Love, Laugh, Cry

2K 65 0
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam ketika kami selesai membersihkan sisa tahlilan seratus hari meninggalnya istriku. Setelah mandi dan menyelesaikan beberapa pekerjaan kantor, aku masih belum bisa tidur. Aku membuat secangkir teh panas dan membawanya ke halaman belakang. Duduk di ayunan ini, kenangan tentang Naya mengalir begitu deras.

Dengan kedua kaki ditekuk dan kepala bersandar di atas tangan yang terlipat, aku merenung. Seperti sebuah film, memori-memori tentang kami berdua memenuhi pikiranku. Terbayang pertemuan pertama kami, kencan di salah satu mal, dan momen indah saat kami menikah. Dia begitu cantik pada hari itu, dan dia menjadi milikku. Saya masih bisa mendengar decak kagum adikku ketika Naya memasuki ruangan pesta pernikahan kami.

Setiap tahun, untuk merayakan hari pernikahan kami, kami memutuskan untuk mengunjungi tempat baru dan memperbaharui janji pernikahan. Tak semua tempat yang kami kunjungi merupakan destinasi wisata; kami pernah tersesat di pedalaman Sulawesi dan berputar di luar jalur, lebih karena ketidakmampuan membaca kompas daripada niat. Atau saat semua perlengkapan basah karena kami harus menyeberangi sungai dengan berjalan kaki setelah jembatan sementara runtuh. Dalam pikiranku, aku berada di samping Naya, mengingat momen-momen indah yang kami lalui bersama, sambil tertawa.

Namun, mataku mulai berkaca-kaca saat aku teringat masa-masa di mana Naya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit daripada di rumah. Matanya cekung, kulitnya pucat. Saat-saat ketika aku merasa hidupku hancur, mulai meragukan keadilan. Kami selalu sholat dan mengaji bersama setiap hari, menyisihkan sebagian uang kami untuk bersedekah. Adilkah ujian ini bagi kami? Di masa-masa sulit itu, kami berdua menangis bersama setelah sholat Isya, ketika dia diumumkan kanker telah kembali. Di dalam mushola kami, kami memeluk erat, menangis bersama hingga air mata kami habis. Tiba-tiba, Naya bangkit, berwudhu, dan memelukku. Dia berkata, "Insyaallah kita bisa melewati ini, Yang. Selama ada kamu, aku selalu bisa, karena aku yakin kamu akan selalu mendoakanku. Ingat, Yang, Allah mendengar semua doa kita." Lalu dia mencium keningku dan kedua pipiku sebelum memelukku erat, saat itu aku menangis sejadi-jadinya sampai tubuhku bergetar.

Seketika aku merasa seseorang menutup tubuhku dengan selimut, dan saat mendongak, aku melihat Domi berdiri di depanku. Dia tersenyum lembut dan membalikkan badannya. Aku menggenggam tangannya, mencegahnya pergi. "Temani aku duduk." Kami berdua sangat mencintai Naya, dan aku bisa melihat kesedihan di matanya saat mendengar cerita tentang istriku. Domi duduk di sampingku, lalu aku berbagi selimut dengannya. Dalam ketenangan malam, kami saling menghibur, tidak perlu kata-kata, hanya kehadiran satu sama lain yang cukup menguatkan.

Let Me Love You OnceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang