Chapter 2: Life Must Go On

3.3K 88 0
                                    

Telah satu bulan sejak istriku meninggal, dan hari ini aku berjanji untuk pergi bersama Domi ke Obgyn untuk melakukan cek kandungan.

"Where are you, Dom?" tanyaku sesaat setelah Domi menjawab.

"Lho, kamu udah selesai? Cepet banget! Kirain bakalan lama, sorry tadi aku ke toko roti di depan. Ini otw, tunggu aja di depan. See ya!" and just like that, she hung up on me.

Cewek itu selalu saja menutup telponnya begitu dia selesai, tanpa pernah menunggu orang menyelesaikan perkataannya. Satu hal yang sudah berkali-kali aku ingatkan, tapi tidak pernah berubah. Sesaat kemudian, aku melihat mobilku mulai mengarah ke arahku dan berhenti tepat di depanku. Sambil menurunkan kaca mobil penumpang, Domi berkata, "Masuk."

Aku menyandarkan tanganku dan menatap Domi sambil menaikkan sebelah alisku, which means, I'm driving, this seat is yours.

"Geez, fine," desisnya sambil melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil.

After making sure both of us were wearing seat belts, aku menanyakan kembali alamat dokter kandungan yang akan kami datangi, biasanya istriku yang mengantar Domi untuk check up rutinnya.

"Di daerah Kemang. Kamu yakin mau nganterin? Macet kesananya."

"Gapapa, Dom. Emang udah seharusnya aku nganter. Kapan parenting class nya mulai?" sambil menginjak pedal rem, aku mengutuk sepeda motor di sampingku yang tiba-tiba memotong jalan. I failed to understand the motorcycle riders in Jakarta.

"Dua bulan lagi mungkin. Kamu mau ikut?" jawab Domi dengan setengah terkejut.

"Iya. Kemarin udah daftar dua orang kan? Ya udah masukin namaku aja atau Alexa. Kita berdua bisa back to back untuk nemenin kamu."

Domi atau Dominic is the surrogate mother untukku and istriku. Karena kondisi kesehatan Naya, dokter menyarankan untuk tidak hamil. Aku masih ingat hari itu, saat dokter menyarankan istriku untuk tidak hamil. Malamnya istriku hanya menangis sambil memelukku, aku membelai rambutnya and mengucapkan kata cinta untuknya, sambil berharap itu adalah ujian terakhir yang ada dalam pernikahan kami, ternyata aku salah, ada banyak ujian lain setelah itu.

Kehilangan istriku adalah pukulan yang belum sepenuhnya aku terima, namun di sinilah aku sekarang, mengantar Domi ke pemeriksaan kandungannya. Hidup memiliki cara yang aneh untuk terus berlanjut, terlepas dari kesiapan kita. Allah tidak akan menguji makhluknya di luar kemampuannya and aku percaya akan hal itu.

"Ryan, you okay?" suara Domi menghentikan lamunan. Aku melihat ke arahnya; kekhawatiran tergambar di wajahnya.

"Yeah, just thinking about everything. It's been a whirlwind of emotions lately," aku mengakui, tersenyum lemah. Domi meraih bahu saya dan menepuknya penuh pengertian.

"I can't imagine how hard it must be for you. Losing Naya and now becoming a father on your own. You're handling it all remarkably well," ujarnya dengan tulus.

"Thanks, Dom. I'm trying my best. You've been a huge support, too. I don't know what I would've done without you and your sisters," jawabku sambil tersenyum.

Domi tersenyum hangat, "We're family, Ryan. We stick together through thick and thin."

Sampai di kantor dokter kandungan, kami disambut oleh aroma antiseptik yang familiar. Ruang tunggu dihuni oleh ibu hamil, pasangan mereka, dan sesekali kerabat yang cemas. Suasana di dalamnya campuran antara gugup dan antisipasi. Aku mengisi formulir yang diperlukan, dan kami duduk di tempat kami.

Let Me Love You OnceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang