(+) Sarrah

116 22 4
                                    

T w i n s

-

Aca menatap ponselnya lurus, ia harus datang dengan tepat waktu.

Langkah demi langkah sudah Aca jalani, dan sampailah dimana tempat yang menurut orang-orang di sekolahnya ialah tempat terseram. Tapi, tidak bagi gadis yang satu ini.

Ia meneliti setiap sudut gedung tua sekolahnya, bermaksud berjaga jaga jika dia merencanakan hal lain. Dan kemudian pintu reot berbunyi krit itu tertutup, dengan amat sangat tidak santainya.

Bersamaan dengan sesosok gadis berpakaian ketat berdiri menjulang sambil bersindekap dada.

"Berani juga lo ?" Ucap gadis itu, sedikit dengan nada meremehkan. Namun tidak sampai membuat Aca bergeming dari posisinya.

Si pakaian ketat berdecak, lalu kemudian berjalan ke tempat Aca berdiri. Ia menatap Aca nyalang, tak lupa juga salah satu tangannya sudah bertengger menjepit kedua pipi manis Aca.

Aca ? Berdiam saja sudah cukup.

"Entah kenapa, setiap gue liat muka lo, selalu bayang-bayang piso yang dateng di pikiran gue." Sarrah mengencangkan jepitan, lalu kemudian meneliti setiap inci bagian wajah dari Aca, "Apa itu pertanda lo harus cepet-cepet gue musnahin?"

"Cuman mimpi, Sarah." Sarah, iya gadis itu Sarah.

Sarah menatap Aca dengan sejuta amarah yang sudah ingin meledak, lalu kemudian melepaskan jepitannya dengan kasar. Membuat tubuh Aca sedikit terhuyun ke belakang.

Aca hanya meringis, dan kembali memasang wajah dinginnya seperti semula.

"Penyakitan." Sarah memandang sekitar, lalu kemudian tersenyum sinis.

"LO HARUSNYA MATI AJA DARI DULU, SIALAN!"

Tak!

"Kebalik, bego."

_

Dengan sangat telaten, Aksa mengobati memar yang bersarang di pipi sang Adik.

Jika terlambat, mungkin Aca akan mendapat yang lebih dari ini. Dan berakhir dengan sakit di area yang sama dirasakan oleh Aksa.

"Lo nggak diapa-apain lagi kan ?" Tanya Aksa, dan hanya sebuah gelengan yang didapatinya dari sang Adik.

Selesai, Aksa kembali membereskan obat-obatan itu ke tempatnya semula. Aca hanya menatap lurus dirinya tanpa ekspresi, berusaha menelisik bagian mana yang mirip dengannya.

Tidak ada, membuat asumsi itu kembali menghampiri dirinya.

"Kenapa?"

"Tadi lo mukulnya terlalu keras."

Aksa tersenyum, kemudian mengelus kepala mungil Aca.

"Terlalu keras ya?"

Aca mengangguk.

"Ya bodo amat."

_

Tubuhnya menggeliat, berusaha bangun untuk melihat keadaan sekitar. Kepalanya sungguh pening, ditambah dengan bau semerbak yang seakan menusuk tulang hidungnya.

"Sialan, bau apaan nih." Desisnya, kemudian bangkit dari tempat berbau busuk itu. Melihat sekitar, membuat kedua bola matanya membola seketika.

"Brengsek, kurang ajar banget lo penyakitan." Merogoh kantong kurang bahan itu, kemudian mendial nomer seseorang di ponselnya.

"Jemput gue sekarang. Bank sampah belakang sekolah."

(+)

Is he, My Twin Brother? {Revisi}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang