3

205 39 0
                                    

Kalau boleh kembali ke setahun yang lalu, ketika gue yang saat itu tengah kacau melajukan mobil gue dengan kencang menuju apartement Mark. Air mata gue masih mengucur deras dengan gue yang terus terusan sesenggukan.

Setelah gue memarkirkan mobil, gue langsung masuk ke dalam lift, mengabaikan tatapan orang orang yang sudah memandang gue heran. Menekan angka tujuh, gue menarik nafas, mencari oksigen sebanyak banyaknya saat lift membawa gue naik ke lantai yang gue tuju. Gue langsung keluar saat pintu lift terbuka. Tak sengaja menabrak seorang bapak bapak yang ingin masuk, gue nggak ada kepikiran buat minta maaf. Saat itu gue cuma mau ketemu Mark. Gue langsung mengetuk ngetuk pintu apartement Mark dengan brutal. Udah nggak perduli lagi tetangganya Mark mau marah kek mau ngomel.

"Apaan sih- loh Yura?"

Mark memandang gue terkejut saat melihat keadaan gue yang mungkin terlihat kacau. Dia segera menarik gue masuk dan mendudukkan gue yang memasang muka datar. Mata gue sakit banget karena udah kebanyakan nangis. Mark langsung duduk di samping gue, memposisikan badan gue agar berhadapan dengannya.

Lima menit gue duduk gue nggak ada ngomong sama sekali. Gue cuma mandangin lantai. Pikiran gue berlarian kemana mana. Sampai pada akhirnya Mark merasa udah cukup dia memberi waktu untuk gue bergulat dengan pikiran gue sendiri, ia memanggil nama gue pelan.

"Yura," panggil Mark lembut.

Seketika itu juga pertahanan gue runtuh. Gue nangis lagi. Sontak Mark langsung meluk gue, mengelus lengan gue berusaha memberikan ketenangan. Gue menangis semakin keras sambil meneriakkan satu nama yang udah bikin hati gue sedih di hari itu.

"Jaehyun," cuma nama itu yang gue teriakkan dengan lirih di sela tangisan gue.

Ada kali satu jam gue nangis. Setelah itu gue nggak sadar apa apa. Kata Mark, gue ketiduran setelah nangis. Bangun bangun gue udah ada di kamar Mark.

Gue keluar dan melihat Mark tengah duduk menonton televisi. Menyadari kehadiran gue, ia menoleh dan mengisyaratkan gue untuk menghampirinya.

"Udah bisa cerita ke gue?" Tanya Mark setelah gue duduk di depannya.

Gue mengangguk pelan, kemudian dia mendaratkan punggungnya di sandaran kursi, kemudian menarik badan gue agar lebih dekat dengannya. Dia memposisikan kepala gue dengan nyaman di bahunya, kemudian tangan gue melingkar mengelilingi pinggangnya. Posisi yang selalu membuat gue nyaman untuk menumpahkan segala isi hati gue kepada seorang Mark Lee.

Sore itu, gue bercerita tentang bagaimana gue dan Jaehyun harus mengakhiri hubungan kami yang sudah satu tahun berjalan karena dia yang tiba tiba dijodohkan dengan Chaeyeon oleh papa nya.

"Kamu terima terima aja dijodohin sama dia?"

"Aku nggak ada pilihan lain. Papa yang maksa aku harus nikah sama Chaeyeon. Aku udah minta tolong mama buat ngomong ke papa dan batalin semua ini tapi mama nggak berani bantah keputusan papa."

Gue menghela nafas. Mata gue yang saat itu udah panas bukan main. Tapi gue nggak boleh nangis di depan Jaehyun.

"Yaudah," gue mengangguk pelan. "Kamu maunya putus kan kalo gitu?"

"Yura, nggak gitu," Jaehyun menggeleng kuat. "Kamu tetep sama aku. Aku bakalan nikah sama Chaeyeon terus setelah setahun nikah aku bakal cerai sama dia biar aku bisa sama kamu."

"Jaehyun, nggak gitu caranya," gue menggenggam tangan besarnya, mengelus punggung tangannya lembut. "Kamu nggak bisa egois. Secara nggak langsung, kamu bisa menyakiti dua orang sekaligus."

Gue memandang matanya lekat. Frustrasi tergambar jelas dari matanya. Dia menarik tangannya, mengacak rambutnya kasar.

"Jaehyun," panggil gue pelan. "Aku, atau Chaeyeon?"

Salah nggak gue berharap kalo dia bisa menyebut nama gue dengan cepat tanpa harus terlihat bimbang? Harusnya dia bisa sebut nama gue langsung kan kalau dia sayang sama gue?

Tapi yang gue lihat saat itu ia nggak menyebut nama gue secara langsung. Bimbang terlihat jelas di wajahnya. Ia terlihat sedang dihajar pikirannya sendiri. Gue hanya tersenyum pahit, sebelum akhirnya gue mengangguk tanda gue mengerti.

"Nggak, aku nggak bakal menambah beban kamu lagi. Kamu harus jadi anak yang baik. Turutin maunya papa kamu, ya?"

Gue beranjak mendekat kearah Jaehyun, mengecup dahinya beberapa detik sebelum akhirnya menangkup wajah gembulnya dengan kedua tangan kecil gue.

"Yura, maafin aku," ucapnya pelan. Gue hanya mengangguk, kemudian gue beranjak meninggalkan dia, bersamaan dengan air mata gue yang perlahan jatuh mengiringi langkah gue menjauh dari sana.

🌱

Gue berakhir menginap di rumah Mark karena sahabat gue yang satu itu nggak membiarkan gue sendirian di rumah, karena saat itu Mas Yuta lagi di luar kota. Gue semalaman nggak bisa tidur, jadi gue membawa bantal dan selimut dari kamar Mark ke ruang tengah. Setelah menangis lagi saat sesi cerita bersama Mark tadi, dia menelpon mas Yuta, membiarkan gue menginap di rumahnya. Sementara dia sudah tidur duluan di kamar Jeno, gue masih terjaga padahal sudah jam dua belas malam. Dan gue ada kelas pagi besok harinya.

Gue dikejutkan suara pintu apartement Mark dibuka, menampilkan Jeno yang baru saja pulang dan memandang gue yang tergulung selimut di depan televisi dengan terkejut.

"Kak Yura?" Dia berjalan mendekat kearah gue, meletakkan ranselnya di lantai sebelum mendaratkan dirinya di samping gue. "Tumben nginep disini? Ada apa?"

"Disuruh nginep sama abang lo tuh," ucap gue kesal. "Padahal nggak apa apa kalo gue sendirian dirumah. Udah biasa juga."

Jeno memandang wajah gue lekat lekat. "Kakak habis nangis?"

Gue memandang Jeno cepat, kemudian gue tertawa canggung. Bisa di ceng cengin gue sama bocah kalo ketauan nangis gara gara abis putus.

"Hah? Kelihatan banget, ya? Haha," gue tertawa canggung.

"Kak," Jeno memposisikan badannya menghadap gue, menatap gue tajam. "Kakak kenapa?"

"Gue putus, Jen," jawab gue pelan. Tapi kemudian gue tertawa. "Belum jodohnya gue sama Jaehyun."

Mata gue kembali memanas ketika gue menyebut nama itu lagi. Sial, udah berapa kali gue nangis hari ini?

Jeno yang melihat air mata gue langsung memeluk gue, menepuk punggung gue pelan.

"Kak jangan nangis," ucap Jeno pelan.

Gue mengangguk. Menarik nafas dalam dalam biar gue nggak meneteskan air mata lagi. Udah cukup. Gue juga udah sesek nafas gara gara kebanyakan nangis.

Gue nggak meminta Tuhan buat memaksakan Jaehyun harus jadi jodoh gue. Nggak. Cuma gue masih belum ikhlas kalo Jaehyun harus dijauhkan dari gue secepat ini. Gue sayang sama Jaehyun. Tapi gue nggak bisa berbuat apa apa kalo Jaehyun nya sendiri nggak bisa mempertahankan gue.

Dan gue bisa mengerti. Jaehyun ada di sebuah keadaan yang membuatnya serba salah sekalipun ia memilih salah satunya. Dan gue adalah pihak yang memang seharusnya mengalah. Gue nggak bisa egois membiarkan Jaehyun harus terjebak diantara kedua pilihan menjebak itu.

Karena kata orang mencintai tak harus memiliki, mungkin ini adalah cara gue yang paling tepat buat mencintai Jaehyun.

***

Hehehe mau rajin rajin update ah mumpung lowong😝


[✔]Call You Bae | JENOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang