T w i n s
-
Bagai sebuah kilas balik film bersejarah, semuanya tampak begitu nyata sampai-sampai dirinya kembali terbawa pada masa lalu. Isi kepala terisi dengan berbagai macam kepedihan di masa lampau, hingga rasa-rasanya ingin sekali menghancurkan kaca pembatas antara dulu dan sekarang.Segala dendam, amarah, serta rasa bersalah yang kian lama kian membumbung membuatnya ingin menebus tanpa harus ada yang terluka kembali. Ingin mencoba menerima segalanya, tanpa ada sebuah beban berat yang harus dihadapi dengan diliputi oleh kecaman dendam masa lalu.
"Ginjal kami cocok, saya udah cek kemarin di rumah sakit," ucapnya dengan guratan emosi yang berpusat pada pelipis di kepala. Dirinya tidak akan tersulut, bila saja orang yang kini tengah berhadapan dengannya tidak menampilkan raut wajah curiga. Sungguh niatnya baik ingin menyelamatkan sebuah jiwa tak berdosa, tetapi apa yang telah didapatkannya? Hanya sebuah tatapan tak meyakinkan lah yang didapat.
Mungkin ini adalah yang sering disebut sebagai karma.
"Maaf, apa hubungan kamu dengan Aca?"
"Kami ... teman."
Sarrah menggenggam erat kedua tangannya yang saling bertaut, sedikit bergetar sesaat ia melontarkan kata 'teman' pada nama orang yang telah tersakiti oleh dirinya. Tak apa 'kan, berusaha memperbaiki segalanya yang telah lama hancur? Ya, setidaknya Sarrah telah merubah jalurnya sendiri dengan melangkah menuju kebaikan.
Lelaki setengah baya itu meraup wajah, merasa pening seketika melihat situasi yang sangat tiba-tiba ini. Sebagian ia sedang mengkhawatirkan putrinya yang tengah berjuang melawan hidup, sebagian pula ia sedang memikirkan apa isi kepala dari remaja yang kini berhadapan dengannya. Vian lantas mendongak tegas, lalu mengunci tatapannya pada presensi Sarrah.
Vian menjilat bibir bawahnya sensual. "Kamu yakin? Harusnya kita bicarakan dulu dengan Aca—"
"Nggak usah ... O-om. Biar Aca sembuh dengan sendirinya, tanpa tau siapa yang udah donor ginjal buat dia. Saya yakin seratus persen ini akan sangat berguna bagi kelanjutan hidup Aca," potong Sarrah segera setelah mengerti ke mana arah pembicaraan ayah dari temannya itu.
Tentu Sarrah tak ingin Aca tahu, perihal dirinya lah yang sudah merelakan setengah dari kehidupannya dibagi secara cuma-cuma. Karena Sarrah yakin, ia pasti akan mendapat sebuah kebingungan yang semakin meningkatkan rasa bersalahnya.
Melihat raut kesungguhan terpapar begitu pekat di wajah Sarrah, Vian lantas melayangkan pandangan teduh—yang tentu membuat Sarrah sedikit menaikkan bibir, tanpa mempedulikan desiran aneh yang muncul di sudut sana.
"Terima kasih, Om sangat berhutang budi sama kamu nanti, Sarrah."
Ara rindu senyuman Papa, sebentar lagi, Pa. Aku bakal menjemput kalian.
...
"Gue bilang nggak mau ya, nggak mau!"
"Lo harus minum obat Acaa! Bandel banget sih, jadi bocah?!"
"Gue bukan bocah!"
"Haha! Nyatanya emang lo bocah, disuruh minum obat aja nggak mau, huu bocaaah!"
Aca menggeram emosi, jika saja tak ada selang infus yang menempel, tentu sedari tadi ia sudah menyelesaikan perdebatan ini dengan menjambak rambut kakaknya. Sibuk memperdebatkan hal sepele—tidak mau minum obat dengan alasan bosan—mereka sampai lupa jika ada manusia lain yang lebih memilih terdiam menyaksikan. Muak sebenarnya, tetapi ia belum mempunyai sebuah niat untuk menengahi perdebatan konyol itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Is he, My Twin Brother? {Revisi}
Teen FictionTidak selamanya, anak kembar itu sama. (+) Aksa & Aca Revisi 🍭