"Elina, bertahan!" Aku membawa kepala Elina dan menaruhnya di pahaku.
"Bibi, punya kain yang panjang?" Tanyaku buru-buru.
"Ada. Bibi ambilkan." Kata bibi. Bibi pun langsung berlari ke kamarnya dan kembali dengan membawa kain yang panjang. Aku segera mengambilnya dan membalut perut Elina yang terkena peluru agar darahnya tidak terus keluar.
"Kita ke rumah sakit sekarang! Biar paman yang nyetir." Kata paman. Aku setuju. Aku segera menggendong Elina dan membawanya ke dalam mobil.
"Kak Elina kenapa, kak?" Tanya Freya panik saat melihat Elina berlumuran darah.
"Elina kena tembakan. Kita mau bawa Elina ke rumah sakit." Ucapku. Paman dan bibi masuk ke mobil bagian depan. Paman langsung menyalakan mesin dan tancap gas ke rumah sakit terdekat.
15 menit kemudian kami sampai di rumah sakit. Aku segera membawa Elina masuk.
"Doctor, please help!" Aku berteriak minta tolong begitu sampai di rumah sakit. Dokter dan suster langsung mengerubuniku sambil membawa brankar. Aku menaruh Elina di brankar. Dokter dan suster langsung membawanya ke ruang UGD. Aku, paman, bibi, dan Freya menunggu di luar dengan cemas.
Beberapa menit terasa sangat lama bagiku. Aku khawatir dengan keadaan Elina yang belum siuman. Dan akhirnya dokter pun keluar dari ruangan.
"How's she?" Tanyaku langsung to the point.
"We ran out of blood in here." Ucap dokter dengan nada menyesal.
"What's her blood type?" Tanyaku lagi.
"She has rare blood type. AB negative." Ucap dokter. AB negatif?! Bagaimana bisa?
"I..have same blood with her. Please, take me!" Ucapku dengan yakin. Dokter membawaku masuk ke ruangan Elina. Setelah dilakukan pengecekan dan darahku cocok dengan Elina, dokter mulai mentranfusikan darahku pada Elina yang sedang menjalani operasi untuk mengeluarkan peluru yang bersarang di perutnya.
Sekitar 1 jam lebih aku berada di ruangan ini sampai akhirnya dokter memperbolehkanku keluar dari ruangan. Aku pun keluar sambil sekilas melihat Elina yang belum siuman.
"Darah kalian cocok?" Tanya paman begitu aku keluar. Aku mengangguk.
"Cocok, paman." Jawabku.
"Padahal golongan darahmu langka. Ternyata Elina juga punya golongan darah langka kayak kamu." Balas paman. Aku juga penasaran kenapa golongan darahnya sama denganku. Satu-satunya orang yang aku tau punya golongan darah AB negatif cuma Erina.
"Kakak ga apa-apa?" Tanya Freya dengan raut wajah khawatir.
"Kakak ga apa-apa, Freya. Cuma masih pusing aja." Jawabku sambil tersenyum. Obrolan kami terhenti karena ponselku berdering. Aku melihat nama yang tertera. Presiden. Aku segera menjauh dari mereka dan mengangkat telepon dari presiden.
"Ken, bagaimana keadaan disana?" Tanya presiden to the point.
"Elina tertembak. Sekarang saya berada di rumah sakit." Jawabku melapor.
"Pantas saja teleponnya tidak di angkat. Mengenai kepulangan kalian saya tetapkan untuk sesuai rencana. Elina siuman atau tidak kalian harus tetap pulang. Demi keselamatan kalian. Kalau kalian sudah pulang, Elina bisa mendapat perawatan disini. Anda mengerti?" Tanya presiden.
"Ya, saya mengerti." Jawabku singkat.
"Bagus. Hati-hati, Tuan Ken!" Wanti-wanti presiden.
"Baiklah." Setelah itu sambungan terputus. Aku kembali ke tempat mereka menunggu.
"Dari siapa, Ken?" Tanya bibi begitu aku kembali.
"Atasan Ken, bi. Katanya kita tetap harus pulang sesuai jadwal. 3 hari dari sekarang." Jawabku.
"Kok gitu? Elina gimana? Dia kan masih harus dapet perawatan." Bibi tidak bisa menerimanya.
"Segera setelah kita pulang, Elina langsung di rawat intensif." Jawabku untuk meyakinkan. Sebelum bibi kembali bicara lagi, dokter keluar dari ruang UGD.
"The surgery was successful, but she's not awake yet. You can see her now." Ucap dokter yang menangani Elina.
"Thank you, doctor." Ucapku. Aku segera memasuki ruangan tempat Elina di rawat. Di dalam aku melihat Elina terbaring dengan baju rumah sakit. Aku mendekatinya dan duduk di kursi di sebelah brankar.
"Elina bakal baik-baik aja. Bibi yakin." Ucap bibi sambil menepuk-nepuk bahuku. Aku juga yakin Elina bakal baik-baik aja. Karena dia adalah Elina.
Entah kenapa aku merasa ngantuk. Mungkin karena kecapean dan tadi darahku di ambil. Aku ketiduran di kursi di samping brankar Elina.
Beberapa jam kemudian aku bangun karena suara orang yang ngobrol. Ternyata Elina sudah siuman.
"Syukurlah kamu udah siuman, Elina." Ucapku dengan tulus.
"Aku baik-baik aja, Ken." Balas Elina. Bibi dan Freya yang semula ngobrol dengan Elina memilih keluar ruangan untuk memberikan kami privasi.
"Makasih ya, Ken. Kamu udah donorin darah kamu buat aku." Ucap Elina.
"Itu gara-gara kamu nolongin aku. But, thanks for saving me." Balasku.
"I guess we're fare now." Kata Elina. Ya, kita impas. Kita saling tolong menolong.
"Presiden bilang kita harus pulang sesuai rencana." Ucapku memberitau.
"Aku setuju. Lagian lukanya ga terlalu parah. Aku masih bisa jalan." Balas Elina.
"Jangan memaksakan diri, Elina. Kalau kamu susah jalan, aku yang bakal bantu." Aku menawarkan bantuan.
"Thanks, Ken." Ucap Elina dengan tersenyum tipis.
3 hari berlalu. Hari ini kami akan pulang ke negara kami. Elina pun sudah lebih membaik. Setidaknya dia bisa jalan walaupun lambat karena harus hati-hati kalau-kalau lukanya terbuka lagi.
"Kalian hati-hati di jalan, ya! Jaga Elina baik-baik." Ucap bibi mewanti-wanti begitu kami sampai di bandara.
"Pasti, bi." Jawabku.
"Kalau kalian ada waktu, balik lagi kesini ya!" Seru Freya dengan semangat.
"Semoga kami bisa kesini lagi." Harap Elina.
"Kalian berangkat sekarang, nanti ketinggalan pesawat." Saran paman. Aku melihat jam dan waktu kita memang tidak banyak.
"Kalau begitu kami berangkat sekarang. Sampai ketemu nanti!" Aku mengucapkan salam perpisahan. Aku dan Elina pun berjalan masuk. Setelah selesai dengan pengecekan, aku dan Elina masuk ke pesawat dan pesawat pun lepas landas mengantarkan kami pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Who Are You? ✔
AçãoKisah cinta rumit antara Ken Marcer dan Elina Birkin yang terhalang oleh pekerjaan yang membebani mereka. Mereka sama sama tidak bisa menolak perintah dari atasannya. Elina Birkin, 21 tahun, agen. Ken Marcer, 23 tahun, tentara. Pertemuan mereka di a...