ku pegang erat, dan kuhalangi waktu
tak urung jua ku lihatnya pergi--
"Mbiyen tak tandur pari tukule jabang bayi-
"Heh gondhes! ayo, udah ditungguin malah nyanyi!" Wonpil datang menghampiri Dowoon dengan menempeleng kepalanya saat pemuda itu asyik bernyanyi-nyanyi sendiri sambil menabur garam dipekarangan rumah.
Dowoon menoleh, mendelik tidak terima kepalanya dipukul dan mulai mengomel, "Iya sek, to! Mas ndak lihat aku lagi sibuk?! " Cecarnya kesal.
"Lah kamu ndak tahu diri, orang lagi maghrib kok malah nyanyi-nyanyi. Cepet! tak tinggal kamu kalau lama."
"Iyo iyo!"
Seperti hari-hari sebelumnya, bapak-bapak dalam kampung Pringwuling berjalan beriringan menyongsong hutan demi menuju langgar yang letaknya cukup jauh di perbatasan desa. Mereka berjalan dengan tenang dan hening, menghormati suara adzan maghrib yang terdengar sayub-sayub seakan menuntun jalan mereka untuk menghadap sang pencipta.
Wonpil melirik sahabatnya si Dowoon berkali-kali. Semakin banyak iya melirik, semakin dalam pula ia mengerinyit, bingung sendiri kenapa pemuda itu menengadah ke arah langit sejak tadi.
"Kamu kenapa e Woon?" Tanyanya saat kumandang maghrib telah usai.
Yang ditanya menoleh, melempar senyuman kecil, kemudian menengadah memandangi langit lagi, "Hari ini purnama ya, mas?" Tanyanya balik.
"Memang kenapa kalau purnama?"
"Kata simbah-ku dulu, malam purnama itu malam bagi makhluk selain manusia untuk kawin, mas."
"Ngawur! Kok kamu bisa tau? Jangan-jangan kamu siluman juga, ya?! Ngaku!" Canda Wonpil mencela, ia sudah bergerak menghindar, bersiap-siap kalau si Dowoon ngamuk dan balas menempeleng kepalanya seperti yang tadi ia lakukan. Namun aneh, Dowoon sama sekali tidak bereaksi. Ia malah terkekeh sendiri dan merangkul pria itu mendekat, "Sembarangan aja kamu, mas. Masa iya anaknya simbok Martuti paling ngguanteng sak Pringwulung begini dibilang siluman."
Wonpil merinding.
Jawaban Dowoon memang terdengar selengean seperti biasanya. Tapi kalau Wonpil tidak salah lihat, ada sedikit kilatan kuning saat mata lelaki itu bertemu tatap dengan matanya barusan.
Ndak mungkin, batinnya. Pasti cuma salah lihat.
-----
"Mas Hyunjin.... buka..." Jeongin mengetuk-ngetuk pintu kamar lagi, buku jarinya mulai memerah akibat berbenturan dengan kayu kelapa yang keras dan kokoh berulang-ulang. Anak itu menangis dengan tersengguk-sengguk, tidak mengerti kenapa Hyunjin enggan membukakan pintu dan mengabaikan tangisannya seperti ini, "Jeongin janji ndak nakal... buka..."
Padahal Jeongin tidak nakal sama sekali, dan Hyunjin mendengar semua tangisannya sedari tadi. Mendengar pula semua rengekan dan rintihan Jeongin yang tidak mampu memahami kenapa dirinya disisihkan di luar kamar seorang diri, sementara pria tersebut mengunci diri rapat-rapat, tenggelam dalam rasa sakit yang membuat dirinya merasa seperti dibakar oleh ribuan bara api demi menjaga agar ia tidak kalap dan Jeongin-nya tidak tersakiti.
Di dalam kamar, Hyunjin mengerang kesakitan, kepalanya ia bentur-benturkan ke dinding kayu pondok berkali-kali, mumukul-mukul dan menendang semua yang ada di hadapannya sampai hancur porak poranda.
"Arghh!!!!!!!"
Bulan purnama di luar sana bersinar terang benderang seakan mengejek nasib mereka setelah semesta memberikan kejutan tidak terduga dalam kehidupannya. Ketika seharusnya pria seperti Hyunjin sudah bersatu dengan sang belahan jiwa dalam senggama, bergumul dalam gelapnya malam, sampai purnama pulang dan digantikan kembali oleh hangatnya siang— Ia malah menyakiti diri sendiri dan meninggalkan cinta-nya menangis tanpa kejelasan pasti.

KAMU SEDANG MEMBACA
Waja Getih
Fanfiction[COMPLETED ON OCTOBER 2019] Kisah penculikan seorang anak, dan hubungannya dengan legenda turun temurun yang terlanjur mengakar dalam stigma penduduk Werewolves and Vampires Alternative Universe a hyunjeong story written in bahasa indonesia