(+) Adun - Amina

138 23 4
                                    

T w i n s

-

"Aksa."

"Hm?"

"Kalau gue mati, lo bakal mati juga nggak?"

"UHUK!"

Aksa menepuk - nepuk dadanya, berusaha untuk menyudahi acara tersedaknya itu tadi. Ia sedang minum, mendengar kata yang dikeluarkan Aca, jadilah ia seperti sekarang ini, tersedak. Dan Aca hanya menatap lelaki itu polos, menunggu jawaban dari pertanyaannya barusan. Tanpa ingin membantu sedikitpun.

"Kenapa?"

"Keselek lah, bego!"

"Ohh . . ."

Aca kembali terdiam, menunggu Aksa untuk menyelesaikan urusannya dahulu, setelah itu baru bertanya lagi.

Aca terlihat sangat polos untuk sekarang, dengan binar yang matanya keluarkan untuk menatap Aksa, si lelaki kembarannya. Aksa pun berbalik menatapnya dalam.

Mereka saling tatap, sebelum momen itu dirusak oleh kuman yang bergerumut di hidung keduanya.

"Hachu!" Dan ya, bersin pun harus bersama - sama.

"Duh, hidung gue gatel."

"Sama."

Aksa menatap sang adik kemudian, agak sedikit berbeda sifatnya. Apakah Aca kerasukan jin rumah sakit?

"Kenapa lo tiba - tiba nanya begitu?" Ujarnya kembali bertanya, Aca hanya memutar bola mata jengah.

"Gue cuman nanya, bang." Oh, sepertinya benar - benar kerasukan.

"HAH?! APA LO KATA?!"

"Apaan sih, lebay."

Aksa mencengkeram kedua bahu milik Aca keras, dan membuat kedua belah bibir itu mengeluarkan ringisannya dari sana.

"Sakit, bang."

"Keluar nggak lo?!"

Aca mengernyitkan dahi heran, "Apanya bang?" menatap Aksa dengan raut kebingungan, "Ya lo anjir! Jin dari mana lo?!"

Aksa mulai menggila, Aca hanya mampu menghela napas berat melihat tingkah lakunya.

Dan sedetik kemudian pipi sebelah kanan Aksa memerah, menampakkan jejak bahwa ia telah terkena sebuah tamparan. Tamparan dari Aca, memangnya siapa lagi?

"Duh, sakit Aca."

"Lagian, abang ngeselin."

Aca cemberut, membuat lelaki itu bertambah bingung. Tidak biasanya gadis itu bersikap manis, oleh karena itu Aksa sedari tadi melebih - lebihkan reaksinya, a.k.a lebay.

"Aca, lo mau gue anter ke rumah sakit nggak?" Lanturnya lagi, "Hm? Ngapain?" Jawab sang adik yang sudah kelelahan, akan sikap kakak kembarnya itu.

"Iya, gue rasa lo masih belum sembuh. Ayo ke rumah sakit!"

"Haaaah. . . , Serba salah . . ."

_

Ia mendaratkan badannya di atas kasur polkadot itu, kemudian berguling kesana kemari dengan gusar.

Ia sedang merasakan sebuah perasaan yang aneh, bimbang, dan lain - lain di dalam tubuhnya.

Mengusap wajahnya kasar, kemudian menghembuskan napas berat, "Emang gue sedatar itu, ya?"

Aca kembali teringat, drama korea yang ia tonton kemarin bersama sahabatnya Fasha. Ceritanya tentang dua orang berstatus adik-kakak.

Perempuan dan laki-laki. Persis seperti dirinya dan Aksa. Cuman Agak berbeda sedikit, si kakak— anggap saja namanya Adun, ya, si Adun yang memiliki sikap seperti dirinya.

Cuek. Batu. Tukang marah. Suka main fisik. Garang. Dan masih banyak lagi. Pokoknya sifat Adun–Aca sebelas dua belas.

Berbeda lagi dengan si adik— Amina. Udah, anggap aja begitu, ya?

Okay, lanjut.

Di dalam peran, Amina memiliki sifat seperti Aksa.

Petakilan. Berisik. Gajelas. Tipe-tipe makhluk astral lah pokoknya, bercanda.

Amina selalu menganggu Adun, seperti Aksa menganggu Aca. Setiap hari Amina berusaha menggangu Adun, hanya demi mendapat perhatian yang selama ini tak pernah Adun berikan kepadanya.

Hingga suatu hari, Amina kecewa terhadap sang kakak, Adun. Karena tak kunjung peka akan siasat yang ia berikan kepadanya. Oh ya, Adun ini tipe cowok tidak pekaan. Di dalam dramanya.

Dan itu semua berakibat pada Adun yang sad ending. Karena Amina sudah kunjung lelah akan sifatnya yang terlalu kaku dan masa bodo. Berakhirlah Amina meninggalkan Adun seorang diri.

Yhaa, Adun sadboi.

Maka dari itulah, Aca menjadi kepikiran. Kalau nasibnya seperti Adun bagaimana? Kalau ia mendapat karma? Hidupnya berakhir sad ending? Terus readers kecewa? Sebatang kara? Dan bla-bla-bla. Aca menjadi pusing tujuh keliling memikirkan hal-hal yang ada di otak encernya itu.

Sampai-sampai membuat gadis itu khayang di atas kasur polkadotnya.

"Astaghfirullahall'azim.., ngapain lo anjir?!" Pekik lelaki jangkung itu, melihat aksi akrobat yang sedang adiknya lakukan. Aca sih bodo amat.

Pw gan.

Aksa mengelus dadanya, kemudian melangkah masuk dan menutup kembali pintu kamar Aca. Ia menghampiri sang adik, kemudian geleng-geleng kepala.

"Apa perlu ya gue panggil pak ustadz?" Gumam lelaki itu, yang sudah tentu tidak terdengar sampai telinga si empunya kamar, yang masih dalam posisi kayang.

Serba salah kan, Aca?

"Kenapa bang?" Bertanya kemudian.

"Ah ngga, itu. Fazha ada di bawah, ngga mau temuin?" Ujar Aksa memberi tahu akan tujuannya datang ke kamar Aca. Membuat Aca berdecak, berusaha mendudukkan dirinya di samping tubuh Aksa berada.

"Males."

"Kok lo gitu?"

"Dia aja males kan buat nemuin gue? Liat muka gue? Dia yang bilang sendiri kemarin, haha,"

"Keluar sana, jangan jadi sampah lo di sini, bang."

Aksa sadboi.

(+)

Adun - Amina?
Who?

Is he, My Twin Brother? {Revisi}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang