1

617 54 0
                                    

"Ra, gimana?"

Gue mendongakkan kepala gue dan melihat Mark tengah memandangi gue dengan wajah khawatir.

"Gak tau, Mark. Gue stress rasanya pengen ngulang matkul aja semester depan," jawab gue sambil mengacak rambut gue dengan kasar.

Deadline tugas besar salah satu matkul yang tinggal sehari lagi membuat gue jengah. Gue merasa gue udah semaksimal mungkin ngerjain tugasnya. Bahkan gue rela tiap hari bolak balik apartement Mark dan stay disana selama sebulan ini sampai tengah malem biar Mark bisa bantuin gue. Tapi rupanya gue nggak bisa nyelesain tepat waktu.

"Temen lo yang lain gimana? Jangan gitu. Masih ada satu hari lagi. Gue bantu deh, ya?" Tawar Mark.

Gue menelungkupkan wajah gue ke dalam lipatan lengan, kemudian mengerang kesal. "Nggak tau, Mark. Gue capek banget."

"Yaudah, yaudah," Mark mengelus kepala gue pelan. "Lo udah makan? Makan dulu, yuk. Abis ini kelas lo kosong kan? Abis kita makan, kita ke apartement gue. Kita kerjain tugas bareng, ya?"

Mata gue memanas. Gue sejujurnya pusing banget karena seminggu ini tidur nggak teratur karena tugas besar ini. Belum lagi gue harus membagi waktu gue untuk belajar karena beberapa matkul yang gue ambil sudah mulai mengadakan ujian akhir semester lebih awal dari jadwal seharusnya.

"Heh, kok lo nangis?!"

Mark memandang wajah gue panik saat gue mengangkat kepala gue dengan cucuran air mata mengalir dengan deras. Mark menyentuh wajah gue, kemudian matanya membelalak.

"Astaga, panas banget badan lo, Ra. Ayo balik. Gue pesen makan aja nanti di rumah."

Gue memandangi Mark yang sibuk membereskan barang barang gue di atas meja, kemudian ia merangkul gue dan kita berdua berjalan menuju parkiran dan Mark segera melajukan mobilnya menuju rumah.

🌱

Gue membuka mata gue dan menyadari gue tertidur di kamar Mark. Yang punya kamar nggak tau lagi dimana. Tadi, sesampainya gue di apartement Mark, dia langsung kelabakan mesen makanan. Gue yang masih nangis karena kepala gue sakit bukan main duduk di sofa ruang tengah. Mark memijat dahi gue dengan pelan, berusaha meredakan rasa sakit yang ada. Setelah makanan datang, ia memaksa gue untuk makan padahal lidah gue lagi pahit sepahit pahitnya. Namun dia tetap memaksakan gue untuk makan. Lima suapan, akhirnya gue menyerah. Mark langsung memberikan gue obat demam yang membuat gue seketika mengantuk. Mungkin setelah itu gue ketiduran.

Mark pasti capek banget karena ngurusin gue seharian ini.

Gue berjalan keluar kamar dan melihat Mark tengah sibuk dengan laptop gue. Ia yang mendengar suara pintu dibuka mengangkat kepalanya, kemudian ia menghampiri gue yang masih berdiri di depan pintu.

"Gimana?" Mark menempelkan telapak tangannya di dahi gue. "Masih pusing?"

"Nggak. Gue udah mendingan, kok," jawab gue pelan. "Lo ngapain?" Tanya gue sambil memandang laptop di atas meja ruang tengah.

"Tugas lo. Gue udah dapet letak error hitungannya dimana. Sisanya tinggal lo sesuaikan aja sama rumus yang lama. Sama tinggal diubah dimensinya sesuai TOR punya lo. Nanti otomatis menyesuaikan," jelas Mark. "By the way, tadi Mas Yuta nelpon. Gue bilang nanti gue suruh lo telpon balik. Gih telpon dulu abang lo."

Gue mengangguk pelan sebelum gue berjalan menuju ruang tengah, mengambil ponsel gue di atas meja kemudian menekan kontak Mas Yuta sebelum menempelkan ponsel gue di telinga.

"Halo," Mas Yuta menjawab di nada tunggu kedua.

"Mas, tadi nelpon? Maaf. Gue baru bangun," jelas gue sambil mendudukkan diri di sofa. Mark datang dengan dua cangkir teh panas kemudian menyerahkan salah satunya ke arah gue yang gue balas dengan ucapan terima kasih tanpa suara.

[✔]Call You Bae | JENOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang