SEBUAH KEBIMBANGAN

22.7K 467 20
                                    

Sebuah Kebimbangan ....

Wedoro, 2013

Malam semakin larut, hawa sejuk yang dihembuskan oleh rintik hujan di luar sana tak juga dapat membawaku ke alam mimpi. 'Apakah harus kutolak saja pinangannya?'

"Mi, kenapa, Nak?" tanya Ibu. Sepertinya Ibu terganggu dengan suara derit ranjang yang kuciptakan, ia terbangun.

"Mimi enggak bisa tidur, Bu. Mimi ...," jawabku gelisah. Jam dinding telah menunjukkan pukul 01.00 dini hari.

Aku tak mau Ibu makin cemas dengan kegelisahanku. Bukan hanya tak bisa tidur, sejujurnya aku enggan memejamkan mata. Bayangan mimpi-mimpi buruk yang menghantuiku beberapa malam ini sungguh menyeramkan.

Kematian demi kematian tragis ... entah siapa lagi yang akan menjadi korban berikutnya. 'Sepertinya harus kuputuskan untuk sendiri saja seumur hidup, tanpa pasangan, apalagi suami.'

"Cerita sama Ibu, Nak. Apa yang mengganggu pikiranmu?" Seperti biasa Ibu mencoba menenangkanku.

"Bu, beberapa hari yang lalu Aa melamar Mimi. Tapi, Mimi enggak langsung mengiyakan, Bu. Mimi minta waktu berpikir selama 3 hari," jawabku sambil menatap lekat wajah Ibu yang setiap aku melihatnya aku merasa seperti sedang bercermin. Kata orang, aku mirip sekali dengannya, cuma beda umur saja.

"Apa kamu cinta sama Aa, Mi? Ibu tidak melihat ada sesuatu yang buruk pada pemuda itu. Ia saleh, pasti bisa membimbingmu, Mi." Kulihat binar bahagia di wajah Ibu.

Seandainya aku bisa, sudah pasti lamaran Galih, kuterima saat itu juga. Namun, rasa was-was yang terus membelenggu tak dapat kuabaikan. Pemuda itu terlalu berharga untuk mengalami hal yang sama seperti suami-suamiku terdahulu.

***

Galih, pemuda berdarah Sunda. Pertemuan kami setahun yang lalu benar-benar sebuah keajaiban buatku. Ia menolongku dan Ibu saat seorang pencuri di bus yang kami naiki hendak membawa lari tas berisi uang dan perhiasan milik Ibu, harta kami satu-satunya.

Saat itu karena kelelahan, aku dan Ibu tertidur pulas sekali. Perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan memaksa netra untuk terpejam.

Sangking lelapnya, hingga tak sadar jika ada seseorang yang berniat jahat sedang mengincar kami. Sepertinya pencuri itu sudah mengawasi kami sejak pertama menaiki bus dari Sritanjung, mencoba memanfaatkan kelemahan perempuan-perempuan yang sedang dalam kemelut seperti kami.

Saat itu Galih sedang berzikir sore di dalam bus yang kami tumpangi bersama. Galih bergerak cepat saat maling itu meminta sopir menghentikan bus. Ia mencekal tangan si pencuri dan menguncinya hingga berteriak kesakitan dan meminta ampun.

Para penumpang lain pun heboh, sehingga sopir berinisiatif menurunkan paksa si pencuri di kantor polis terdekat, sebelum para penumpang lain bertindak anarkis.

Kejadian di dalam bus itu membuat kami lebih waspada, membuatku berpikir, 'apakah keputusan kami meninggalkan tanah Blambangan, tanah kelahiranku, adalah keputusan yang tepat?'

Ibu sepertinya mengerti isi hatiku, "Ibu yakin meninggalkan desa itu adalah yang terbaik buatmu, Mi. Butuh pengorbanan untuk memulai hidup yang baru. Pergi ke tempat yang cukup jauh dari asal kita sepertinya cukup tepat, tidak ada yang mengenal kita di sana. Kita bisa menjalani hari-hari dengan tenang tanpa cemoohan mereka." Ucapan Ibu lembut di telinga, namun terasa getir. Seperti ada beban berat yang sedang ia pikul.

***
"Bu, Aa begitu saleh. Apa pantas Mimi jadi istrinya? Ia begitu baik bahkan pada orang yang belum dikenalnya seperti kita dulu." Pandanganku menerawang, mengingat-ingat pertemuanku dengannya setahun lalu. Ada desir halus yang menghinggapi relung hati.

"Hmm ... kita tidak bisa melawan takdir, Mi. Kalau memang Allah menakdirkannya jadi jodohmu, semua pasti akan dimudahkan. Ibu dukung apa pun keputusanmu, Nak." Ibu mengusap kepalaku lembut, lalu ia bergerak dari ranjang hendak berwudu untuk menunaikan sholat malam.

Galih memang membawa pengaruh besar bagi kehidupanku dan Ibu yang telah lama hampa dari kalimat-kalimat Allah. Kami memang muslim, tapi selama ini hanya sebagai status saja. Sejak aku kecil, almarhum Bapak juga Ibu tak pernah mengajakku sholat apalagi mengaji.

Aku belajar sholat dan mengaji saat pelajaran agama di sekolah saja. Sesekali ikut teman-teman sekampung belajar mengaji di mushola. Mereka kebanyakan enggan berteman denganku, mungkin karena doktrin buruk yang orang tua mereka ceritakan tentang keluargaku.

Ibu juga hanya sesekali bergaul dengan tetangga. Ia sepertinya masih menyimpan dendam pada sebagian warga kampung yang telah bertindak kejam pada almarhum Bapak hingga menyebabkannya wafat dengan begitu mengenaskan.

Ah, Bapak ... hanya sekilas ingatanku tentangnya. Waktu itu aku baru berumur empat tahun, masih terlalu kecil saat peristiwa mencekam itu terjadi. Peristiwa kelam yang selalu membayangiku dalam mimpi, menumbuhkan trauma yang mendalam.

***

Jogja, 7 Maret 2019



MISTERI JANDA CANTIK (Segera Dibukukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang