Can We Have A Moment, please?

1.5K 59 1
                                    

Dominic

Kami duduk diam berhadapan di dalam warung makan di luar candi. Tidak ada satu katapun terucap setelah kejadian di candi. Pandanganku mengarah keluar, truk-truk sayur tampak hilir mudik, angkutan umum banyak yang berhenti untuk menunggu penumpang. Aku berusaha keras untuk mengalihkan pikiran dan tanganku untuk tidak meraba keningku. Damn, aku tidak menyangka Ryan akan mencium keningku. I meant, he didn't show any indication. Anything. Pikiranku mulai melantur, mungkin Ryan tidak sadar aku adalah Dominic, dikiranya aku adalah istrinya. Wow! This would have hurt my pride. Mungkin dia hanya terbawa suasana. Ini aku bisa terima. Atau yang paling gila, Ryan menyukaiku! Skenario ini adalah mustahil. Bagaimana mungkin Ryan menyukaiku? Aku tidak pernah memandang rendah diriku, tapi aku selalu merasa lebih 'kecil' dibandingkan dengan Ryan. Secara agama, Ryan merupakan orang yang taat beribadah, setiap Senin dan Kamis dia selalu berpuasa. Aku jelas kurang dalam hal ini. Dilihat secara materi, well, you didn't even need me to tell you. I meant, part of the reasons why I was in this situation because of money. Apakah aku seorang gold digger? Jika kamu melihat bahwa seorang gold digger menikah/menjalin hubungan karena uang, well, yes. Itu aku. Aku punya segudang alasan akan tindakanku, tapi buat apa aku berusaha menjelaskannya? Bagaimana soal penampilan? He's drop dead gorgeous. Aku? Me too. Aku tidak kalah dari segi penampilan, menjadi stripper tidak hanya butuh badan, tapi wajah. Hanya satu point dari tiga kategori, jelas aku harus mengubur harapan bahwa mungkin Ryan menyukaiku.

"I'm not a people person. So I want to get this straight." Aku terhenyak dari lamunanku, pandanganku mengarah ke Ryan. Matanya neutral, bibirnya tersenyum simpul. Bibir itu, beberapa menit yang lalu mencium keningku. Argh, damn, bagaimana aku bisa melupakan hal itu? Aku menunggu Ryan melanjutkan kalimatnya.

"Yes or no, ok?" aku hanya mengangguk, tidak tahu apa yang akan aku hadapi.

"Do you like me?"

Yes. No. Don't know. Alis matanya sedikit terangkat, what should I say? "It's simple. It's simple," teriakku dalam hati. "Yes."

"Do you want to try this with me?" Aku menatap matanya, berusaha mencari setitik emosi. Tapi aku tidak bisa menemukan apapun. Datar.

"Yes," jawabku sambil menatap matanya lekat-lekat.

"I like you, more than I should. Do you think it's too early?" Aku tersenyum sebentar. Sesaat kemudian aku merasa tangannya meremas tanganku. Pegangannya erat, seolah-olah hidupnya bergantung kepadaku.

"Aku tidak tahu, but I am here when you need me," kataku sambil meletakkan tangan kiriku di atas tangannya.

"Apakah kamu merasa harus menyukaiku karena mengandung anakku?"

"No. Don't ever think about it." Matanya bersinar dan bibirnya tersenyum lebar. He's so angelic at this moment.

"It's different. Liking you. Aku mencintai istriku sejak pertama kali aku melihatnya. Sedangkan kamu, aku selalu merasa ada tarikan kuat. Sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan. Aku tidak tahu apa itu karena aku tidak pernah merasakannya. Aku tidak tahu apakah aku sudah mencintaimu atau masih sebatas menyukaimu, aku ingin mencoba hubungan ini," sambil mengeratkan genggamannya, "Aku ingin melihat sejauh mana kita melangkah, merasakan sesuatu yang tidak pernah aku dapatkan sebelumnya."

Aku berusaha mengucapkan sesuatu, tapi tenggorokanku tercekat. Ketika aku membuka mulutku untuk menjawab,

"Permisi, Mbak, Mas, ini tongseng dan satenya." Seorang pelayan meletakkan beberapa piring di depan kami. Hilang sudah suasana romantis yang kami bangun.

"Lain kali, kalau mau ngomong kayak gini jangan di warung," gumamku. Romantis nil tusuk sate satu.

Let Me Love You OnceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang