8. Mengingat Alung

3.1K 328 2
                                    

Sekarang sudah maghrib, meski langit tak sehitam arang tetapi hutan di depannya nyaris bagai lubang hitam.

"Sekarang kita gimana?" tanya Randu menyeka matanya.

"Kita akan berjalan menembus hutan. Siapa tahu ada desa. Kita bisa minta bantuan mereka."

"Oke", katanya sambil bangkit berdiri, "Bisa kita save point dulu?"

Dayu terdiam.

"Ada apa?"

"Sori..." katanya sambil menundukkan wajah,"GPS-nya jatuh...." Rasa bersalah memenuhi Dayu. "Mungkin saat Alung terjatuh tadi. Maaf..."

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Keadaan akan semakin buruk kalau saling menyalahkan. Randu hanya menghela napas.

"Apa kau bawa kompas?" tanyanya dengan penuh harap.

Dayu menggeleng.

"Baiklah. Ayo kita jalan," katanya pasrah.

Mereka menyalakan senter dan mulai berjalan menembus hutan. Entah apa yang akan menanti mereka di depan sana. Terus...terus... mereka tak tahu arah, mereka hanya berjalan mengikuti naluri mereka, semakin dalam masuk ke hutan. Tanpa mereka sadari beberapa pasang mata mengikuti mereka dari balik pohon dan semak-semak yang gelap.

"Kita udah berjalan jauh, Yu..., aku nggak tahu ujungnya dimana? Tapi rasanya sejak tadi kita hanya berputar-putar." Randu yang sudah kecapaian berhenti jalan dan memegangi lututnya yang sudah pegal dan ia lapar.

Dayu sebenarnya juga sudah memikirkan ini dari tadi. Baginya hutan ini seperti labirin raksasa, mereka tidak tahu apakah mereka maju terus atau justru kembali ke posisi awal. Dan benar saja, Dayu mendengar gemuruh air yang dikenalnya tak jauh dari posisi mereka berdiri sekarang. Ada yang aneh dengan hutan ini, suatu aura telah menyesatkan indera mereka.

"Maaf Yu, aku sudah lelah. Aku tak kuat berjalan lagi. Lebih baik kita buka tenda saja." Membuka tenda di tengah hutan malam-malam sebenarnya bukan ide bagus, karena sulit mencari areal yang cukup luas untuk mendirikan tenda. Tapi apa boleh buat, Dayu juga sudah lelah. Lagipula, arah lebih mudah dilihat saat pagi, meskipun cahaya matahari sulit menembus hutan lebat, tetapi, arah matahari bisa diketahui melalui bagian pohon yang terkena sinar biasanya takkan banyak lumutnya.

"Baiklah," katanya.

Mereka mengeluarkan peralatan tenda mereka dari ransel Randu dan mulai bekerja menaruh pasak-pasak.

"Oke siap," katanya sambil memandang hasil kerja mereka. Tidak buruk untuk ukuran didirikan pada malam hari dan di tengah hutan. Tenda mereka cukup oke, meskipun agak doyong. "Kamu lapar?" tanya Dayu pada Randu.

"Ya..." jawabnya agak tak enak, karena takut merepotkan Dayu. Suasana di antara mereka jadi agak sedikit canggung setelah Alung... Ya begitulah. Randu masih tak berani memandang mata Dayu, karena ia tahu Dayu masih merasa sedih, dan pasti semakin tak enak kalau dia sampai tahu yang dirasakannya. Randu tahu, Dayu lebih suka menyimpan perasaannya sendiri.

Sebelum Randu bergabung dengan trio ini, Alung dan Dayu merupakan teman dekat sejak SMA, beberapa teman satu SMA mereka banyak yang mengira mereka pacaran. Dulu ia tak banyak teman, awal masuk kuliah ia hanya menjalani rutinitas membosankan, pengalih perhatiannya adalah menulis blog. Ia menulis blog mengenai tempat-tempat eksotis di dunia dan menulis review makanannya. Ada satu akun yang sering yang mengomentarinya dan dia tak pernah tahu siapa. Kejadiannya kebetulan. Saat itu ia sedang menulis blog di kantin, ada seseorang yang menepuknya dari belakang.

"Waah... ternyata kamu ya penulis blog Sukamakan? Nggak nyangka loh," sapa cowok kurus jangkung dengan mata belo dan kulit sawo matang. Randu yang disapa seseorang secara random hanya melongo.

Dalu Candrama [Pemenang Wattys Award 2020] [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang