8 : Penyerangan

101 19 32
                                    

Taeyang menyipitkan sebelah matanya saat mencoba fokus pada lubang kecil pada batang pohon yang berjarak 5 meter darinya. Untuk yang kesekian kalinya, anak panah meleset, membuat Taeyang mendengus kesal.

"Fokus!" ucap Kim Su Ro—anak buah Mrs. Song—yang memiliki perawakan sangar dengan tubuh tinggi dan besar. "Kau pikir kau bisa menghadapi para mahkluk brengsek di luar sana dengan kemampuan fokus dibawah rata-rata seperti itu?"

Taeyang spontan mendelik menatap benci ke arah anak buah ibunya itu. Mrs. Song yang sedang mengawasi dari kejauhan menyahut, "Jangan cepat tersinggung dengan kritikan yang bisa membentukmu menjadi pemburu yang hebat nantinya. Fokus, itu yang utama. Posisi tanganmu juga diperhatikan, harus mantab dan jangan bergerak sedikitpun ketika kau sedang mencoba mensejajarkan anak panahmu dengan target sasaran."

"Apakah serumit ini untuk menjadi orang hebat seperti ayah?" tanya Taeyang seraya menatap busur yang masih digenggamnya saat ini. 

Mrs. Song tersenyum mendengar ucapan sang anak. "Tidak akan ada yang bisa menjadi seperti ayahmu. Dia adalah contoh seorang ayah, pelatih dan pemburu yang hebat. Dia seorang yang ambisius dan tidak akan menyerah sebelum mendapatkan apa yang dia inginkan. Hanya satu hal yang mampu menghentikannya. Kematian."

Taeyang terdiam sebelum dadanya berdesir aneh, ada rasa dendam yang tiba-tiba muncul. Kematian sang ayah, entah mengapa Taeyang ingin sekali membalaskan kematian sang ayah.

**

Lee Jin Guk baru saja selesai mengunci semua akses menuju gedung museum yang dipagari oleh besi runcing dengan ketinggian hampir tiga meter. Sang anak, Lee Jin Ki pun sudah selesai menaburi Mountain Ash di sekeliling area museum.

"Duduk sini, nak," ucap Jin Guk meminta Jin Ki duduk disebelahnya. "Ada yang ingin aku bicarakan."

"Ada apa?" tanya Jin Ki dengan ekspresi was-was, mengira-ngira apakah ayahnya ini ingin memberitahu rahasia lain yang belum dia ketahui. 

"Soal Huntington itu," ucap Jin Guk. Ada beban di dadanya yang membuatnya sulit mengatakan hal ini. Tetapi Jin Ki perlu tahu. "Ayah tidak ingin kehilangan dirimu."

Jin Ki menghela nafas berat seraya berkata, "Yeah, aku juga tidak ingin meninggalkanmu. Tetapi itu masih dugaan. Belum tentu aku mengidap penyakit yang sama kan."

Jin Guk menggeleng seraya menjawab, "Kemungkinan dirimu tidak mengidap penyakit itu kecil, sangat kecil."

Jin Ki tertegun sesaat sebelum berkata, "Aku akan melakukan persiapan apapun sebelum penyakit itu benar-benar datang menyerang tubuhku. Tenang saja."

"Persiapan seperti apa?" tanya Jin Guk yang tahu betul bagaimana rasanya menyerah saat menghadapi penyakit sialan itu. "Tidak ada yang bisa kau lakukan, Jin Ki-ah...selain..."

"Selain apa?" tanya Jin Ki dengan wajah cemas. "Kau ingin aku juga jadi seperti dirimu?"

Jin Guk terdiam, tidak bisa menjawab atas pertanyaan Jin Ki.

"Aku hanya ingin kau selamat," ucap Jin Guk pelan.

"Kau sendiri yang bilang padaku, 'ada lebih banyak kekuatan, artinya ada lebih banyak ancaman dan kekhawatiran'..." ucap Jin Ki mencoba mengingat ucapan sang ayah. "Apapun caranya akan aku lakukan, kecuali satu cara itu. Aku tidak mau siapapun mengubahku menjadi makhluk sialan itu."

Jin Guk menyerah, dia hanya mengangguk pelan sebelum akhirnya membentuk senyum di sudut bibirnya.

"Ya, segala cara, kecuali mengubahmu..." ucap Jin Guk seraya mengelus pucuk kepala Jin Ki.

**

"Kalian para manusia berbulu sedang dibawah ancaman ibunya si gundul saat ini, sedangkan aku dan Jiyeon dibawah ancaman si Alpha. Jadi menurut kalian, bagaimana caranya kita bisa mendapatkan tiga puluh persen terjemahan atas kode-kode konyol ini? —dengan catatan, tanpa ada yang terluka, tanpa ada yang mati," ucap Jin Ki membuka rapat pada pagi itu. 

The WerewolfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang