Sinar pagi yang hangat, memantulkan cahaya cerah ke penjuru bumi. Dengan kicauan burung yang merdu bagai seloka tak bersajak. Udara yang berhembus menabrak tubuh Wulan dengan lembut.
Perjalanan Wulan ke sekolah tak perlu menunggu angkutan umum, hanya perlu berjalan beberapa menit untuk sampai ke sekolah."Sari.. tunggu", teriak Wulan dari luar gerbang sambil berlari kecil mengejar. Sari menoleh dan hanya membalas dengan tersenyum sinis.
"Hari ini siapa yang ngawas?", tanya Wulan.
"Kurang tau, mungkin bu Sophi yang killer atau pak Kardi dengan wajah sangar yang sedikit mistis", jawab Sari dengan nada malas sambil memutar bola matanya."Ohhh", jawab Wulan singkat yang agaknya mulai malas meladeni temannya yang dikenal arogan itu.
Mereka harus berjalan dengan menaiki beberapa anak tangga untuk sampai ke lantai tiga. Tampaknya anak - anak tangga tersebut sudah terlatih, pendirian mereka tetap kokoh, tak rapuh sekalipun sering diinjak.
Jika mereka bisa berkata, mungkin mereka akan bilang 'sakit'. Hmm sudahlah.Saat dilantai dua, dari kejauhan Wulan melihat segerombolan geng kelas 12-IPA V yang terkenal liar. Andi, Rafi, Bagas dan Arga. Yang mana arga adalah ketua geng. Wulan tetap fokus pada tujuan, berjalan dengan wajah cuek sambil memilin jari - jarinya. Saat jarak mereka hampir berselisih, tiba - tiba..
"Hei Wulan", sapa arga dengan lembut.
Wulan menoleh dengan sedikit menaikkan alis kanannya. "Apa?" Tanya Wulan singkat.
"Sebentar.. gue mau ngomong sesuatu sama loe, 5 menit ga lebih", ucap Arga dengan tatapan serius.
"Maaf ya gue buru-buru nih harus jumpai bu Resti, ada keperluan", jawab Wulan.
"Ta.. tapi...", ucap Arga sedikit kecewa..Ya tepat! Jawaban Wulan tadi hanyalah sebuah alasan untuk menghindari Arga. Bukan hanya Arga, sikap itu juga ia tunjukkan kepada semua pria.
Bukan..!
bukan karna ia phobia sama seorang pria, akan tetapi ia malas saja meladeni, unfaedah fikirnya.Selanjutnya, Wulan kembali melanjukan langkahnya ke lantai tiga menuju kelas 12-IPA II.
Ia berjalan dengan pandangan menunduk sambil memperhatikan lantai yang cukup bersih. Mengisyaratkan bahwa hati juga harus dijaga agar tetap bersih. Emmm. Ditambah lagi dengan berbagai jenis tanaman hijau yang berjajar di sepanjang koridor ruangan lantai tiga. Menyejukkan mata dan pernafasan."Woyy!", teriak Lia mengagetkan.
"A..a..ayam", ucap Wulan sedikit latah.
"Haha, kusut banget tuh wajah, belum di setrika?", ledek Lia.
"Apaansih loe, masa nggak liat gue lagi semangat gini." (Dengan gerakan malas Wulan mengacungkan kedua tangan yang dikepal)
"mulut sih memang bilang gitu, tapi hati siapa yang tau.. ehh", sambung Lia sambil memutar bola matanya.
"Isssss.. pagi-pagi loe udah buat gue emosi, liat loe gue santet supaya jadi kalem", (Wulan menampakkan ekspresi geram dan mulai mengejar kearah Lia)
Dan akhirnya mereka pun kejar - kejaran.. huhh.
Lagi - lagi temannya itu bersikap menjengkelkan. Walaupun begitu Lia selalu berhasil membuat Wulan melupakan semua masalahnya. Hemm okay, dia berhasil.Bel masuk berbunyi.. menandakan semua murid harus tertib sampai menunggu guru masuk. Tapi namanya juga anak SMA. Sikap masih labil, sekolah udah macam punya nenek moyangnya aja. Dunia udah terbalik. Meja dijadikan tempat duduk, terus apa faedahnya bangku dibuat?
Belum lagi didepan kelas tepatnya didekat papan tulis, mereka jadikan itu tempat konser. Dipojokan belakang beberapa siswa menjukkan bakat mereka. Yap bermain bola, serasa jago udah kayak Christian Ronaldo. Hingga akhirnya bola melayang dan mendarat dipunggung Ratih.
Dan.. ini dia suara mematikan dimulai. Ocehan dengan beberapa mantra terpaksa harus keluar."Shuttt... diam. Ada pak Kardi", ujar Zein sambil mendekatkan jari telunjuknya ke arah mulut, menandakan untuk diam.
"Serius loe?", sambung Riko."Lu yang bener aja, nafas gue sesak nih seketika", sahut Fitri dengan wajah cemas.
"I..iyaa.. maksud gue.. gue nanyak loh. Ada pak Kardi??", jawab Zein sambil tertawa kecil.
"Eh... mon**t!", sekate - kate loe kalau ngomong, buat batin kecil gue takut aja", celoteh Riko."Hahahaha", (Zein tertawa geli)
"Hahahaha", semua murid membalas dengan tertawa serempak. Akan tetapi bukan karna tawanya Zein.
"Konyol, sekarang mereka ikut tertawa bersamaku", batin Zein angkat bicara.
Saat ia membalikkan tubuh, tiba- tiba ia dikejutkan dengan sosok misterius yang agaknya sedari tadi berdiri dibelakangnya. Horor.
"Astaghfirullah", Zein spontan mengucap.
"Duduk sekarang!", Pak Kardi angkat bicara. Zein menurut.Suasana kelas kembali menjadi hening. Ujian pun dimulai. Pak Kardi mulai membagikan lembaran kertas ujian.
"Kerjakan tanpa ada suara, jujur lebih utama", pesan singkat Pak Kardi sebelum para murid memulai ujiannya.
Semua murid hening, agaknya mereka membalas ucapan pak Kardi lewat hati.Wulan segera memegang pulpen dan mengerjakan soal - soal yang terpampang rapi dikertas. Bisikan - bisikan gaib mulai mendesis, "Wulan..", panggil Fadli sedikit berbisik. Wulan menoleh.
"Lihatlah gue", ucap Fadli tak berdosa.
"Sabar bro semua butuh proses, sama halnya seperti hidup loe", jawab wulan juga sedikit berbisik.
Dan dimulai lah kertas - kertas berterbangan tanpa mesin, leher - leher memanjang, agaknya mengalami evolusi seperti jerapah."Huuhh... sampai kapan bertahan metode belajar seperti ini? Andai gue punya tongkat ajaib, gue bakal sihir kehidupan para remaja khusunya dibagian pendidikan. Bagus. Sekarang gue bukan hanya jadi pengamat, tapi sudah mulai menjadi pengikut.", gumam Wulan dalam hati dengan sedikit berimajinasi.
******
Gk janji cerita bakal seru, tapi jauh gk seru kalau kalian gk ngikutin sampai akhir hehe.jangan lupa kasih bintang. Tunggu bagian berikutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengamat
RandomKisah seorang gadis dengan sejuta ekspetasi dan selalu rindu dengan sosok sang penyemangat. Baginya keluargalah yang utama, tak terlalu suka dengan permainan yang bernama cinta. Tapi selalu rindu akan kasih sayang. Baginya cinta bukanlah hal yan...