[ 🎭 ] Kesadaran.

129 16 1
                                    

T w i n s

-


Malam tadi, tubuh itu kembali mengeluarkan pesakitannya. Tak peduli waktu telah menunjuk ke angka berapa, Aksa berbondong - bondong membawa tubuh ringkih adik kembarnya menuju rumah sakit terdekat. Ayah juga Bundanya yang nun jauh di sana, tak sama sekali terpikirkan untuk ia beritahu akan keadaan genting tersebut.

Dan kini, pukul tujuh pagi lelaki itu sedang menyuapkan makanan rumah sakit pada bibir pucat adiknya; Aca. Beberapa kali ia menerima penolakan dan rengekan, namun ia bersikeras menyuapkan makanan tersebut.

Dan sepertinya, Aca sudah benar - benar mual sekarang.

"Sekali lagi." Ucap Aksa sembar menyodorkan sendok berisi bubur ke hadapan Aca, namun dengan cepat ditolak dengan gelengan keras. Oh ya, tak lupa juga dengan kedua tangannya yang digunakan untuk menutupi bibir.

"Udah bang, kenyang." Ujarnya menatap ke arah lain, membuat Aksa menghela napas pasrah. "Yaudah, sekarang minum air putihnya."

Aksa kembali menaruh mangkuk bubur di nakas samping ranjang rumah sakit. Setelahnya, gelas berisi air putih pun ia sodorkan ke hadapan Aca.

Aca mengambil cepat, kemudian menengguk sampai habis tak tersisa. "Ayah sama Bunda nggak lo kasih tau kan?" Tanya gadis pucat itu, setelah menyodorkan gelas kosongnya kembali kepada Aksa.

Aksa hanya membalas dengan gelengan, kemudian lelaki itu seperti bersiap untuk meninggalkan ruangan.

"Gue pulang dulu, ambil perlengkapan lo di rumah." Ujarnya, seolah mengerti akan tatapan yang diberikan Aca.

"Jangan lama."

"Iya, nanti Fasha ke sini." Mendengar nama sahabatnya disebut, Aca kemudian kepikiran sesuatu.

"Fazha kesini juga?" Tanyanya dengan sedikit nada tak suka, yang menimbulkan tawa dari si kakak kembar menggema. Tangan besar cowok itu pun dengan lembut melayang di atas kepala Aca, bermaksud untuk mengelusnya.

"Nggak, kenapa? Takut ketemu mantan?"

"Tai."

Aksa kembali tertawa, sedang sakit sekalipun, cewek itu tetap saja masih galak juga bersikap batu. Membuat Aksa kembali menahan gemas untuk tidak menjenggut rambutnya. Kalau ia benar - benar melakukannya, mungkin cowok itu bisa menjadi daging babi cincang sedari tadi.

"Yaudah, ati - ati di sini. Nggak lama kok."

"Iya, bawel."

Setelah mengecup kening Aca, Aksa pun akhirnya pergi meninggalkan ruangan dengan sedikit berlari. Tentu saja, setelah dihadiahi oleh bogeman lemah dari gadis itu.

Dan sekarang, ruangan kembali sepi. Aca kembali melamun, selang infus telah bertengger apik di tangan kanannya sejak semalam. Ia merutuki dirinya sendiri, karena memiliki tubuh yang sangat lemah. Sekali lagi gadis itu bertanya.

Haruskah ia selalu merepotkan Aksa? Dengan penyakit sialan yang telah lama ia derita. Bukannya ingin menyalahkan takdir, tetapi gadis itu sepertinya sudah terlalu lelah menghadapi semuanya. Sampai kapan, Tuhan mempercayakan dirinya pada Aksa?

Aca tak mau, hidupnya selalu bergantung pada lelaki itu. Jadi lebih baik, ia berharap Tuhan mengambilnya dengan segera.

Supaya ia tenang, kakak kembarnya pun ikut merasakan ketenangannya.

Hei, Aca. Tidak mengertikah kamu, jika lelaki itu sangat mencintai juga menyayangi adiknya? Adik kembarnya? Sebagian hidupnya? Entah bagaimana akhir hidup lelaki bernama Aksa itu, jika sesuatu yang ia cintai juga sayangi akan menghilang dari dunia ini.

Dan itu dirimu, Aca.

"Ngelamun aja lo, di sini ada gue kali." Gadis bertopi hitam itu menghampiri brankar tempat Aca melamun sedari tadi, lalu kemudian terduduk pada kursi yang tersedia. Tidak datang dengan tangan kosong, plastik berisi buah itupun ia taruh pada nakas di hadapannya. Lalu kemudian, menatap wajah pucat sang sahabat, dan menghela napas setelahnya.

"Aksa baru kabarin gue tadi. Babi banget kan? Untung gue udah cantik, wangi, plus bersinar. Nggak kayak lo yang pucet begitu, udah dikasih makan sama si babi belom lo?" Ucapnya panjang lebar, lalu kemudian melihat mangkuk berisi sedikit bubur sisaan Aca yang tergeletak manis. "Oh bisa jadi kakak yang bener juga ternyata tuh orang. Nih gue bawa buah, mau makan sekarang apa nanti? Gue beli mendadak lho, ya. Mana harganya mahal."

Aca hanya tertawa menanggapi ocehan sahabatnya, kemudian mengangguk tanda setuju akan tawaran dari Fasha.

Dengan telaten, gadis itupun mengupas kulit buah rambutan yang ia beli tadi di pasar. Karena malas untuk pergi ke supermarket, jadi Fasha memutuskan untuk masuk ke dalam pasar terdekat dengan rumah sakit, dan di sana hanya ada buah rambutan. Bahkan gadis itu bercerita, ia sampai bertengkar dengan si Abang penjual terlebih dahulu, karena harganya yang meroket.

"Beli rambutan?"

"Iya, gapapa kan ya? Yang penting buah."

Aca mengangguk - anggukan kepala, lalu kemudian mengambil buah rambutan dari sodoran tangan Fasha. "Kalo ada apa - apa, paling lo tersangkanya."

Fasha mengepalkan tangan di udara, membuat tawa lemas itu keluar dari kedua belah bibir pucat Aca.

"Udah nggak usah kupas lagi, mau muntah." Protesnya, membuat tangan Fasha melayang di udara, "Yaudah, buat si babi aja ntar kalo udah balik."

"Dia kembaran gue kalo lo lupa."

"Seriously? Udah nyadar lo?"

"Fasha udah ber-metaformosis jadi babi?"

Dan mereka berdua pun tertawa bersama. Aca masih dengan mengunyah buah, begitupun dengan Fasha. Katanya sayang, buah rambutan terlalu enak untuk ia abaikan.

"Ca, Fazha nunggu di depan. Dia takut buat masuk katanya."


*

Sebelum meninggalkan rumah sakit, Aksa sempat menghampiri ruangan dokter yang menangani Aca. Bermaksud untuk mengetahui bagaimana keadaan si adik kembar. Dan sekarang, ia sedang berhadapan dengan Dokter Fairuz. Dokter yang menemani Aca dari awal hingga sekarang.

"Jadi, keadaannya memang bisa dikatakan sudah tidak baik - baik saja. Penyakit itu telah memasuki stadium ketiga. Dan beruntung, tadi malam Aca dibawa ke rumah sakit dengan waktu yang tepat. Kalau tidak, ya.. sudah."

Aksa terdiam, kemudian mengangguk tanda mengerti akan ucapan dari Dokter Fairuz.

"Dok? Adik saya bisa sembuh kan?"

Muncullah pertanyaan yang membuat Dokter Fairuz menghentikan gerakan pada dokumen di hadapannya. Dan mengalihkan pandangan ke arah remaja itu lurus.

"Saya tidak bisa menjanjikan, tapi jika Tuhan berkehendak, saya akan berusaha membawa adikmu kembali sehat seperti semula,"

"Oh ya, sudah menghubungi orang tua?"

Aksa menggeleng. "Saya nggak diijinin dok, kabarin mereka." Jawabnya, membuat kening Dokter Fairuz mengkerut. "Memangnya kenapa? Ini sesuatu yang serius, saya ingatkan. Orang tua ialah yang pertama, yang harus mengetahui keadaan adikmu."

Dokter Fairuz keheranan, ketika ekspresi Aksa berubah gusar.

"Ada yang mau diceritakan?" Pancingnya, membuat Aksa mengangguk reflek.

"Aca melarang saya dok, katanya nanti Ayah sama Bunda khawatir kalo saya kabarin." Ujar Aksa masih dengan nada gusarnya.

Dokter Fairuz terlihat sedang berpikir, lalu sedetik kemudian ia menatap ponsel di genggamannya lekat.

"Kalo kamu tidak boleh, biar saya yang menghubungi mereka."

(+)

Fairuz itu adik saya.
Barangkali jadi dokter beneran.
Aaminn..

Is he, My Twin Brother? {Revisi}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang