Bagian sepuluh: Gerhana

6.4K 1.1K 675
                                    


Mata terpejam dan hati menggumam..

---

"Le, jangan duduk di depan pintu. Nanti istrimu brewokan, lho..." Tegur Dowoon sembari menyapu-nyapu lantai rumah keluarga Jeongin dengan telaten. Sudah 3 hari ini dia menjalankan tugas penting mengasuh Jeongin sementara kedua orang tua bocah itu bertolak ke luar kota mencari kontrakan. Nyatanya mencari tempat tinggal memang tidak semudah membalik telapak tangan, banyak sekali pertimbangan yang harus mereka pikirkan agar keluarga kecil itu bisa hidup tentram meski dalam pelarian.

"Brewokan itu kalau nyapu ndak bersih, Sugeng!" Hardik Wonpil menimpali. Ia sengaja berkunjung sore itu untuk memastikan bocah tersebut tidak ketularan bodoh seperti sahabatnya.

"Aku meh bali, nanti habis sembahyang maghrib kesini lagi." Ujarnya kemudian, "Sudah sore lho, Woon. Jangan lupa gembok pintunya dari dalam!"

Dowoon mendengus, kemudian membungkuk dalam-dalam sembari menyerukan, "Inggih, ndorooooooo!"

Sepeninggalan Wonpil dari tempat itu, Dowoon-pun mendekati Jeongin yang masih murung termenung diambang pintu.

"Kamu kenapa to, le? Kok sedih terus?" Tanyanya.

Jeongin menggeleng.

"Kamu kenapa? cerita sama mas, barangkali mas bisa bantu..."

Sang bocah tertunduk pilu, berusaha keras memenuhi janjinya kepada Hyunjin untuk tidak menangis selama mereka berpisah. Ia ingin membuat mas Hyunjin-nya bangga, sebab ia kalau lemah, Hyunjin juga akan merasakan hal yang sama.

"Jeongin ndak mau pindah, mas..."

"Kenapa?"

"Nanti ndak bisa ketemu mas Hyunjin..." Bisiknya parau. Suaranya bergetar lirih dalam susah payahnya melanjutkan, "Nanti mas Hyunjin susah nyari...."

Dowoon tersenyum mendengar penuturan itu, "Mas Hyunjin ki sopo to, le?"

"Mas Hyunjin pasangannya Jeongin, mas Dowoon." Jeongin mencoba menjelaskan sambil tertangis, air mata yang ia bendung selama berhari-hari mulai terhambur, tumpah ruah mengiringi lara hatinya. "Mas Hyunjin lagi bahaya, mas..." Rasanya Jeongin tidak peduli lagi pada pandangan orang, sudah sampai batas sabarnya menyimpan rindu dalam hatinya seorang diri, "Nanti malam ada gerhana... Dada-nya Jeongin sakit..."

Setelah mengutarakan penjelasan itu, Jeongin kembali tertunduk, memperisapkan diri atas berondong pertanyaan yang akan Dowoon ucapkan,

Namun anehnya Dowoon malah tidak bersuara, tidak pula menampakan ekspresi aneh, atau menunjuk hidungnya mencemooh seperti orang lain. Alih-alih menimpali, pria itu malah terdiam seolah hanyut dalam pikirannya sendiri.

Mungkin sudah waktunya....

Bisik sebuah suara dalam kepala pemuda itu.

"Dada mas juga sakit."

Jeongin mendongak lagi, kali ini menemukan kedua pasang mata Dowoon berkilat kuning menatapnya.

"Mas ngerasa apa yang kamu rasa."

Ancaman-ancaman itu memang semakin nyata. Desa Pringwulung menjadi senyap, terhunus sunyi ditelan petang semenjak kabar bahwa gerhana malam ini diliput luas dalam televisi. Kepala desa menghimbau warga-nya yang berjenis kelamin laki-laki untuk berkumpul di masjid setelah menunaikan shalat isya', sebab gerhana diperkirakan akan muncul pukul 11 dini hari, mereka akan berdzikir seraya menanti datangnya momen tersebut agar bisa bersama-sama melakukan shalat gerhana.

Waja GetihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang