PAHITNYA SEBUAH PERPISAHAN

9.3K 371 17
                                    

Cipacing, Sumedang, 1986.

Seorang lelaki berusia kisaran tiga puluh lima tahunan duduk di belakang meja kasir dengan rokok tak lepas dari bibirnya. Kepulan asap bernikotin itu menguar ke seluruh penjuru ruangan.

Setelah sebatang tandas, dinyalakannya lagi batang yang lain hingga dalam sejam tak terasa ia telah menghabiskan lebih dari lima batang rokok. Sesap demi sesap gulungan tembakau itu seakan menjadi teman di kala kegundahan melanda.

Bibir hitam lelaki itu maju mundur tak henti mengembuskan asap, sedangkan sepasang matanya menyipit memandang jauh ke luar. Tergambar keputus-asaan pada ekspresi wajahnya yang telah dihiasi garis usia.

Sudah beberapa bulan terakhir ini toko kerajinan kayu yang ia rintis dari nol semakin tak karuan nasibnya. Dulu ramai sekali pengunjung yang datang, sampai-sampai orderan untuk mengisi kios-kios kecil tak terbendung lagi, tapi sekarang sehari pun belum tentu ada pembeli yang muncul.

Adanya persaingan dengan beberapa toko kerajinan kayu yang lain adalah salah satu penyebab usahanya semakin sepi. Selain mereka punya lebih banyak hasil kreasi yang kreatif dan lebih menarik, faktor lainnya yang tak bisa dipungkiri ialah adanya pengaruh klenik pada sebagian pemilik toko. Sudah menjadi rahasia umum bila beberapa orang menggunakan penglaris untuk memajukan usahanya.

Sampai kapan aku harus bersabar? Apa aku juga harus seperti mereka, menggunakan cara-cara curang demi meraup keuntungan, pikirannya berkecamuk.

Petang mulai bergelayut di cakrawala, pengunjung pun tak jua bertandang. Diseruputnya kopi hitam dari gelas ketiga yang ia beli di pedagang angkringan seberang jalan. Bahkan kopi pun sudah tak lagi mampu menenangkan hati dan pikirannya yang semakin galau. Dengan langkah berat, ia keluar dari toko setelah mengunci pintunya.

Suasana jalanan terlihat lengang, toko-toko lain juga sepertinya juga akan segera tutup. Menjelang magrib daerah ini memang sudah mulai sepi. Dengan kecepatan sedang, lelaki itu melajukan mobil bak terbuka--transportasi andalannya selama ini--yang rencananya akan ia lelang jika toko benar-benar harus pailit.

Dalam kondisi jalanan yang remang-remang karena lampu jalan sebagian mati, lelaki berpostur tinggi tegap itu tiba-tiba dikagetkan dengan kelebatan bayangan putih dari arah toko di ujung jalan. Refleks matanya menyipit, penasaran dengan apa yang baru saja dilihat.

Sekali lagi ia menoleh ke arah yang sama, makin jelaslah penampakan itu. Sesosok tubuh terbungkus kain kafan dengan bercak kecokelatan di beberapa bagian sedang berdiri tegak di depan toko kelontong milik Pak Asep.

Sontak lelaki itu terperanjat, kaget sekaget-kagetnya, apalagi setelah sorot lampu mobil menangkap sosok itu lebih jelas. Wajahnya tampak begitu hitam dengan mata melotot menatapnya tajam. Tanpa pikir panjang, kecepatan kendaraan pun dinaikkan hingga mobilnya terpental-pental melewati jalanan yang tak mulus karena berlubang.

“Sial!” gerutu lelaki itu masih dengan napas yang tersengal.

Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Perjalanan sejauh dua kilometer pun terasa begitu lama. Akhirnya rasa lega menghampiri tatkala mobil yang dikendarainya telah memasuki halaman rumah berpagar hijau lumut. Seorang perempuan berumur sekitar tiga puluh tahunan dengan wajah ayu dan senyum hangat menyambutnya di selasar rumah.

Setelah memarkirkan mobilnya di bawah carport yang hanya beratap seng di sisi kiri rumah, ia turun dan mendekati istrinya.

“Mas, kok baru pulang? Capek ya? Ita bikinkan kopi, ya,” cecar perempuan bernama Rusita itu semringah.

“Nggak usah, Ma. Aku sudah terlalu banyak minum kopi tadi. Siapin air hangat ya, buat mandi.” Wajah penat sang suami begitu mengkhawatirkan Rusita. Ia teringat pembicaraan mereka beberapa hari lalu.

MISTERI JANDA CANTIK (Segera Dibukukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang