Bagian tiga : Sesajen

7.5K 1.3K 536
                                    

jalanku hampa dan ku sentuh dia

---

Pukul 12 malam tepat, mantra persembahan dirapalkan. Penduduk desa yang berjenis kelamin laki-laki duduk dibelakang dukun sakti juru kunci tanah Pringwulung sambil terpejam dan menyerukan "La illaha Illallah... La illaha Illalah... La illaha Illallah..." terus menerus sampai beliau memita untuk berhenti.

Mereka berkumpul di titik tengah desa, dihadapan sebuah pohon beringin keramat serta membawa berbagai macam sesajen untuk memanggil sesepuh penunggu hutan, yang mereka percaya bisa membawa Jeongin kembali.

Media yang mereka gunakan berwujud tumpeng lengkap bersama ubarempe dan 7 gelas kopi pahit, lalu disajikan juga 7 variasi jenang dan sebuah tungku berisi dupa dan kembang 7 rupa dengan foto Jeongin diletakan di depan tungku tersebut, sebagai simbol dan harapan bahwa Jeongin akan selalu dilindungi oleh 7 saudara ghoibnya. Yang mana masyarakat jawa percaya, setiap bayi lahir di muka bumi ini, akan ada 7 sukma lain yang akan mendampingi hidupnya selama ia masih memijakan kaki di dunia.

"Lebih kencang! La illaha illalah! La illaha illallah!" Mbah Darwa, sang dukun berseru memerintah, sementara beliau menyembelih ayam cemani dan meneteskan darahnya kedalam tungku.

Tradisi kedjawen memang masih sangat kental dalam desa itu karena merupakan keyakinan lokal pertama yang ada di nusantara. Penduduk menamai diri mereka sendiri Islam kejawen. Yang mungkin dapat diartikan sebagai penganut islam, penyembah Ghusti Allah namun tetap melaksanakan ritual-ritual jawa sebagai penghormatan dan permohonan pertolongan kepada sesepuh desa yang mendiami hutan belantara di sekitar mereka.

Sekilas nampaknya memang seperti menentang logika, iman dan dogma. Namun yang terjadi saat ini bukan semata-mata karena mereka tidak percaya akan bantuan Tuhan, lantas meminta bantuan selain pada-Nya. Karena di dalam desa yang tak lazim ini, kata "masuk akal" memang jauh untuk bisa dipahami oleh orang-orang yang tidak mengerti. Pertolongan yang dimaksudkan dapat diartikan seperti seorang teman yang meminta pertolongan kepada temannya yang lain. Memohon dengan tulus, namun tidak bertuhan kepadanya.

"Jangan buka mata kalian! La.... Illaha Illalah!"

Kemudian suara melengking auman serigala terdengar nyaring mengisi telinga mereka semua. Tak ayal penduduk bergetar dan merasakan bulu kuduk mereka merinding. Suara tersebut sangat nyaring, sangat jelas namun terdengar begitu jauh di dalam sana. "La Illaha Illalah! La Illaha Illallah!" Semakin intens suara auman tesebut terdengar, semakin gencar pula mereka semua bersyahadat.

"Benhenti!" Seru mbah Darwa tiba-tiba.

Kemudian suasana mendadak sunyi. Tidak ada suara lain selain suara jangkrik bersahutan dari atas pohon dan hembusan angin malam yang dingin. Mbah Darwa membalik tubuhnya yang sudah tua dan ringkih untuk menghadap penduduk yang lain. "Yoongi?" Tegur beliau.

"Ya, mbah?"

"Duduk di sampingku, le... Tapi jangan buka matamu."

Yoongi menurut untuk berpindah ke sisi mbah Darwa meski dengan mata tertutup. "Beliau akan datang, tapi jangan bersuara. Biar simbah yang ngomong, ngerti?"

"Ngerti, mbah."

Ini adalah cara terakhir dan pamungkas bagi Yoongi dan istrinya untuk mengetahui keberadaan putra semata wayang mereka. Dirinya dan seluruh warga desa sudah berusaha setengah mati mencari Jeongin sampai ke pelosok hutan. Berharap setidaknya jika memang anak tersebut memang sudah meninggal, jasadnya bisa ditemukan kembali agar dapat dimakamkan dengan layak. Yoongi miris dan menyesal bagaimana dia begitu ceroboh meninggalkan bocah lugu itu seorang diri.

Waja GetihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang