"Kapten, saya menemukan petunjuk!" Ucap anggota timku di radio. Kami berpencar untuk mencari sang teroris yang selama 2 jam ini belum juga ketemu.
"Apa petunjuknya?"
"Ada sebuah foto yang- Argh!!" Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, anggotaku berteriak kesakitan.
"Apa yang terjadi, 016?! 016!" Aku berteriak pun tidak mendapat balasan. Sial!
Aku langsung menuju tempat anggota timku terakhir berkomunikasi. Dia berada di lantai 3. Aku harus menemukannya.
Cukup lama aku mencari, akhirnya aku menemukannya. Ia terkapar di lantai. Buru-buru aku mengecek keadannya. Masih hidup. Aku bersyukur dia tidak di bunuh. Aku yakin dia hanya terkena stun gun.
"Perhatian! Segera menuju lantai 3 dekat lift!" Perintahku pada anggotaku yang lain. 2 menit kemudian mereka sampai di tempatku. Aku menjelaskan keadaan yang langsung di mengerti oleh mereka.
"Kapten, lihat itu!" Tunjuk Glenn pada sebuah bayangan yang melintasi tiang demi tiang dengan mudahnya.
"Elina?" Ucapku dengan pelan.
"Kalian fokus pada 016! Saya akan mengikutinya!" Aku memberi perintah. Aku langsung berlari mengejar orang yang kemungkinan adalah Elina. Aku bahkan tidak mendengarkan teriakan anggota timku yang lain.
"Elina, tunggu!" Teriakku begitu jarakku lumayan dekat dengan Elina. Ia berhenti berlari.
"Kenapa kamu mengikutiku?" Tanya Elina tanpa membalikkan badannya begitu aku sampai di belakangnya.
"Kamu kan yang membuat 016 pingsan?" Tanyaku to the point.
"Bagaimana kamu tau?" Elina akhirnya mau menatapku.
"Kamu tidak ingin kami terlibat dalam peperangan ini. Itu sebabnya kamu mengambil foto yang 016 temukan dan membuatnya pingsan agar dia tidak memberitau anggota yang lainnya. Tapi, kamu khawatir kalau dia akan di serang. Jadi, kamu menunggu kami datang. Setelah itu kamu bisa pergi dengan tenang." Aku menjelaskan teoriku.
"Seperti yang diharapkan dari seorang kapten. Kamu sangat cerdas." Balas Elina yang tak menyangkalnya.
"Jadi, foto apa itu?" Tanyaku yang penasaran. Elina menggeleng. Dia tidak memperbolehkan aku melihat foto itu.
"Aku akan menyimpan foto ini, Ken. Tapi, aku beritau satu hal. Foto ini adalah foto para teroris itu."
"Baiklah. Jadi, apa tujuanmu disini, Elina?"
"Rahasia." Jawab Elina singkat. Elina memutuskan untuk pergi. Tapi, aku tidak menyerah untuk terus mengikutinya.
"Aku tidak ingin kamu terlibat, Ken." Kata Elina.
"Sudah tugasku sebagai tentara untuk menjalankan misi yang diberikan." Balasku. Elina tidak membantah lagi. Ia membiarkan aku terus mengikutinya.
"Jangan biarkan timmu mengikutimu. Jika tidak, aku akan meninggalkanmu." Wanti-wanti Elina.
"Aku tau." Balasku singkat. Aku terus mengikutinya kemanapun dia melangkah.
"Di bawah sini markas mereka. Kamu harus bersiap-siap." Kata Elina sambil menunduk untuk membuka sebuah kayu yang ternyata pintu masuk.
"Pantes aja aku ga pernah nemu markas mereka. Ternyata ada pintu rahasia." Ucapku sambil ikut menunduk.
"Kamu siap?" Tanya Elina memastikan.
"Kapanpun aku siap." Jawabku dengan yakin. Perlahan Elina membuka pintu tersebut. Aku memasang kuda-kuda kalau-kalau ada yang berniat menyerang kami.
"Ayo masuk!" Ajak Elina begitu pintunya sudah terbuka sempurna. Ia berjalan dengan sangat pelan sampai sulit terdengar.
Auranya sangat mencekam. Di bawah sini seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Aku seperti memasuki rumah hantu.
"Mereka pandai bersembunyi. Hati-hati." Suara Elina begitu pelan sampai aku harus menajamkan pendengaran supaya suaranya terdengar olehku.
Aku mempunyai firasat buruk dengan keadaan yang sangat sepi ini. Mereka benar-benar bersembunyi dengan baik. Aku yakin mereka mempunyai rencana matang kalau-kalau identitas mereka terungkap.
Tiba-tiba saja ada sebuah benda yang berguling ke arah kami. Saat aku sadar ternyata itu granat, aku segera menerjang Elina ke arah lain. Tepat saat granat itu meledak, kami mendarat di tanah yang tidak terlalu jauh dari ledakan.
"Thanks." Ucap Elina. Aku segera bangkit dari atasnya dan mengulurkan tanganku.
"We call it even." Balasku. Elina menerima uluran tanganku. Kami langsung memasang kuda-kuda karena serangan barusan. Aku dan Elina memegang senjata dan siap menembak kalau-kalau ada yang menyerang kami.
"Mereka dekat. Kita harus lebih waspada." Bisikku dibalas anggukan oleh Elina. Perlahan kita melangkah dan semakin masuk ke dalam ruangan ini.
"Tembak!" Sebuah suara yang memberi perintah untuk menembak kami. Refleks aku dan Elina bersembunyi dibalik tembok yang menahan serangan peluru yang menghujam.
"Any ideas?" Teriak Elina yang masih tertutupi suara tembakan.
"Aku akan memanggil bantuan. Apa kamu keberatan?"
"Aku setuju kali ini." Jawab Elina. Aku segera memanggil anggota timku lewat radio. Selagi menunggu mereka, aku membuang sebuah granat ke arah mereka. Setidaknya cukup untuk membuat mereka berhenti menembaki kami.
Granat pun meledak dan suara tembakan sudah tidak lagi terdengar. Aku yakin mereka langsung bersembunyi untuk menghindari ledakan. Rencanaku sepertinya berhasil.
"Ken, maaf." Ucap Elina begitu tidak ada lagi peluru yang menghujani kami. Ternyata Elina sudah siap dengan grapple gun dan pistolnya. Dia memang berniat untuk bekerja sendirian.
"Elina, tunggu!" Aku mencoba mencegah tetapi terlambat. Elina pergi begitu saja dengan grapple gunnya saat ada sedikit celah untuknya masuk lebih dalam. Aku ditinggalkan lagi untuk kesekian kalinya.
Saat aku berencana mengejar Elina, ternyata para teroris itu sudah bangkit lagi dan siap untuk menembak. Beberapa dari mereka ada yang mengejar Elina. Sebagian lagi mencoba menembak aku yang belum sempat menyusul Elina.
"Sial!" Aku mengumpat. Kenapa Elina tidak mau melibatkanku? Apa yang dia sembunyikan sebenarnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Who Are You? ✔
ActionKisah cinta rumit antara Ken Marcer dan Elina Birkin yang terhalang oleh pekerjaan yang membebani mereka. Mereka sama sama tidak bisa menolak perintah dari atasannya. Elina Birkin, 21 tahun, agen. Ken Marcer, 23 tahun, tentara. Pertemuan mereka di a...