuruh air semakin kencang. Alung yakin tujuan mereka semakin dekat. Sebenarnya Alung sudah setengah mati menggendongnya, tetapi menyimpan rapat keluhannya.
Di depan tampak sebuah cahaya di sela-sela batang pohon, yang menandakan bahwa di depan adalah areal terbuka. Ketiganya berpandangan dan menarik napas lega.
"Ayo!" ujar Dayu memberi semangat kepada teman-temannya.
Benar saja, mereka sudah tiba di areal yang terbuka, dan itu adalah tebing. Tebing itu setinggi kurang lebih dua puluh meter, dan dibawahnya mengalir sungai yang ganas arusnya.
Si gadis, tampaknya sudah sadar dia berada dimana, dan mengangkat telunjuknya sambil berkata,"Lewati jembatan..."
Mereka bertiga mulai kesal. Gadis ini seenaknya saja memerintah-merintah orang asing yang berniat menyelamatkannya. Tapi janji adalah janji, buat Alung itu sesuatu yang pantang dilanggar oleh seorang lelaki.
Melihat rintangan yang harus mereka lewati di depan. Mereka bertiga kembali berpandangan. Perasaan mereka sama ada semacam campuran ragu-ragu dan takut dan aura aneh itu terus menjalari mereka sedari tadi.
Jembatan yang terbentang di depan mereka terlihat amat sangat ringkih. Berupa jembatan gantung dengan tali tambang yang sudah bocel-bocel di kanan-kirinya sementara papan-papan kayunya banyak yang berlubang dan ada yang sudah terlepas sebagian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalu Candrama [Pemenang Wattys Award 2020] [TAMAT]
Horror**Pemenang Wattys Award 2020** Alung, Dayu, dan Randu adalah tiga sekawan yang berniat pergi ke China. Namun, tiba-tiba mereka harus mengubah rencana perjalanan mereka ke kampung halaman Alung di dusun pedalaman Jawa Tengah. Mereka memutuskan berja...