T w i n s
-
"Yan, bisa selesain pekerjaanmu besok?"
Vian menatap istrinya bingung, ada apa gerangan sang istri meminta mempercepat pekerjaan. Bahkan, wanita bernama Eysa itu mengetahui, betapa banyaknya tugas yang harus ia selesaikan di negeri orang itu.
Memilih untuk tidak menjawab, Vian pun bergegas mengganti pakaiannya terlebih dahulu, mengabaikan sebentar raut khawatir dari wajah Eysa.
Lebih tepat, mencegah segala pikiran buruk yang hinggap di otaknya.
"Kenapa?" Tanya pria paruh baya yang masih terlihat sangat muda itu, setelah siap dengan piyama tidurnya.
Eysa terlihat menghela napas panjang, dan sedetik kemudian matanya mulai berkaca - kaca sembari menatap sang suami pilu, yang membuat Vian terperanjat.
"Hei, kenapa Ey. Cerita sama aku." Ujar Vian, memeluk dan membawa tubuh kecil Eysa ke dalam dekapan. Eysa kembali terisak, ketika punggungnya mendapat elusan lembut dari tangan Vian.
"Aca, Yan. Cuma kangen sama anakku." Ungkap Eysa, dengan suara yang terbenam di dada Vian. Mendengarnya, Vian menaikan salah satu alisnya tinggi - tinggi, merasa ada yang mengganjal dari ucapan sang istri barusan.
"Ada apa? Aku ini suamimu Eysa, kalo kamu lupa." Ujar Vian mengingatkan dengan dingin dan menusuk. Bahkan, kedua tangannya berhenti mengelus punggung Eysa yang bergetar.
Merasakan aura tak mengenakan, Eysa sesegera mungkin menghapus jejak air mata di kedua pipinya, sembari melepas pelukan bersama sang suami. Dan tak lama kemudian, lelehan air mata kembali menetes dari kedua mata wanita itu.
"Coba cek panggilan di hp kamu." Eysa menginstruksi, dengan isakan - isakan yang masih tersisa. Merasa penasaran, Vian segera mengecek ada apa di dalam ponsel miliknya.
Vian terbelalak, kiranya ada sekitar sepuluh panggilan tak terjawab dari Dokter Fairuz.
"Dokter Fairuz hubungi kamu juga?" Tanya Vian, yang hanya dijawab anggukan oleh Eysa. "Terus, dia bilang apa?" Lanjutnya, dengan tatapan menyelidik.
Eysa terdiam sebentar, mengatur napas untuk menceritakan semuanya pada Vian. "Aca udah masuk stadium ketiga. Dia bilang, anak kita nggak mau hubungin orang tuanya. Takut khawatir." Air mata kembali menggenang di pelupuk mata Eysa, dengan sisa napas yang ada, wanita itu kembali menatap mata sang suami berkaca - kaca.
"Kamu tau? Selama kita tinggal di sini, Aca emang banyak drop. Dan itu bisa makin memperburuk kondisi dia. Alasan kenapa kita nggak dihubungin, Aca yang minta ke Aksa sendiri, supaya kita nggak khawatir, terus ngehalangin kerjaan,"
"Aku nyesel Yan, terlalu sibuk sama pekerjaan. Sampai lupa buat kabarin dan mastiin keadaan mereka gimana di Indonesia. Aku.. aku bukan Bunda yang baik!" Eysa ambruk, di dada bidang Vian. Isakan kencang yang keluar dari kedua belah bibir Eysa, membuat Vian terdiam tanpa ada reaksi apapun.
Hingga pada menit kelima keterdiaman mereka, bunyi dering dari ponsel Vian menggema, membuat Vian tersadar dari lamunan panjangnya. Dengan segera Eysa melepaskan pelukan, dan membiarkan sang suami mengangkat panggilan dari seberang sana.
"..."
"Iya, saya sendiri."
"..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Is he, My Twin Brother? {Revisi}
Roman pour AdolescentsTidak selamanya, anak kembar itu sama. (+) Aksa & Aca Revisi 🍭