9. Weni

2.6K 336 3
                                    

Seorang wanita berjalan cepat, tangan keriputnya mengangkat dasternya yang kepanjangan dan berkibar, sandal jepitnya berketeplak-keteplok menyelingi malam yang sunyi. Para tetangga sebagian sudah terlelap, pintu-pintu sudah tertutup, tetapi ada juga yang masih terbuka, terdengar suara siaran talkshow komedi sampai ke jalan desa. Tapi urusan dalam rumah tetangganya, bukanlah prioritas di kepalanya saat ini.

Hatinya kebat-kebit, ia teringat reputasi desa tetangga lima puluh tahun lalu. Saat dirinya masih remaja belia. Kerusuhan malam itu masih tersimpan di benaknya, kepulan asap dan cahaya jingga yang menjilat-jilat di tengah hutan. Orang-orang berlarian keluar rumah, hanya bisa memandang dari jauh, termasuk dirinya.

Semoga saja mereka tak menemukannya! batinnya.

***

Pak Kades usianya sudah nyaris tujuh puluh lima tahun. Meski usianya sudah senja tapi ketajaman berpikirnya masih seprima pria muda. Meski tinggal di desa dan bertani, tapi tak satupun warga akan pernah sekalipun melihatnya berjalan letoy atau sempoyongan. Langkahnya selalu tegap, raut mukanya ramah tapi berubah serius ketika menangani pengaduan warga.

Malam sudah menunjukkan pukul delapan malam, waktu bagi orang desa biasanya sudah tertidur. Tapi malam ini lain, ia merasakan suatu kegundahan. Bukan karena singkongnya yang gagal panen atau istrinya yang lagi-lagi mengomel karena ia lupa menaruh cangkulnya diluar. Bukan. Kegelisahan juga keanehan. Perasaan unik yang pernah dirasakannya ketika beberapa saat sebelum terjadi kebakaran di desa seberang. Sesuatu yang mengusik.

Pak Kades, memutuskan bangkit dari kasur-nya. Menyeduh kopi. Duduk anteng di dipan kursi panjang di ruang tengahnya. Menyulut rokok. Tapi tak memikirkan apa-apa. Ia hanya menatap asap yang membumbung keluar dari mulutnya. Malam ini ia mau begadang sajalah, toh masa panen sudah selesai, ia tak perlu ke ladang besok. Sebentar lagi, ia akan menyadari bahwa perasaannya malam ini sangat beralasan.

Tok...tok...tok... sebuah ketukan terdengar di pintu rumah Pak Kades. Ketukan kedua kembali terdengar, padahal belum semenit yang lalu diketuk.

Pak Kades beranjak dari bangkunya tergesa-gesa menuju pintu.

"Yaa...ya...sabar," katanya. Pintu dibuka.

Wajah yang sudah lama dikenalnya itu berdiri di pintu rumahnya. Ia sedikit kaget, namun dengan cepat menguasai diri. Dia tahu wanita itu takkan berkunjung kerumahnya kalau tidak benar-benar gawat sekali.

Usianya terpaut lumayan jauh dengannya sedikit lebih muda. Ia dulu mengenalnya dengan baik. Tapi itu dulu. Ia mengingatkan dirinya sekali lagi kepada siapa ia berhadapan dan sebagai siapa ia berdiri: Kepala Desa dan warga.

Ia mempersilakan dengan sopan wanita itu untuk masuk kerumahnya. Ia tak peduli kalau istrinya akan membentak ketika bangun nanti saat ia memberitahu wanita itu datang.

"Teh? Kopi?" tanyanya sopan.

"Tak perlu, saya hanya sebentar. Pak Kades," jawabnya tanpa basa-basi. Bagus, langsung ke pokok masalah. Ini memperjelas status di antara mereka saat ini.

"Cucuku hilang. Tolong temukan." Kalimat ini kurang informatif. Tapi seperti kebiasaan warga yang mengadu: katakan masalah dan minta bantuan. Ringkas tapi hanya memberi efek kejutan.

"Baiklah. Jelaskan pelan-pelan..." katanya tenang. Wanita itu belum habis engahnya karena berlari dari joglo ke rumahnya yang berjarak lima ratus meter. Jadi ia membiarkannya mengatur napasnya dahulu.

"Kau tahu desa terlarang?" tanyanya cepat.

"Ya," jawabnya singkat.

"Aku lupa menasihati cucuku! Agar tidak pergi menyeberangi sungai. Mereka berjanji pulang sebelum maghrib dan sampai sekarang belum pulang!" katanya dengan pandangan luar biasa cemas.

"Tenanglah! Lokasinya berkilo-kilo dari sini dan harus melewati hutan. Mereka takkan mungkin sampai kesana!"

"Kau tahu bagaimana anak muda!" Itulah masalahnya 'anak muda'. Selalu ingin tahu. Terlalu malah. Sampai tak sadar mengundang bahaya, padahal sudah di wanti-wanti orangtua.

"Baiklah, kita tunggu sampai besok,"

"BESOK?!!" jeritnya. Ia berdiri,

"Ssttt... ini sudah malam 'Weni'" Tanpa sadar ia memanggilnya dengan nama kecilnya. Wanita tua itu melotot. Ia berkata sambil tangannya mempersilakannya duduk kembali tetapi wanita itu menolak.

"Cucuku bisa jadi sudah mati! Temukan malam ini, Pringo!" pintanya walaupun lebih terdengar seperti perintah.

Lalu ia merendahkan suaranya tatapannya mengarah tepat pada lelaki di depannya. "Satu hal yang perlu kau tahu. Malam ini aku mencium bau melati. Itu bau-'nya'. Kau tahu siapa yang kumaksud. Pasti 'dia' yang membawanya. Aku yakin."

Pria tua itu mengerutkan keningnya yang sudah memiliki banyak lipatan. Dia tahu siapa yang dimaksud dengan 'dia'. Si kembang desa yang dikutuk. Dan kalau memang benar itu dia maka ia harus benar-benar bertindak.

"Baiklah. Aku akan mengumpulkan pemuda desa untuk mencari mereka. Kamu pulang saja," katanya. Namun, wanita tua didepannya menggeleng.

Ia bergerak dari tempat duduknya, mengambil peci dan keluar bersama Weni, bersiap mengetuki setiap rumah dan meminta bantuan.

Dalu Candrama [Pemenang Wattys Award 2020] [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang