T w i n s
-
Langit begitu terlihat mendung, hingga teriknya matahari tak lagi tampak saat ini. Seorang bocah kecil sedang menatap ke atas sana, menunggu kedatangan hujan. Sebuah jas hujan dan mobil-mobilan mini telah diprakarsai olehnya, oh, ya, tak lupa juga dengan sekop mungil di kedua tangannya.
Wajahnya terlihat begitu bersemangat, hingga tak menyadari sesosok bocah lain di sisi sana.
"Ish, dibilangin! Jangan main hujan lagi!" dengan gerakan menggebu, ia datang menghampiri kakaknya yang sedang menatap penuh minat akan langit, "Ayo! Main sama aku aja!" tangan mungil itu siap untuk menarik tangan lainnya, namun urung sebab ketidakrelaan ada di hati lawannya.
"Apa?" Saral menatap adik kembarnya lembut, sedikit enggan untuk pasrah akan tarikan dari adiknya itu.
Atmosfer berubah, rintik-rintik hujan mulai membasahi taman bermain di depan rumah Saral. Sebuah senyum ia terbitkan secara cuma-cuma, dengan riang, Saral memekik dan membawa tubuh adiknya untuk berlari merasakan air hujan.
"Kakak! Nanti dimarahin!"
Saral tetap kukuh pendiriannya, dengan cepat jas hujan berwarna biru lautnya dilepas begitu saja, menimbulkan kernyitan heran tampak di wajah masam adiknya.
"Katanya mau hujan-hujanan, terus kok jasnya dilepas?"
"Buat Ara aja, kakak nggak usah pake," Saral meraih kepala mungil itu, dipakaikannya jas hujan dengan amat hati-hati. Mereka masih berada di atas naungan atap yang berisik akan gemuruh tetesan air hujan.
Ara diam tak berkutik, justru di tangannya sudah bertengger sebuah sekop mainan yang diberikan oleh Saral—sebelum memakaikan jas hujan ke si mungil Ara. Tubuh Ara kini telah dibungkus rapih oleh jas hujan, membuat sebuah senyum kembali menguar ke atas permukaan wajah Saral.
"Ayo! Pasti kamu ketagihan deh, Ara."
Langkah Saral terlihat buru-buru, hingga tak mengindahkan wajah Ara yang sedikit berbinar. Bahkan mobil-mobilan itu ia abaikan begitu saja.
Hujan deras mengguyur tubuh keduanya, Ara masih terlihat kering karena ada jas hujan pelindung, namun Saral sudah basah kuyup sebadan-badan. Tapi, Saral tetap terlihat bahagia—sebab Ara telah memutar-mutarkan tubuh mungilnya sambil meracau kesenangan. Keduanya sangat asyik menikmati setiap tetesan yang turun, tanpa memikirkan apa akibat dari perbuatan nakal mereka itu.
Hingga pada saat suara petir menggelegar membuat keduanya terlonjak kaget.
"Saral, Sarah!"
Tubuh Saral dan Sarah diboyong dengan begitu mudahnya. Diletakkan pada halaman depan yang terhindar dari tetesan air, wanita itu kemudian menatap keduanya tajam. Keadaannya tak jauh berbeda dengan kedua anak kembar itu, basah kuyup dan air muka sirat akan kekhawatiran.
"Ma-maaf, Mama. Bukan salah Ara, ini kakak yang mau." Suaranya sedikit bergetar, berada diantara rasa menggigil karena dingin juga rasa takut yang begitu membuncah. Saral menunduk dalam, tak berani menatap Sang Ibunda yang menjulang tinggi di hadapan. Di sampingnya, Sarah justru hanya menunjukkan wajah biasa saja. Terlampau santai hingga sering membuat Mamanya naik pitam.
"Mandi, jangan lupa pakai baju yang hangat." Titah Ibunda, membuat Saral mengangguk patuh lalu setelah itu menggandeng Sarah untuk ikut bersamanya.
"Lepas dulu jas hujannya, Ara." Ini Papa, kesayangan dari Sarah kecil. Alasan mengapa Sarah menyayangi Papa ialah, karena Papa selalu berlaku adil dan tidak membeda-bedakan anak-anaknya.
Papa dan Mama memang Sarah sayangi, namun sepertinya Papa lebih pantas untuk Sarah beri kasih sayang banyak-banyak.
"Aku nggak mau mandi!" Sarah bersindekap dada, membuat Mama membolakan kedua matanya.
"Sarah! Kamu jangan banyak tingkah, contoh kakakmu itu! Nurut, ngerti nggak?!"
Wajahnya begitu keruh, membuat Papa yang berada di ujung sana harus mengambil tindakan cepat. Papa menyentuh kepala Sarah lembut, lalu beralih memandang Mama. "Udah, Ara biar aku aja yang mandiin. Saral keburu menggigil nanti."
Mama mengangguk paham, kemudian melangkah meninggalkan Sarah bersama Papanya. Langkah wanita itu terlihat buru-buru—takut terjadi sesuatu pada Saral di kamar mandi sana.
Di lain sisi, Papa menyetarakan tingginya dengan proporsi tubuh mungil Sarah. Lelaki itu tersenyum sangat lebar, "Yang ajak ujan-ujanan duluan, siapa?" lalu mengelus surai lembut Sarah.
Sarah menatap manik mata yang Papa punya, "Kakak," jawabnya tanpa adanya sebuah senyum tersampir indah. Papa terkekeh tampan, lalu menggandeng tangan Sarah untuk menyusul di mana sang istri dan putranya berada.
"Lain kali, galakin kakakmu aja Ara. Biar kapok, terus nggak bandel-bandel lagi."
"Hm ... kakak nggak bandel—"
"—main air itu enak, asal Papa tau. Papa sama Mamanya aja yang nggak pernah ngerasain." Sarah dengan segala kosa-katanya. Papa saja sampai dibuat heran oleh tingkah laku Sarah, anak ini sebenarnya umur berapa? Kenapa bicaranya sudah seperti orang dewasa yang berpengalaman ribuan tahun.
"Ah, persis Mamanya. Hahaha ...,"
"Papa gila, ketawa sendiri."
;-
Kedua tubuh mungil itu lagi-lagi harus bersembunyi untuk ke sekian kali. Jenis orang yang sangat ditakuti kembali mengeluarkan kebolehannya, membuat Saral menggenggam erat tangan mungil Sarah di dekapan.
Sarah terdiam, berlagak seolah tak ada keributan yang sedang terjadi. Bocah itu hanya membalas genggaman sang kakak, lalu kemudian bersikeras untuk menulikan pendengarannya.
Suara pecahan kaca, teriakan Papa dan Mama, debuman dari hasil pertemuan kulit dan lantai telah menghiasi rumah kediaman si kembar. Entah sudah ke berapa sekon keributan itu terjadi—membuat anak kembar yang sedang berlindung di bawah kolong meja makan semakin bergetar saja rasanya. Sarah hanya tahu, Mama tadi kehilangan obatnya—yang harusnya ada di tempat seperti biasa. Namun, entah ke mana perginya obat Mama. Dan berakhir dengan terjadinya peperangan hebat di dalam rumah damai Sarah.
"Kak ... jangan nangis," bisik Sarah tepat di kedua telinga Saral. Membuat bocah lelaki berumur delapan tahun itu menolehkan kepalanya. Terpampang dengan jelas jejak air mata di kedua belah pipi. "Siapa bilang? Ini cuma—"
"Anak-anak! Pergi ke balkon! Sekaraaaang!"
"—Ara! Ayo, pergi!"
Sarah kosong, Saral menggebu di setiap tarikan napasnya. Suara Papa yang begitu menggelegar mampu membuat kedua anak kembar itu terperanjat. Keduanya berlari dengan sepasang kaki mungil mereka, berusaha menghindar dari jangkauan Sang Mama yang mengejar mereka di belakang.
Harusnya pergi menuju ke pintu utama, Saral justru melangkah ke arah tangga kamarnya yang berada di atas. Sarah hanya mengikuti, menaiki setiap undakan tangga yang rasanya semakin bertambah saja. Mama semakin menggila, Papa pun tak urung untuk terus mengejarnya dengan diiringi suara menggelegar.
"Jangan kabur, dong! Hihihi~ aku 'kan cuma mau main~!"
Saral berhenti, tepat di saat ujung sendalnya menginjak lantai balkon kamar. Entah kamar siapa, yang jelas dirinya harus cepat-cepat mengunci pintu itu dan menghindar dari sang Mama. Papa tak lagi bisa diandalkan, sebab tubuhnya sudah limbung setelah didorong oleh Mama saat di undakan kelima. Semuanya serasa transparan, Sarah tak lagi melihat rupa Mamanya yang dulu. Ini sangat menyeramkan, bahkan lebih-lebih ketika Mama hanya menyodorkan sebilah pisau dapur pada Papa waktu itu.
Mama gila! Mama pantas untuk dibenci Ara, kakak, Papa! Mama harus mati! Ara bertekat, akan membenci orang-orang yang mempunyai suatu penyakit. Apapun itu, iya, harus! Karena orang penyakitan itu ... pembunuh. Dan Mama adalah salah satunya.
"Kak Saraaal!"
"HAHAHAHA!"
"B-brengsek. Enyah kamu dari dunia, IBLIS!"
"Papaaa! H-hiks ... semuanya jahat, Ara BENCIIII!"
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Is he, My Twin Brother? {Revisi}
Teen FictionTidak selamanya, anak kembar itu sama. (+) Aksa & Aca Revisi 🍭