PERSEMBAHAN GAIB

9.6K 367 42
                                    

Tanah Blambangan, 1987.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Sudah hampir satu tahun aku tinggal di kampung halaman. Rasanya tidak senyaman seperti yang dibayangkan, di mana seharusnya aku sudah bisa hidup enak di tanah kelahiran, tapi kenyataannya bagai jauh panggang dari api.

Justru di tempat ini aku merasa tak berguna. Saat sedang terpuruk dalam membangun usaha, tak satu pun sanak saudara mau memberikan uluran tangan. Mereka seolah membuang muka, tak sudi berjumpa.

Usaha perkayuan yang kutekuni bersama Kang Sapar ternyata tak selancar angan-angan, begitu banyak halangan yang menghadang. Dari ketersediaan material, hingga keterbatasan modal yang membuat kami harus bekerja lebih keras tanpa asisten.

Pemalakan pun sering terjadi saat kami sedang membawa bahan-bahan produksi. Beberapa preman acap kali mengancam melukai kami ketika sedang berada dalam perjalanan, jikalau tak bersedia memberi upeti.

Modal pun seakan pergi secepat angin, tak bersisa. Kini yang harus aku lakukan tetap bekerja dan bersabar demi keberlangsungan usaha. Entah sampai kapan, terkadang aku pun merasa lelah.

***


Suatu malam di akhir bulan Dzulhijah, Kang Sapar mengajakku menonton pertunjukan wayang di desa tetangga. Acara itu diadakan oleh salah seorang warga yang ingin memeriahkan pernikahan putrinya. Entah kenapa, aku yang biasanya malas untuk berkerumun di keramaian seperti itu dengan senang hati menerima ajakannya.

“Ayolah, Sas, mumpung masih bulan Besar, masih banyak manten. Kita bisa ngirit, makan gratis ha ha,” ujar Kang Sapar tertawa lebar, menunjukkan barisan gigi-gigi kuningnya karena terlalu banyak merokok. “Kalau udah masuk bulan Suro, orang-orang nggak ada yang berani hajatan lagi, Sas. Sepiiii ….”

Aku baru ingat, setelah masa lebaran haji memang biasanya akan diikuti oleh bulan Muharam yang biasanya disebut sebagai bulan Suro oleh masyarakat Jawa. Menurut kepercayaan mereka, adalah hal yang tabu untuk melakukan hajatan ataupun perayaan di bulan Suro. Sehingga sebelum datangnya bulan tersebut, maka masyarakat biasanya memanfaatkan bulan Besar atau Dzulhijah untuk melakukan perhelatan, seperti selamatan, syukuran, pernikahan, khitanan, dan lain-lain.

Entahlah, aku tak begitu paham mengapa mereka mengeramatkan bulan Suro. Yang kuingat saat sekolah dulu guru agamaku berkisah tentang Hari Asyura. Hari di tanggal 10 Muharam yang punya banyak keistimewaan, juga kepedihan di mana di hari itu salah seorang cucu Rasulullah yaitu Husein dibantai oleh kaum kafir dalam peperangan di Tanah Karbala. Ah, mungkin itu yang menyebabkan bulan Suro dianggap sial.

“Kang, apa nggak capek kondangan terus hampir tiap hari?” tanyaku pada Kang Sapar yang ceria sekali bila akan menghadiri acara pernikahan.

Aku perhatikan, ada saja warga yang mengadakan hajatan, tiga sampai empat kali dalam seminggu. Terkadang, kami pun mendapatkan jatah kiriman nasi kenduri dari warga yang punya acara.

“Ya, namanya saja hiburan, Sas. Kalo nggak kayak gini bisa stress aku,” jawab lelaki berperawakan kurus dengan rahang menonjol itu. Sejak beberapa tahun lalu, Kang Sapar memang sudah tinggal sendiri selepas perceraiannya. Ia terpaksa menceraikan perempuan itu setelah menemukannya berduaan dengan seorang lelaki di dalam kamar. Tanpa anak, perpisahan terasa sangat mudah bagi mereka.

“Stress kenapa toh, Kang? Lah, gimana dengan aku? Udah setahun ini pengen pulang, tapi …,” ucapku.

“Lah iya, Sas, laki-laki kalo lama nggak ada istri ya bisa stress. Mau kawin lagi, aku masih belum bisa lupa kejadian yang lalu.” Kang Sapar berucap dengan mata menerawang. “Kamu mau pulang, Sas? Ya nggak pa-pa pulang aja, biar aku yang jaga bengkel. Seminggu cukup toh?”

MISTERI JANDA CANTIK (Segera Dibukukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang