AIR MATA PENGANTIN

9.9K 307 20
                                    


Memasuki malam kedua pernikahan, Galih sepertinya menahan diri untuk tidak mengintimiku. Sebagaimana malam pertama kami yang gagal, malam ini pun sepertinya juga akan sama. Walau dia menutupi perasaan yang sebenarnya, aku tahu jauh dalam hatinya ia sangat menginginkanku.

“A, maafkan Mimi, sudah membuat malam pengantin kita berantakan.” Aku mendekatinya yang sedang merapikan susunan pakaian dalam lemari. “Harusnya kita sudah …,” ucapku lirih.

“Bukan salahmu, Sayang. Mungkin kita harus lebih banyak bersabar, karena apapun yang terjadi pasti ada hikmahnya.” Galih menoleh padaku, tangannya yang berotot mulai membelai lembut rambutku.

“Tapi, A, Mimi … belum bisa membahagiakan Aa.” Aku melingkarkan tangan di pinggangnya, kehangatan terasa menjalari tubuh. Perempuan mana yang tak tergoda pada pesonamu, suamiku.

Aku mengeratkan pelukan dari belakang, menciumi aroma tubuhnya yang khas. Aroma kasturi dari sabun mandi yang dipakainya begitu tajam menusuk cuping hidungku. Hmm, begitu nyaman. Kurasai detak jantungnya yang mulai berdegup lebih kencang, kelaki-lakiannya bergejolak.

“Ehm, Mi, mungkin ini kesempatan kita untuk lebih mengenal satu sama lain. Apa sebaiknya kita …,” ucap Galih sambil berbalik, mata kami bertemu.

“Sebaiknya apa, A?” ucapku, penasaran.

Galih tersenyum, wajahnya terlihat berbinar-binar seperti ingin mengatakan sesuatu yang sangat menyenangkan.

“Berbulan madu, Mi. Bagaimana kalau kita berlibur ke Banyuwangi? Selain kau bisa melepas rindu pada kampung halaman, kita juga bisa menghabiskan waktu bersama di sana.” Galih berucap seakan hal itu adalah sesuatu yang akan membuatku bahagia. Padahal, kepergianku dari Tanah Blambangan dulu dengan niat tak akan pernah kembali.

“Kenapa, Mi? Apa kau tak ingin pulang kampung? Ibu pasti juga akan senang menemani kita ke sana. Banyuwangi tak kalah dengan Pulau Bali, Mi. Kita bisa menyewa cottage, menikmati pantai. Ibu juga bisa bernostalgia bersama sanak saudara di sana.”  Galih terlihat begitu gembira. Seandainya lelakiku ini tahu, aku tak ingin kembali ke sana.

“Apa Aa tidak ingin mengajakku ke tempat lain? Andai Aa tau ….” Aku menjauhinya, berjalan ke arah jendela kamar yang masih dibiarkan terbuka. Udara dingin seketika meniup wajahku.

Sepoi angin dari luar sana menggerak-gerakkan vitrace putih gading yang menghiasi jendela. Malam semakin pekat. Sekilas aku melihat Mang Ojan berdiri di samping pohon bambu kuning, menghadap ke jalan. Kenapa dia sendirian di situ? Baru saja aku ingin melongok ke luar jendela untuk memastikan, Galih bersuara.

“Justru itu, Mi. Biarkan Aa tau lebih banyak tentangmu, keluargamu, apapun … bahkan masa lalumu sekalipun meski menyakitkan. Aa ingin menjadi bagian dari dirimu seutuhnya, Mi.” Lelaki ini … entah apa yang dipikirkannya tentangku. Masa lalu yang ingin kubuang jauh-jauh malah semakin nyata terpampang di depan mata.

“Entahlah, A. Aku bingung harus memulai dari mana. Dari lubuk hati terdalam, aku rindu kampung halaman. Tapi, di sisi lain aku tak ingin kembali. Aku tak yakin masihkah bisa bertahan mendengar cemoohan orang-orang kampung tentangku nanti. Mereka menganggapku perempuan sial, A.” Kaca-kaca mulai menggenangi kedua mataku.

“Mungkin kembalinya kau dan Ibu nanti bisa meluruskan semua, Mi. Percayalah, Aa akan selalu mendampingimu, Sayang.” Galih benar-benar menghipnotisku dengan kata-kata bijaknya.

“Tapi, A ….” Ia meletakkan telunjuk tangan kanannya di bibirku, lalu mulai mengalirkan desir-desir hangat dari dekapannya.

“Percayalah, semua akan baik-baik saja. Insya Allah, Aa akan selalu di sampingmu, Mi. Tak akan ada lagi orang yang berani menghina istriku.” Terdengar ketegasan dari nada suaranya. “Kapan kita akan ke sana? Besok? Lusa?” tanyanya bersemangat.

MISTERI JANDA CANTIK (Segera Dibukukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang